Ada dua hal yang berkesan selama berkunjung ke Desa Wisata Bejiharjo, petualangan dan kecantikan gua-guanya. Entah, sudah yang ke berapa kali kunjungan kali ini, sejak agenda Eksplor Deswita Jogja sukses terlaksana, Arif sebagai pengurus POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) kerap mewartakan potensi-potensi wisata baru di daerahnya.
“Mas, reneo (ke sini). Ewangi (bantu) aku angkat potensi Bejiharjo”, ajaknya via telepon.
Menariknya, Arif selalu membawa saya ke tempat-tempat wisata yang belum seramai Gua Pindul. Kejenuhannya terhadap wisata massal di Gua Pindul membuat Arif dan Dewa Bejo mengeluarkan jurus pamungkas sebagai pemasar destinasi wisata. Ia juga termotivasi oleh ayahnya, Subagyo, yang merintis wisata susur sungai Gua Pindul pada 2010.
Di sepertiga siang, jeep meraung menyisir jalan utama wisata Gua Pindul. Pakaian masih belum kering dari cipratan lumpur wisata offroad Bejiharjo. Usai mengunjungi sentra pembuatan blangkon, Arif membawa kami menuju rumah Marsono, dalang Wayang Sada.
Tempat tinggalnya yang tak jauh dari pintu masuk Gua Pindul terlihat sangat sepi. Dua mobil jeep beriringan masuk ke halaman rumah bercat putih. Marsono datang menyambut kami yang baru turun dari jeep dengan wajah semringah. Kami yang antusias langsung mengenalkan diri dan menyerbu dengan beberapa pertanyaan. Memasuki umur yang ke-69, Marsono yang tinggal bersama istrinya tak lagi banyak bisa beraktivitas.
“Hanya ada dua dalang wayang seperti ini di Gunungkidul”, curhat Marsono.
Tetapi lewat tangan Marsono, Wayang Sada bukan saja menjadi kemasan pertunjukan dalam acara hajatan. Panggung Wayang Sada yang digelar di kediamannya sudah cukup kaya koleksi lakon wayang. Juga lewat POKDARWIS Dewa Bejo, Marsono membuka sanggar belajar dengan tujuan mewarisi kekayaan nusantara yang sedang ditekuninya sekarang. Sebab melalui wayang, akan banyak pesan kebaikan yang dapat tersampaikan ke khalayak.
Marsono belum mengakhiri ceritanya. Tangan-tangannya gemetar memegang salah satu lakon wayang kebanggaannya. Pilihannya meniti jalan hidup menjadi pendalang bermula dari cita-citanya sewaktu kecil.
“Waktu itu, saya ingin sekolah dalang, tapi karena orangtua saya tidak mampu membiayai karena hanya menjadi petani dengan dua belas anak, saya nggak sampai hati mau nembung (bilang). Jadi saya berpikir untuk membuat wayang dari rumput”, kenang Marsono.
Celah ini akhirnya memaksa Marsono untuk belajar mandiri, dengan membuat wayang sendiri, tanpa habis biaya dan menyusahkan diri. Dengan menggunakan rumput, Marsono untuk pertama kalinya membuat wayang. Meski sederhana, pembuatan wayang menggunakan bahan dasar rumput seringkali mendapati kendala. Karena terbatas dalam membuat lekukannya, karakter wayang dari bahan dasar rumput terlihat mirip semua sehingga sulit untuk membedakan.
“Wayang kok semua sama. Tidak bisa dibuat gelung maupun mahkota”, ujarnya.
Selain itu, wayang dari bahan dasar rumput tak bisa awet lama karena tangan mudah lepas. Meski pernah gagal dalam mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dalang, Marsono pantang menyerah. Berbekal semangat mengejar cita-cita yang tak redup, dibuatlah wayang dengan bahan dasar ‘sada’, yang dalam bahasa Jawa berarti lidi.
Jika dilihat secara seksama, pembuatan Wayang Sada memang sepenuhnya menggunakan limbah pohon kelapa, seperti lidi (blarak), serabut, batang, dan tempurung kelapa. Berbeda dengan wayang kulit yang dimainkan semalam suntuk, Wayang Sada dimainkan dalam durasi tiga jam saja.
“Sengaja saya padatkan, supaya anak muda tidak bosan”, tambah Marsono.
Dalam satu kali pertunjukan, Marsono dapat mengantongi dua sampai tiga juta permalam. Selain mengandalkan pendapatan sebagai seorang yang tampil mendalangkan wayang, Marsono juga menjual cinderamata Wayang Sada dengan harga paling murah 25 ribu. Namun, nampaknya Marsono masih kesulitan membuat laris jualannya. Meski dalam angka statistik kunjungan wisatawan Pindul terus meningkat, saban pagi hinga sore sanggar Wayang Sada milik Marsono tetap sepi dari wisatawan.
Marsono, maestro Wayang Sada dari Bejiharjo memantapkan profesi yang ditekuninya. Tak berharap imbalan, juga tepuk tangan meriah dari kami. Di tengah silaturahmi yang tak ingin habis terjalin, ia pun mendalang sebelum mengakhiri perjumpaan. Dalam bahasa Jawa yang sulit dimengerti, saya berusaha menemukan inti cerita dalam pentas Wayang Sada dadakan.
Dalam urusan mendalang, Marsono menggarap alunan musik hasil kreasi sendiri. Jemari kakinya mengapit alat yang dipukulkan ke piringan besi sehingga menghasilkan bunyi pekik ketukan yang khas. Tek tek tek. Sementara tangannya terus membuat hidup lakon wayang yang sedang dimainkannya.
“Ke depan, saya juga ingin alat musiknya dari limbah pohon kelapa”, ujarnya.
Lepas giliran kami yang lebih aktif berperaga layaknya seorang dalang Wayang Sada. Satya, jauh-jauh datang dari Jakarta tak mau menyia-nyiakan kesempatan jumpa. Cinderamata Wayang Sada karakter Rama dibelinya sebagai rekan yang diharap menemaninya terbang ke Negeri Kangguru, Australia.
Meski belum diakui khusus sebagai warisan dunia, Wayang Sada memiliki ancaman pewaris dalang yang mengkhawatirkan. Mujurnya, Marsono memiliki Arif dan Dewa Bejo yang masih setia mendampingi dalam urusan memasarkan potensi Wayang Sada. Dan meskipun belum banyak mencuri perhatian wisatawan yang masih terus mengantre panjang di pintu masuk Gua Pindul, saya yakin, wisata budaya Wayang Sada akan laris di pasaran. Hal ini selaras dengan napas desa wisata, yang melestari seluruh potensi serta kearifan lokal yang ada di dalamnya.
Wayang Sada Bejiharjo, teruslah lestari!
Baca juga : Maestro Wayang Sada Rubrik NG Traveler Sentra Budaya
Wah, menarik. Semoga saya bisa ke sana suatu hari
aamiin. Agendakan, Mas!
Kreatifnya..sayang ya kalau tak ada regenerasi 🙁
Iya Mba. Padahal cukup langka di Gunungkidul
Selama ini hanya sebatas mengajari anak kecil setempat sih. Salut juga dengan beliau waktu menceritakan kisahnya. Keren,
Yups
Ini pertama kalinya aku tahu tentang Wayang Sada. BAGUUUUUS!
Rasanya pingin koleksi beberapa dan pajang di rumah. Harganya juga masih “jangkauable” hehe.
hehe. beli mas. Jangan lupa kalau ke Jogja main ke sini ya
Siap.Ntar jumpa dan selpih (((SELFIE))) sama aku ya hihihi
Mau ga yaa. hmm
Salut deh yg buat wayang ini, agak rumit klo liat hasilnya.
bener Mba, karena dari lidi. jadi terlihat rumit ya
Pak Marsono hebat. Keterbatasan memicu otak kanannya bekerja lebih giat dengan melahirkan wayang rumput dan wayang Sada seperti ini. Kalau saja Iya waktu itu sanggup ikut sekolah wayang kulit, mungkin wayang Sada tidak akan lahir ya. Benar kata orang bijak ketika satu pintu tertutup maka pintu lain akan terbuka. Semoga wisatawan Gua Pindul besok-besok tak segan mampir ke rumah pak Marsono dan membeli wayang lidi untuk oleh-oleh 🙂
Benar juga mba. Kalau saja tidak sekolah Wayang, pak Marsono g bakal buat Wayang Sada 🙂
Aamiin. Semoga bukan hanya Pindul yang laris. Ayo ikut dilarisi Mba
Tuhan selalu punya cara lain mewujudkan mimpi2 hambanya. Beruntung bgt bs denger kisah inspiratif Mbah Marsono ini. :’)
aku udah mengurangi bebanmu untuk mengabarkan kisah inspiratif kan? yeay
Aamiin Bang Jo. Ayo main sini, ke Bejiharjo. Biar ketemu Mbah Marsono
Semoga sehat sehat mbah.
Pertunjukannya juga sama kayak pertunjukan wayang biasanya berarti ya? Yang pake lampu sorot gitu gitu
kalau kemarin pas praktik sih g pakai lampu sorot mas.
Hehe. Ga tau kalau pas pertunjukan aslinya
Yaaah keduluan nulis, bahaha, siapa ganti penerus pak Marsono? Hannif Andy dong.
Penggantinya adalah. Ki Demang Tomi Iwan Ngalam
Luar biasa dedikasi pak marsono yaa..
Apa yg bs kita lakukan untuk tetap melestarikan wayang sada ini ya??
Datang melihat, bangga menyaksikan, ikhlas mengabarkan 🙂
Baru tahu kalau ada Wayang Sada.
Kalau saja dikemas dengan baik, aku yakin wayang ini bisa jadi potensi yang gak kalah dari wayang kulit atau wayang golek.
eh, itu buat nancepin wayangnya pake pelepah pisang kah?
*gagalfokus
Benar sekali Mas Yof. Perlu kemasan menarik agar generasi muda dan wisatawan melirik ke sini.
Yes, pelepah pisang.
Artikel yang menarik, membuat saya ikut merasakan keprihatinan tentang nasib wayang ini ke depan. Pak Marsono, Mas Arif perlu dibantu mengemas ini sebagai cara melestarikan wayang sada.
ayo mas, budal. habis lebaran silaturahmi lagi
Mbah Marsono ini benar-benar keren ya. Rasa-rasanya mau mengoleksi semua wayang sodo nya. Semoga nantinya makin banyak anak-anak muda yang jadi penerus Mbah marsono ya 🙂
Iya Mba. aku pengen ke sana lagi beli buat tak pajang juga. lucuk ee..
Aamiin. Kalau ke Jogja, main sini lagi hayuk Mba
Selamat malam mas Hannif, mohon untuk dicek emailnya, karena tulisan ini masuk dalam nominator APWI 2017, kami mengirimkan undangan, mohon bantuannya untuk konfirmasinya. Terima kasih
Terimakasih Mas. Sudah saya cek