‘Ada apa di Binga?’ adalah pertanyaan pertama yang sering diajukan banyak orang yang saya jumpai di Belitung. Bagi masyarakat asli Belitung, seseorang akan datang ke pulau ini untuk menikmati keindahan alamnya. Motivasi kedatangan seseorang ke Belitung selalu dianggap sebagai perjalanan wisata. Maka, wajar saja jika saya mendapatkan banyak tawaran menarik untuk berkeliling pulau-pulau cantik di Belitung.
Akan tetapi, saya malah sedang penasaran dengan kampung nelayan yang cukup masyhur di Kepulauan Belitung. Bahkan jika mencarinya melalui internet, informasi tentang kampung itu akan berada persis di halaman atas. Desa Tanjung Binga namanya.
****
Kampung Nelayan di Bumi Serumpun Sebalai
Matahari masih belum beranjak dari peraduannya. Kabarnya, pukul empat hingga tujuh pagi adalah waktu yang tepat untuk mengunjungi Tanjung Binga. Saya berkendara lambat sembari melepas kaca helm demi khusyuk menghirup udara pagi dalam-dalam. Di tengah sunyi, sayup terdengar deburan ombak. Saya pun semakin bersemangat untuk segera sampai di sana.
Tampak dari kejauhan, sebuah sampan didayung menuju daratan. Yasir bersama putranya; Daniel, berjalan dengan membawa beberapa kantong plastik dan keranjang berisi cumi segar.
“Oktober ini musim cumi, Mas,” jelasnya.
Sepanjang bulan September hingga Desember, sebagian nelayan yang biasa menjaring ikan akan memancing cumi. Selain mengikuti musim, harga cumi diakui cukup tinggi.
“Ya, biasanya 70 ribu per kilo. Paling tinggi sampai 90 ribu,” seru Yasir sembari menambatkan perahunya ke kapal yang lebih besar.
Hasil laut menjadi penghidupan keluarga Yasir sejak lama. Bahkan putranya yang masih duduk di bangku kelas lima sekolah dasar sudah terbiasa menemaninya melaut. Saban sore, Yasir berangkat berlayar menggunakan sampan kecil yang hanya bermuatan dua orang. Gulungan ombak adalah taman bermainnya. Dengan membawa bekal alat pancing dan santap malam, hampir setiap hari lelaki paruh baya ini menghabiskan malam di tengah lautan.
“Kadang saja ikut nyari ikan. Kalau di kapal ya sambil tidur,” ungkap Daniel. Pagi sepulang berlayar, Daniel bergegas kembali ke rumah untuk bersiap menuju sekolahnya.
Tak hanya Yasir dan Daniel yang pulang melaut. Beberapa sampan dan kapal berukuran besar terlihat mulai merapat ke daratan. Menariknya, nelayan di desa ini terbiasa bekerja secara berkelompok. Kadang satu kapal bisa menampung hingga tujuh orang.
Tak seperti Yasir yang hanya membawa sekantong plastik hasil melaut, kelompok ini membawa beberapa ember berukuran besar yang sudah penuh terisi ikan berbagai ukuran. Seseorang yang tengah berdiri di parak-parak–sebutan masyarakat Belitung untuk tempat menjemur ikan–melemparkan tali ke kapal. Lewat katrol kayu, kemudian ember-ember berisi ikan itu ditarik ke atas.
Setidaknya membutuhkan dua orang untuk menggerakkan katrol kayu. Salah satu orang bertugas mencatat dan menimbang muatan. Dalam sekali berlayar, tujuh nelayan dalam satu kapal ini bisa membawa empat ember penuh tangkapan ikan.
Seperti inilah aktivitas masyarakat di Kampung Nelayan Desa Tanjung Binga, Kecamatan Sijuk, Kabupaten Belitung setiap harinya. Kampung nelayan dalam benak saya adalah tempat yang sangat kumuh. Namun, berbeda dengan apa yang saya lihat di Tanjung Binga. Jangankan sampah, bau amis pun tak tercium sama sekali. Tentang bagaimana perilaku masyarakat mengelola sampah rumah tangga akan menjadi bagian yang menarik untuk saya jelaskan nanti.
Ada alasan tersendiri julukan Kampung Nelayan tersemat pada Desa Tanjung Binga. Hampir 90 persen dari total 1.700 jiwa di sini berprofesi sebagai nelayan. Bahkan hampir separuhnya adalah suku Bugis.
Muasal bagaimana Tanjung Binga bisa dihuni oleh separuh suku Bugis pun saya dapatkan langsung dari masyarakat. Singkatnya, pada 1967, tersebutlah saudagar bernama Haji Tandra yang merantau ke Tanjung Binga.
Seiring berjalannya waktu, ia mengajak saudaranya untuk mencari nafkah di Tanjung Binga. Profesi nelayan pun dipandang sebagai pekerjaan yang menjanjikan. Bahkan sampai sekarang, hasil laut tetap menjadi penyambung hidup masyarakat Bugis dan para pendatang.
Kapal-kapal yang berlayar
Orang Bugis masyhur sebagai pelaut ulung. Derasnya ombak yang masuk ke geladak adalah hal yang biasa. Hidupnya banyak dihabiskan untuk meniti buih di samudera nan luas. Karakter itu yang saya temui di Tanjung Binga.
Desa ini menjelma menjadi dermaga yang disesaki perahu-perahu nelayan. Kelompok nelayan Tanjung Binga memainkan peranan penting sebagai perantara distribusi ikan asin di Sumatra. Pun perdagangan ikan yang benar-benar menggoda belakangan ini. Perniagaan maritim akhirnya tak hanya di lingkup domestik saja, melainkan sampai ekspor ke mancanegara.
Belum lagi masuknya bantuan alat-alat canggih seperti radar. Hanya tinggal berlayar, panel monitor akan menunjukkan di mana lokasi ikan. Bahkan radar dapat mendeteksi jenis maupun ukuran ikan. Beberapa kapal juga telah dilengkapi panel surya untuk mengisi daya aki.
“Di sini alat sudah canggih, Mas. Dulu mana ada radar. Kita masih mengandalkan alam. Sekarang sudah enak. Tinggal jalan keliatan di layar. Misal di bawah ada ikan kakap merah, radar bisa membacanya. Kalau ikan masih kecil, nggak ditangkap sama nelayan. Sekarang mereka sudah pintar. Beda sama dulu,” jelas Haryono sepulang melaut.
Umumnya, nelayan akan berangkat pada siang hari dan pulang mendekati waktu fajar. Namun, ada juga yang berlayar sampai dua pekan. Perbedaan waktu berlayar ini ditentukan oleh ukuran kapal. Makin besar kapalnya–masyarakat biasa menyebutnya bagan –, makin sanggup ia berlayar jauh. Semakin jauh kapal dapat berlayar, semakin banyak hasil tangkapan ikannya.
Jika berlayar jauh, para nelayan melakukan semua kegiatan sehari-harinya di kapal. Cuaca, ombak, angin, adalah aral yang jamak ditemui masyarakat nelayan. Mujur, komunikasi sekarang lebih mudah. Semua terbantu lewat teknologi. Andai kesulitan mendapatkan jaringan, handie talkie menjadi andalan. Dengan bantuan teknologi, masyarakat nelayan bisa mendapatkan informasi di lapangan dengan cepat.
Produk Tanjung Binga kebanggaan Indonesia
Suasana berbeda saya dapati ketika berjalan terus menuju selatan. Sejauh mata melepas pandang, terhampar parak-parak yang menjorok hingga dua puluh meter ke lautan. Bagi yang tak terbiasa, tentu perlu kehati-hatian untuk meniti tempat penjemuran ikan ini.
Kali ini saya bertemu Sutarto yang sedang bersantai di belakang rumahnya. Ia menunjukkan ikan tangkapannya sembari melepas tawa. Bobotnya mungkin lebih dari 15 kilogram. Sutarto adalah satu dari ratusan nelayan yang memilih melaut menggunakan perahu kecil. Sembari menebar jaring, ia juga memancing.
“Ikan seperti ini susah laku, Mas. Biasanya ya kita masak sendiri”, kelakar Sutarto sembari membalik-balikkan badan ikan tangkapannya.
Sementara di sisi barat rumahnya, terdapat bangunan sederhana berukuran 3×3 meter yang tersambung dengan rumah tinggal. Di dalamnya terdapat beberapa pekerja–yang sebagian besar wanita–melakukan rutinitas harian mengemas ikan asin laisy ke dalam kardus.
Tak kurang dari 50 ton ikan segar dan ikan asin dihasilkan Kampung Nelayan Tanjung Binga setiap bulannya. Ikan kakap, kerapu, kembung, teri, cumi, juga ikan laisy adalah tangkapan yang paling banyak dijual dari desa ini. Informasi ini langsung saya dapatkan dari Tarappe, kepala desa sekaligus penggerak (local champion) Kampung Berseri Astra Tanjung Binga.
“Kardus ikan ini nanti dikirim ke Jakarta, Mas. Setelah dari Jakarta, ikan asin ini akan dikirim ke luar negeri. Tapi jarang ada yang tahu kalau ikan asin ini produk Tanjung Binga”, ungkap lelaki berkulit mengilap khas orang-orang laut.
Proses pengolahan ikan sampai siap jual pun tak membutuhkan waktu lama. Mulanya, ikan segar akan dicampur garam selama satu malam. Selanjutnya, ikan akan dijemur di bawah terik matahari sepanjang parak-parak. Normalnya hanya membutuhkan waktu satu hari untuk mendapatkan ikan asin yang kering. Namun jika musim penghujan, ikan asin dapat kering dalam waktu dua hingga tiga hari. Jika cuaca masih tidak memungkinkan, pengeringan ikan akan diproses menggunakan mesin pengering hibah dari Pemerintah Jepang. Meski jumlahnya terbatas, bantuan alat ini nyatanya mampu membuat stabil bisnis pengolahan ikan di Tanjung Binga.
Tidak hanya produk ikan asin saja. Masyarakat Tanjung Binga juga dikenal sebagai produsen ikan kukus terbesar di Belitung. Produknya sendiri paling laku di Pontianak. Proses ini tentu memakan waktu lebih lama dibanding ikan asin biasanya. Mulanya, ikan yang telah dicuci akan direbus menggunakan tungku api selama lima belas menit. Setelah itu, barulah dikeringkan di bawah terik matahari.
Menjelang sore, usai dikemas di gudang penampungan, mobil bak terbuka akan terparkir di sepanjang jalan. Dalam satu kardus yang berisi 25 kilo ikan asin, masyarakat menjualnya di harga Rp 10.000 hingga Rp 50.000 per kilonya.
Walaupun belum dilakukan penjualan secara daring, produk ikan asin dan segar di Tanjung Binga tak pernah tersisa. Kelompok-kelompok nelayan telah mengantongi kontrak kerjasama antar perusahaan di Jakarta, sebelum dikirim ke banyak negara. Bahkan yang lebih membanggakan lagi, desa ini menjadi sentra produk ikan asin terbesar di Indonesia.
“Tidak heran kalau desa kami menjadi desa penghasil ikan asin terbesar di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari jumlah hasil tangkapan maupun jumlah kapal dan bagan yang kita miliki”, terang Tarappe.
Pada bulan-bulan tertentu, masyarakat yang terbiasa menghabiskan waktu di lautan akan beristirahat total. Kondisi cuaca ekstrim sepanjang bulan Desember hingga Februari akan membuat mereka lebih banyak di rumah ketimbang berlayar di laut. Sepanjang laut tidak bersahabat, masyarakat pun tak tinggal diam. Banyak di antara mereka yang bekerja di daratan. Merawat kapal, membuat jaring maupun memperbaiki parak-parak adalah pekerjaan yang ditekuni masyarakat selama tiga bulan.
Membangun SDM Tanjung Binga yang banyak tantangannya
Masyarakat kampung nelayan Tanjung Binga memiliki pandangan yang beragam terhadap pendidikan. Sebagian melihat pendidikan tinggi sangatlah penting. Namun lebih banyak lagi yang melihat pendidikan hanya bisa mengantar anak-anak mendapatkan ijazah. Setelahnya, mereka akan kembali ke laut untuk mencari nafkah.
“Dulu pernah ada program les bahasa Inggris gratis di sini. Tapi tidak ada satu pun yang mendaftar,” curhat Tarappe saat ditemui di kediamannya.
Kepelikan ini yang membuat Tarappe mengambil inisiatif. Bersama rekannya di pemerintahan, ia mendesak pemerintah kabupaten untuk segera melakukan pembangunan sekolah formal kejuruan bidang pariwisata. Usaha itu pun direspon baik oleh pemerintah kabupaten. Pada 2019, diresmikanlah SMK Negeri 1 Sijuk yang bertempat di Desa Tanjung Binga.
Dengan diresmikannya sekolah formal kejuruan yang berlokasi di Tanjung Binga, Tarappe beranggapan bahwa tidak ada lagi alasan bagi masyarakat untuk tidak menuntaskan kewajiban belajar sembilan tahun.
“Paling tidak saya membangun sumber daya manusianya dulu, Mas. Karena Tanjung Binga menjadi Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata. Kalau masyarakat kita tidak berpendidikan, kita akan sulit mengambil peluang itu,” ungkap Tarappe.
Jika berbicara pembangunan infrastruktur, Desa Tanjung Binga tak kurang perhatian. Hal ini disebabkan karena bertiupnya angin segar bernama pariwisata pada tahun 2015. Selain masuk sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), secara resmi Kepulauan Belitung dipilih sebagai 10 destinasi wisata prioritas yang akan digenjot pengembangannya.
Dengan objek wisata prioritas berupa potensi bahari, pemerintah pun melakukan fokus pengembangan melalui penetapan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Klayang seluas 324,4 Hektare. Kawasan ini pun membentang dari Desa Tanjung Binga hingga Desa Keciput di Kecamatan Sijuk.
Hanya berjarak 8 Km dari lokasi syuting film Laskar Pelangi, yaitu Pantai Tanjung Tinggi, Desa Tanjung Binga juga memiliki akses yang sangat dekat dengan Pulau Lengkuas, Pulau Burung dan Pulau Kepayang. Saking dekatnya, tiga pulau cantik ini dapat dilihat langsung dari Desa Tanjung Binga.
Gaung pariwisata sebagai program strategis meningkatkan pendapatan daerah sudah dicanangkan. Masyarakat pun antusias menyambutnya. Namun Tarappe sangat penuh kehati-hatian.
Suara Tarappe semakin pelan. Pandangannya entah ke mana saat saya bertanya tentang kesiapan desa menghirup angin segar ini. Ia kembali meneguk segelas kopi sampai menyisakan ampasnya.
“Biar Mas Hanif punya banyak gambaran, saya ajak ke beberapa tempat. Berangkat sekarang?” ia menawarkan ajakan yang tentu tak bisa saya tolak.
Kendaraan roda dua kami melaju ke selatan menaiki sebuah bukit yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Sebuah gerbang terlihat dijaga oleh seorang juru tiket. Halamannya dirambati rumput hijau yang sangat terawat. Nyanyian burung-burung pun samar terdengar. Masyarakat Tanjung Binga menyebut tempat ini dengan nama Bukit Berahu.
Angin berhembus sepoi membelai rambut saya. Kami menuruni anak tangga menuju sebuah pantai. Pasir putih dengan beberapa bongkahan batu purba adalah pemandangan yang menggoda mata. Di sisi baratnya berdiri kamar-kamar panggung untuk menginap wisatawan. Tarappe seolah ingin menunjukkan bahwa potensi kampung halamannya bukan saja produk ikan asin yang sudah sohor di Indonesia.
“Kalau dikelola secara profesional, seperti inilah contohnya, Mas”, sorot matanya menatap sebuah restauran di Bukit Berahu.
Di luar potensi alam dan hasil laut yang luar biasa, permasalahan sampah di laut menjadi kekhawatiran Tarappe. Tidak dapat dipungkiri, jenis sampah terbanyak yang ditemukan di lautan adalah puntung rokok dan bungkus makanan minuman. Tarappe sadar penyuluhan tidak akan cukup untuk menciptakan kondisi laut yang bersih. Untuk itu, ia menginisiasi program pengolahan sampah berbasis komunitas bernama Perincong Kelekak dalam bahasa Belitung, yang artinya sudut kebun.
Usaha Tarappe menginisiasi program konservasi lingkungan ini tak berjalan mulus. Tujuh bulan lamanya ia harus menanti pendaftar. Minimnya minat masyarakat terhadap aksi peduli lingkungan tak membuat Tarappe mundur. Ia terus melakukan sosialisasi dan menyebar selebaran program.
“Saya menunggu tujuh bulan untuk program ini. Satu pun tidak ada yang daftar,” kenangnya.
“Kalau mau, saya bisa saja bekerja sama dengan pihak luar untuk pengolahan sampah. Tapi saya ingin program ini dikerjakan langsung oleh masyarakat. Sampai suatu hari saya bertemu dengan beberapa pemuda,” cerita Tarappe sembari menunjukkan sertifikat pengukuhan komunitas Perincong Kelekak.
Ikhtiar Tarappe tak sia-sia. Ia justru mendapatkan dukungan dari anak-anak muda yang tak pernah sekalipun ia lirik untuk dilibatkan. Program pun berjalan. Saban sorenya, sebelas orang yang tergabung dalam Perincong Kelekak akan berkeliling untuk mengangkut sampah-sampah rumah tangga.
Tidak hanya menampung sampah rumah tangga, komunitas ini juga melakukan daur ulang sampah menjadi produk bernilai tinggi. Produk kerajinan tangan seperti tas, dompet, adalah hasil coba-coba sebelas anak muda yang tergabung dalam komunitas Perincong Kelekak. Usaha Tarappe pun akhirnya mengundang kepedulian salah satu warga, yang memilih untuk menjadi donatur pengadaan sepeda motor pengangkut sampah.
Selain itu, ia terus giat mengingatkan masyarakat untuk menjaga terumbu karang. Menurut pandangannya, semakin bagus terumbu karang, ikan akan semakin dekat dengan bibir pantai. Keselamatan nelayan pun menjadi terjamin karena tidak harus berlayar jauh.
“Meski sederhana dan terlihat biasa, setidaknya saya bisa berbuat sesuatu yang saya wariskan ke anak-anak (generasi muda) untuk menjaga laut yang akan menjadi andalan wisata kita”, ungkap lelaki yang tengah mengambil studi sarjana hukum di Universitas Terbuka ini.
Kembali mengambil sekolah sarjana bukanlah tanpa alasan. Prediksi Belitung akan menjadi destinasi wisata primadona sudah jauh ada sebelum meledaknya film Laskar Pelangi. Potensi ini ditangkap lebih dulu oleh orang-orang bermodal. Kepemilikan tanah pun berpindah. Sebagian masyarakat menjual tanahnya. Suatu masalah yang akhirnya menjadi mimpi buruk Tarappe, yang kemudian dicalonkan menjadi kepala desa oleh sahabat-sahabatnya.
Meski belum terasa dampaknya karena masih banyak masyarakat yang masih bisa bertahan hidup lewat hasil laut, Tareppe mengaku ingin segera mencegahnya.
“Saya sedang melakukan pencatatan, kembali menginvetarisasi aset-aset desa. Kalau belum ada kekuatan hukumnya akan segera kami carikan,” tambahnya.
Tarappe berharap angin segar pariwisata itu tak diwarnai topan yang dapat membuat masyarakat mengungsi dari tanah kelahirannya. Usaha Tarappe memang tidak akan menampakkan hasil secara instan. Namun dalam jangka panjang, jerih payahnya akan membuat masyarakat Tanjung Binga berdikari. Kelak atas usahanya, masyarakat akan semakin sejahtera dan mampu menjaga nama baik Belitung sebagai destinasi pariwisata.
Kemitraan untuk pemberdayaan masyarakat
Tarappe sadar betul agar masa jabatannya tak sia-sia. Untuk mempercepat pembangunan manusia di tanah kelahirannya, ia banyak menggandeng mitra, baik dari sektor swasta maupun para akademisi. Gayung bersambut. Pada 2017, Tanjung Binga mendapatkan bantuan sosial dari perusahaan otomotif terbesar di tanah air, PT ASTRA Internasional Tbk.
“Saya langsung yang presentasi, Mas. Saat itu saya cuma punya waktu dua hari untuk menyiapkan dokumennya. Mungkin saya menyampaikannya secara detail, ya. Bukan hanya kondisi masyarakat, tetapi letak geografis dan potensi strategisnya. Akhirnya desa saya yang terpilih,” kenang Tareppe pada momen dua tahun lalu.
Tanjung Binga menyisihkan sebanyak 308 desa calon penerima bantuan program Kampung Berseri Astra. Program kepedulian sosial perusahaan ini mengusung dan mengintegrasikan empat pilar pembangunan, yakni pendidikan, kewirausahaan, lingkungan, dan kesehatan.
Melalui program Kampung Berseri Astra, Desa Tanjung Binga mendapatkan bantuan pendanaan dan pendampingan. Bagi kelompok nelayan, diberikan penyuluhan konservasi lingkungan. Bagi kelompok wanita, diberi keterampilan pengolahan hasil laut yang menjadi produk makanan buah tangan wisatawan. Program ini tentu selaras dengan apa yang telah diprogramkan Tarappe sejak ia terpilih, yakni menyiapkan lingkungan destinasi wisata Tanjung Binga yang berkelanjutan.
“Astra membantu kami untuk memberikan keterampilan kepada kelompok nelayan, khususnya kaum perempuan. Salah satunya adalah pengolahan produk laut menjadi keripik. Saat ini sedang proses pembangunan gerainya. Jadi ketika nanti ada wisatawan dari Pulau Lengkuas, bisa langsung mampir ke gerai oleh-oleh Tanjung Binga,” ucapnya.
Di bidang pendidikan, Tarappe mengusulkan pengadaan ruang-ruang baca untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pendidikan. Ruang baca ini kemudian diaplikasikan melalui program Gerobak Baca Astra. Meski koleksinya tak banyak, Tarappe mengaku senang karena bantuan ini mampu menjadi perhatian para orang tua yang memiliki anak di usia sekolah.
“Sengaja saya tempatkan di halaman TK. Bagi ibu-ibu yang menunggu anaknya pulang sekolah, mereka akan menyempatkan membaca buku walau sebentar,” tambah Tarappe dengan bangga.
Di bidang kesehatan, Astra memberikan dukungan dalam bentuk sosialisasi Pola Hidup Bersih Sehat (PHBS) dan pelayanan kesehatan gratis untuk balita hingga lansia. Untuk memastikan keberlajutannya, Astra membentuk kader kesehatan yang bertugas memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat dengan sistem jemput bola. Bahkan belum lama ini, tepatnya pada 16-23 November 2019, Desa Tanjung Binga menjadi tuan rumah Festival Kampung Berseri Astra (KBA) Kesehatan.
Menggerakkan ekonomi masyarakat
Tarappe sendiri memiliki pandangan lain terhadap perekonomian masyarakat Tajung Binga. Dengan posisinya sekarang, Tarappe tak menjanjikan pendapatan masyarakat meningkat. Menurutnya, andai seluruh programnya berhasil dan mendatangkan rupiah, hitungannya masuk sebagai bonus pendapatan. Ia tak mau menempatkan uang menjadi sebab anak-anak meninggalkan pendidikan akibat tergiur menjadi penyedia jasa di sektor pariwisata.
Industri pariwisata tentu bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan daerah saja. Dengan hadirnya bisnis wisata, Tarappe berharap kepemilikan atas tanah juga tidak dialihkan sehingga masyarakat lokal dapat merasakan hasilnya langsung. Selain itu, pembangunan pariwisata yang difokuskan pada KEK Tanjung Binga diharap dapat mencegah urbanisasi dan menekan angka pengangguran.
Dua tahun sejak masuknya bantuan Astra, masyarakat semakin mantap menyambut pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Binga. Kehadiran Astra dalam mendorong masyarakat untuk bisa berdaya dalam bidang kewiraausahaan tentu tak sia-sia. Berkat pendampingan dan penguatan mental wirausaha, masyarakat akan semakin banyak yang bisa terlibat dalam bisnis pariwisata.
Mimpi Tarappe pun tak muluk. Meski saat ini sedang menyiapkan pengembangan desa menjadi desa wisata berbasis alam dan budaya, Tarappe mengaku tak ingin tampil panggung sendirian. Ia ingin membentuk tim yang nantinya dapat melanjutkan mimpi dan cita-cita besar masyarakat Tanjung Binga.
Baca juga : Tanjung Binga, Sentra Ikan Asin Terbesar di Indonesia
“Saya bisa dikatakan berhasil menjadi pemimpin jika dapat melahirkan kader-kader terbaik untuk menjadi pemimpin Desa Tanjung Binga selanjutnya,” pungkas Tarappe.
Tarappe terdiam sejenak. Pandangannya menerawang jauh sampai ke tengah samudera. Ia meyakini, hasil tak akan pernah mengingkari sebuah proses yang diusahakan. Masa sekarang maupun yang akan datang, dipimpin Tarappe atau yang lainnya, akan selalu tercurah asa teruntuk Tanjung Binga. Semangat Tarappe dalam melakukan perubahan di Desa Tanjung Binga menuju desa sejahtera sejalan dengan semangat Astra untuk Indonesia. #KitaSATUIndonesia #IndonesiaBicaraBaik
(Tulisan ini meraih juara favorit dalam ajang Anugerah Pewarta Astra Tahun 2019)
menarik sekali ya, sayang lagi ke belitung gak ke sini
Berarti kalau ke Belitung lagi sempatkan ke sini Mba
Menarik rasanya kalo bisa membantu dan beraktivitas seperti itu,.
Betul sekali. Terima kasih banyak sudah mampir