No Result
View All Result
insanwisata
  • Tentang kami
  • Catatan perjalanan
    Sunset Candi Barong Yogyakarta

    Dolan Bareng Bojo Edisi Candi Barong

    Candi Kedulan Yogyakarta

    Cagar Budaya Indonesia: Menyelamatkan Warisan Peradaban Candi Kedulan

    DESA WISATA JARUM KLATEN

    Perjalanan Panjang Desa Wisata Jarum

    Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

    Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

    Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

    Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

    Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

    Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak
  • Tentang kami
  • Catatan perjalanan
    Sunset Candi Barong Yogyakarta

    Dolan Bareng Bojo Edisi Candi Barong

    Candi Kedulan Yogyakarta

    Cagar Budaya Indonesia: Menyelamatkan Warisan Peradaban Candi Kedulan

    DESA WISATA JARUM KLATEN

    Perjalanan Panjang Desa Wisata Jarum

    Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

    Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

    Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

    Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

    Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

    Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak
No Result
View All Result
insanwisata

Marsono, Pelestari Wayang Sada di Bejiharjo

by Hannif
Mei 31, 2017
5 min read
32
Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Ada dua hal yang berkesan selama berkunjung ke Desa Wisata Bejiharjo, petualangan dan kearifan lokal. Entah, sudah yang ke berapa kali kunjungan kali ini. Sejak agenda Eksplor Deswita Jogja sukses terlaksana, Arif sebagai pengurus Kelompok Sadar Wisata kerap mewartakan potensi-potensi wisata baru di daerahnya.

“Mas, reneo (ke sini). Ewangi (bantu) aku angkat potensi Bejiharjo”, ajakan dalam pesan singkatnya.

Menariknya, Arif selalu membawa saya ke tempat-tempat wisata yang belum seramai Gua Pindul. Kejenuhannya terhadap wisata massal di Gua Pindul membuat Arif dan Dewa Bejo mengeluarkan jurus-jurus pamungkas sebagai pemasar destinasi wisata. Ia juga termotivasi oleh ayahanda, Subagyo, yang merintis wisata susur sungai Gua Pindul pada 2010.

Di sepertiga siang, jeep meraung menyisir jalan utama wisata Gua Pindul. Pakaian masih belum kering dari cipratan lumpur wisata offroad Bejiharjo. Usai mengunjungi sentra pembuatan blangkon, Arif membawa kami menuju rumah Marsono, dalang Wayang Sada. Tempat tinggalnya yang tak jauh dari pintu masuk Gua Pindul terlihat sangat sepi. Dua mobil jeep beriringan masuk ke halaman rumah Marsono.

Marsono datang menyambut kami yang baru turun dari jeep dengan wajah semringah. Kami yang antusias langsung mengenalkan diri dan menyerbu dengan beberapa pertanyaan. “Kalau duduk saja bagaimana?”, ajaknya. Memasuki umur yang ke-69, Marsono yang tinggal bersama istrinya tak lagi banyak bisa beraktivitas.

“Hanya ada dua dalang Wayang Sada di Bejiharjo.” Saya tersentak kaget mendengarnya. Tetapi lewat tangan Marsono, Wayang Sada bukan saja menjadi kemasan pertunjukan dalam acara hajatan. Panggung Wayang Sada yang digelar di kediamannya sudah cukup kaya koleksi lakon wayang. Juga lewat Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS) Dewa Bejo, Marsono membuka sanggar belajar dengan tujuan mewarisi kekayaan nusantara yang sedang ditekuninya sekarang. Sebab melalui wayang, akan banyak pesan kebaikan yang dapat tersampaikan ke khalayak.

Marsono belum mengakhiri ceritanya. Tangan-tangannya gemetar memegang salah satu lakon wayang kebanggaannya. Pilihannya meniti jalan hidup menjadi pendalang bermula dari cita-citanya sewaktu kecil. “Waktu itu, saya ingin sekolah dalang, tapi karena orangtua saya tidak mampu membiayai karena hanya menjadi petani dengan dua belas anak, saya nggak sampai hati mau nembung (bilang). Jadi saya berpikir untuk membuat wayang dari rumput”, kenang Marsono. Celah ini akhirnya memaksa Marsono untuk belajar mandiri, dengan membuat wayang sendiri, tanpa habis biaya dan menyusahkan diri.

Dengan menggunakan rumput, Marsono untuk pertama kalinya membuat wayang. Meski sederhana, pembuatan wayang menggunakan bahan dasar rumput seringkali mendapati kendala. Karena terbatas dalam membuat lekukannya, karakter wayang dari bahan dasar rumput terlihat mirip semua sehingga sulit untuk membedakan. “Wayang kok semua sama. Tidak bisa dibuat gelung maupun mahkota”, ujarnya. Selain itu, wayang dari bahan dasar rumput tak bisa awet lama karena tangan mudah lepas. Meski pernah gagal dalam mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dalang, Marsono pantang menyerah. Berbekal semangat mengejar cita-cita yang tak redup, dibuatlah wayang dengan bahan dasar ‘sada’, yang dalam bahasa Jawa berarti lidi.

Jika dilihat dengan seksama, pembuatan Wayang Sada memang sepenuhnya menggunakan limbah pohon kelapa, seperti lidi (blarak), serabut, batang, dan tempurung kelapa. Berbeda dengan wayang kulit yang dimainkan semalam suntuk, Wayang Sada dimainkan dalam durasi tiga jam saja. “Sengaja saya padatkan, supaya anak muda tidak bosan.”

Dalam satu kali pertunjukan, Marsono dapat mengantongi dua sampai tiga juta permalam. Selain mengandalkan pendapatan sebagai seorang yang tampil mendalangkan wayang, Marsono juga menjual cenderamata Wayang Sada dengan harga paling murah Rp25 ribu. Namun, nampaknya Marsono masih kesulitan membuat laris jualannya. Meski dalam angka statistik kunjungan wisatawan Pindul terus meningkat, saban pagi hinga sore sanggar Wayang Sada milik Marsono tetap sepi dari wisatawan.

Marsono, maestro Wayang Sada dari Bejiharjo memantapkan profesi yang ditekuninya. Tak berharap imbalan, juga tepuk tangan meriah dari kami. Di tengah silaturahmi yang tak ingin habis terjalin, ia pun mendalang sebelum mengakhiri perjumpaan. Dalam bahasa Jawa yang sulit dimengerti, saya berusaha meraba-raba alur cerita dalam pentas Wayang Sada dadakan.

Dalam urusan mendalang, Marsono menggarap alunan musik hasil kreasi sendiri. Jemari kakinya mengapit alat yang dipukulkan ke piringan besi sehingga menghasilkan bunyi pekik ketukan yang khas. Tek tek tek. Sementara tangannya terus membuat hidup lakon wayang yang sedang dimainkannya. “Ke depan, saya juga ingin alat musiknya dari limbah pohon kelapa”, ujarnya.

Lepas giliran kami yang lebih aktif berperaga layaknya seorang dalang Wayang Sada. Satya, jauh-jauh datang dari Jakarta tak mau menyia-nyiakan kesempatan jumpa. Cenderamata Wayang Sada karakter Rama dibelinya sebagai rekan yang diharap menemaninya terbang ke Negeri Kangguru, Australia.

Meski belum diakui khusus sebagai warisan dunia, Wayang Sada memiliki ancaman pewaris dalang yang mengkhawatirkan. Mujurnya, Marsono memiliki Arif dan Dewa Bejo yang masih setia mendampingi dalam urusan memasarkan potensi Wayang Sada. Meski belum banyak mencuri perhatian wisatawan yang masih terus mengantre panjang di pintu masuk Gua Pindul, saya yakin, wisata budaya Wayang Sada akan laris di pasaran. Hal ini selaras dengan nafas desa wisata, yang mengemas seluruh potensi serta kearifan lokal yang ada di dalamnya. Bejiharjo, teruslah lestari!

Informasi dan Pemesanan

Wayang Sada Marsono
Lokasi: Desa Wisata Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul
Narahubung: : Arif Sulistyo (085741973511)
Twitter: @goapindul_GK – IG : @goapindul

Tips: Perlu diketahui, sepanjang jalan akan banyak jasa antar yang menawarkan paket wisata di kawasan Bejiharjo. Sebaiknya konfirmasi terlebih dahulu dengan pihak Dewa Bejo agar tidak kebingungan saat ditawari oleh jasa-jasa lain selama perjalanan menuju Bejiharjo. Jika sudah konfirmasi kedatangan, Arif dan kawan-kawan akan senang menjemput wisatawan di titik lokasi terdekat.

 


Lokasi Dewa Bejo

[googlemap src=”https://www.google.com/maps/embed?pb=!1m18!1m12!1m3!1d3951.6976094562647!2d110.6455146143249!3d-7.926618594290155!2m3!1f0!2f0!3f0!3m2!1i1024!2i768!4f13.1!3m3!1m2!1s0x2e7a4b3dee422bc1%3A0x65a12e843f2705f7!2sDewa+Bejo+Goa+Pindul!5e0!3m2!1sid!2sid!4v1482939545519″]

 

Tags: bejiharjodesa wisata bejiharjowayang sada
Previous Post

Inspirasi yang Datang dari Hutan Bambu Andeman, Sanankerto

Next Post

Destinasi Baru yang Wajib Kunjung Saat Berlibur ke Lombok

Hannif

Hannif

Suka bertualang untuk menikmati peninggalan sejarah, budaya, dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Sangat senang jika bisa berbagi cerita dan informasi kepada orang lain.

Next Post
Destinasi Baru yang Wajib Kunjung Saat Berlibur ke Lombok

Destinasi Baru yang Wajib Kunjung Saat Berlibur ke Lombok

Comments 32

  1. Avatar Aula Andika Fikrullah Albalad says:
    3 tahun ago

    Wah, menarik. Semoga saya bisa ke sana suatu hari

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      aamiin. Agendakan, Mas!

      Balas
  2. Avatar Dewi Rieka says:
    3 tahun ago

    Kreatifnya..sayang ya kalau tak ada regenerasi 🙁

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      Iya Mba. Padahal cukup langka di Gunungkidul

      Balas
      • Avatar Nasirullah Sitam says:
        3 tahun ago

        Selama ini hanya sebatas mengajari anak kecil setempat sih. Salut juga dengan beliau waktu menceritakan kisahnya. Keren,

        Balas
        • insanwisata insanwisata says:
          3 tahun ago

          Yups

          Balas
  3. Avatar omnduut says:
    3 tahun ago

    Ini pertama kalinya aku tahu tentang Wayang Sada. BAGUUUUUS!
    Rasanya pingin koleksi beberapa dan pajang di rumah. Harganya juga masih “jangkauable” hehe.

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      hehe. beli mas. Jangan lupa kalau ke Jogja main ke sini ya

      Balas
    • Avatar omnduut says:
      2 tahun ago

      Siap.Ntar jumpa dan selpih (((SELFIE))) sama aku ya hihihi

      Balas
      • insanwisata insanwisata says:
        2 tahun ago

        Mau ga yaa. hmm

        Balas
  4. Avatar Melly Feyadin says:
    3 tahun ago

    Salut deh yg buat wayang ini, agak rumit klo liat hasilnya.

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      bener Mba, karena dari lidi. jadi terlihat rumit ya

      Balas
  5. Avatar Evi says:
    3 tahun ago

    Pak Marsono hebat. Keterbatasan memicu otak kanannya bekerja lebih giat dengan melahirkan wayang rumput dan wayang Sada seperti ini. Kalau saja Iya waktu itu sanggup ikut sekolah wayang kulit, mungkin wayang Sada tidak akan lahir ya. Benar kata orang bijak ketika satu pintu tertutup maka pintu lain akan terbuka. Semoga wisatawan Gua Pindul besok-besok tak segan mampir ke rumah pak Marsono dan membeli wayang lidi untuk oleh-oleh 🙂

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      Benar juga mba. Kalau saja tidak sekolah Wayang, pak Marsono g bakal buat Wayang Sada 🙂
      Aamiin. Semoga bukan hanya Pindul yang laris. Ayo ikut dilarisi Mba

      Balas
  6. Avatar Aji Sukma says:
    3 tahun ago

    Tuhan selalu punya cara lain mewujudkan mimpi2 hambanya. Beruntung bgt bs denger kisah inspiratif Mbah Marsono ini. :’)

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      aku udah mengurangi bebanmu untuk mengabarkan kisah inspiratif kan? yeay

      Balas
  7. Avatar Gallant Tsany Abdillah says:
    3 tahun ago

    Semoga sehat sehat mbah.
    Pertunjukannya juga sama kayak pertunjukan wayang biasanya berarti ya? Yang pake lampu sorot gitu gitu

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      kalau kemarin pas praktik sih g pakai lampu sorot mas.
      Hehe. Ga tau kalau pas pertunjukan aslinya

      Balas
  8. Avatar Iwan Tantomi says:
    3 tahun ago

    Yaaah keduluan nulis, bahaha, siapa ganti penerus pak Marsono? Hannif Andy dong.

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      Penggantinya adalah. Ki Demang Tomi Iwan Ngalam

      Balas
  9. Avatar Endah Kurnia Wirawati says:
    3 tahun ago

    Luar biasa dedikasi pak marsono yaa..

    Apa yg bs kita lakukan untuk tetap melestarikan wayang sada ini ya??

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      Datang melihat, bangga menyaksikan, ikhlas mengabarkan 🙂

      Balas
  10. Avatar yofangga says:
    3 tahun ago

    Baru tahu kalau ada Wayang Sada.
    Kalau saja dikemas dengan baik, aku yakin wayang ini bisa jadi potensi yang gak kalah dari wayang kulit atau wayang golek.
    eh, itu buat nancepin wayangnya pake pelepah pisang kah?
    *gagalfokus

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      Benar sekali Mas Yof. Perlu kemasan menarik agar generasi muda dan wisatawan melirik ke sini.
      Yes, pelepah pisang.

      Balas
  11. Avatar Rifqy Faiza Rahman says:
    3 tahun ago

    Artikel yang menarik, membuat saya ikut merasakan keprihatinan tentang nasib wayang ini ke depan. Pak Marsono, Mas Arif perlu dibantu mengemas ini sebagai cara melestarikan wayang sada.

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      3 tahun ago

      ayo mas, budal. habis lebaran silaturahmi lagi

      Balas
  12. Avatar Satya Winnie says:
    2 tahun ago

    Mbah Marsono ini benar-benar keren ya. Rasa-rasanya mau mengoleksi semua wayang sodo nya. Semoga nantinya makin banyak anak-anak muda yang jadi penerus Mbah marsono ya 🙂

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      2 tahun ago

      Iya Mba. aku pengen ke sana lagi beli buat tak pajang juga. lucuk ee..
      Aamiin. Kalau ke Jogja, main sini lagi hayuk Mba

      Balas
  13. Ping-balik: Pulasan Warna Kain Pantai Tepian Sungai Bengawan | insanwisata
  14. Avatar Humas Kemenpar says:
    2 tahun ago

    Selamat malam mas Hannif, mohon untuk dicek emailnya, karena tulisan ini masuk dalam nominator APWI 2017, kami mengirimkan undangan, mohon bantuannya untuk konfirmasinya. Terima kasih

    Balas
    • insanwisata insanwisata says:
      2 tahun ago

      Terimakasih Mas. Sudah saya cek

      Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  • Lama sekali IG ini tidak update  ya  Setengah tahun ini  saya sedang fokus untuk pendampingan masyarakat di destinasi wisata  Pagi ini  ijinkan saya berbagi cerita tentang perjalanan saya selama di Belitung   Tanjung Binga   Sentra Ikan Asin Terbesar di Indonesia  Kampung nelayan Tanjung Binga dihuni oleh masyarakat Bugis  salah satu suku asli di Sulawesi Selatan  Hampir 80 persen dari jumlah penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan  Produk ikan asin dari desa ini bahkan sudah diekspor ke beberapa negara   Pada Oktober kemarin  saya berkesempatan menyambangi desa ini  Menurut data yang saya himpun  kampung nelayan yang terletak di Desa Tanjung Binga ini dikenal sebagai sentra penghasil ikan asin terbesar di Indonesia   Sektor perikanan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Desa Tanjung Binga terbukti mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal  Menyekolahkan anak  membangun rumah  bahkan berinvestasi emas adalah hasil yang diperoleh dari menjual tangkapan ikan
  • Sebagai salah satu situs geopark nasional dan tengah bersiap menuju UNESCO Global Geopark  Belitung lengkap menyuguhkan kekayaan alam  masyarakat  dan budayanya      Pada slide pertama dan kedua  adalah Pantai Tanjung Tinggi  Bongkahan batu berukuran raksasa yang dikelilingi lautan luas ini menjadi ikon perburuan para turis yang berkunjung ke Belitung  Usia batu-batu di pantai ini hampir sama dengan umur fosil dinosaurus pertama di dunia  Nyasasaurus parringtoni yang dinyatakan berusia 240 juta tahun   Pada slide ketiga  adalah Pantai Tanjung Pendam  Turis lokal menjadikan Tanjung Pendam sebagai pusat kebugaran dan menikmati matahari terbenam  Jika lapar datang  deretan rumah makan siap menyajikan masakan laut yang lezat   Slide keempat  adalah santap siang saya di Desa Wisata Kreatif Terong  yaitu Makan Bedulang  Disajikan di hadapan saya gangan ikan  cumi goreng tepung  jantung pisang  dan ikan bakar sebagai menu santap siang   Ayo ke Belitung lagi di September nanti    storytelling  sonyalpha  djiphantom  explorebelitung
  • Pembangunan candi melewati banyak suka maupun duka  Di era Raja Samaratungga  berselang 75 tahun dari kepemimpinan Rakai Panangkaran  tepatnya pada tahun 825 M  pembangunan Candi Borobudur rampung  Bentang alam berupa dataran tinggi berbukit yang dikelilingi gunung tinggi Pegunungan Menoreh  Merbabu  Sumbing  Sindoro  dan Merapi menjadi latar pemandangannya  Tata ruang yang sudah disesuaikan dengan makna dari Syailendra  yakni    Penguasa Gunung         Ada catatan perjalanan baru di blog insanwisata  Kami berkisah tentang keseruan berkeliling Candi Borobudur juga penyangganya  Link ada di bio  ya    jatenggayeng  storytelling  sonyalpha
  • Hari lahir Indonesia  momen setahun sekali yang diwarnai kemeriahan  Tak jarang  penonton terpingkal-pingkal dibuatnya  termasuk saya dan  rezazerr  Lomba makan kerupuk  pukul air  panjat pinang  salome  semuanya bikin geregetan  Beginilah cara kampung halaman saya  Dusun Tojayan dan Biyengan  Desa Karangduren salam merajut cinta tanah air  Kalau di kampungmu  lomba apa yang paling seru    klaten  streetphotographyindonesia  jatenggayeng  sonyalpha  hcsc street
  • Numplak wajik  prosesi yang digelar tiga kali dalam setahun  salah satunya menjelang Idul Adha  Musik para penabuh gejog lesung mengiringi numplak wajik  upacara penanda bahwa gunungan mulai dirangkai  Esok  gunungan akan diarak pada perhelatan Garebeg Besar  kemudian isinya dibagi-bagikan pada warga yang datang  Inilah simbol kasih sayang raja pada rakyatnya    Yogyakarta  nyetritbareng8
No Result
View All Result
  • Tentang kami
  • Catatan perjalanan
  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak

© 2019 a storyteller