Gesit, cerdas, dan pantang menyerah. Barangkali tiga kata itu yang bisa mewakili karakter Sofiyudin Achmad selaku local champion DSA Temanggung.
Sofi, begitu panggilan akrabnya, saat saya temui baru saja selesai melakukan kegiatan kerja bakti. Pemuda kelahiran Juli 1995 ini langsung menyambut kedatangan saya dan keluarga.
“Saat ini kita sedang mengembangkan namanya creative hub, mas,” ujarnya sembari melempar pandangan ke hamparan sawah lokasi di mana creative hub dibangun.
Berangkat dari program pemberdayaan kampus
Lahir dari keluarga yang ekonominya terbilang cukup, Sofi adalah sosok pemuda yang memiliki idealisme tinggi. Bermula dari program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Gedong Pass yang bertempat di Lereng Merbabu pada 2016, kecintaannya pada desa tumbuh.
Di samping idealis, beberapa rekannya mengganggap Sofi adalah sosok yang gila lantaran tidak ikut pulang selepas penarikan program KKN. Ia pun harus menetap selama satu setengah tahun demi merealisasikan program yang menjadi mimpi besar masyarakat Desa Gedong Pass.
Jutaan rupiah dari beasiswa sekolahnya sudah ia sisihkan. Ia pun harus berjualan pisang aroma, susu kedelai, bahkan menjual kayu Sengon milik orang tuanya. Hasil dari penjualan kembali ia gunakan untuk bertahan hidup dan membantu program-program pembangunan di desa.
Kendati sering mendapat penolakan, Sofi pantang menyerah, sampai akhirnya ia bisa membuktikan hasil positif. Berkat kegigihannya, ia dipertemukan dengan banyak influencer dan ketua komunitas ternama. Dalam kurun waktu tujuh bulan saja, tak kurang 10.000 wisatawan datang ke Gedong Pass. Kerja yang sudah tuntas, tetapi tak membuat Sofi berhenti berlari.
“Masa lalu selalu baru bagi saya,” ujar Sofi.
Inilah yang membuat Sofi memutuskan untuk memilih berprofesi sebagai sociopreneur. Berbekal pengalaman panjang saat mahasiswa, Sofi akhirnya memilih pulang ke rumah orang tuanya, Temanggung.
Sofi tak seperti sarjana lainnya yang kemudian sibuk mempersiapkan lamaran kerja. Setelah berkeliling ke sana ke mari, ia berjumpa dan jatuh hati pada keindahan Desa Muncar. Di sinilah episode baru Sofi. Ia berproses menjadi sarjana membangun desa, persis tak lama setelah ia lulus dari kampusnya.
“Saya kagum. Ada juga desa di antara lembah, tetapi punya sawah dan potensi yang kaya,” kenangnya.
Masuk ke Desa Muncar sebagai pendatang, Sofi membawa cukup banyak perubahan. Pengabdiannya yang tulus dengan cara komunikasi yang baik membuatnya mudah diterima oleh masyarakat. Namun, di balik potensi Desa Muncar yang besar, Sofi mendapati banyak permasalahan yang mengganjal.
Mengubah mindset dan kebiasaan
“Usaha kopi ada di mana-mana, itu yang membuat kita bingung mau usaha apa,” Sofi kembali serius mengulik potensi Desa Muncar.
Desa Muncar sendiri merupakan salah satu Desa Sejahtera Astra (DSA) yang terletak di antara dataran tinggi Gunung Sumbing, Sindoro, dan Prau. Dengan lanskap perdesaan yang masih asri, mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani, khususnya penghasil biji kopi Robusta. Dengan luas wilayah 984 hektare, Desa Muncar membawahi 9 dusun yang terbagi lagi menjadi 9 RW dan 40 RT.
Berdasarkan bukti prasasti VOC pada 1619 yang ditemukan di Bukit Tanggulangi, disebutkan bahwa Muncar adalah desa terbaik untuk budidaya kopi Robusta. Namun, meskipun sudah terkenal sebagai produsen kopi sejak jaman Belanda, kopi Temanggung belum mampu bersaing secara nasional. Dari sinilah Sofi memulai langkahnya, yaitu ingin memberikan nilai tambah dan branding kopi Robusta khas Desa Muncar.
Mulanya, masyarakat Desa Muncar hanya memetik kopi tanpa membuat produk turunannya. Komoditi kopi juga menjadi tanaman pelarian lantaran masyarakat hanya bisa memetik hasilnya sepanjang bulan Juni hingga Agustus. Kondisi yang sangat mustahil untuk dapat dijadikan sebagai tumpuan hidup. Namun, begitulah kondisi Desa Muncar.
Di sisi lain, perlakuan budidaya dan pengolahan kopi pun masih asal-asalan. Petik hijau dan langsung jual sudah menjadi kebiasaan sejak turun temurun. Tak heran, harga saat itu cukup rendah, yakni mulai 20 ribu per kilogram green bean.
Baru di tahun 2018, tepat saat Sofi menandatangani kontrak sebagai fasilitator Desa Sejahtera Astra, ia makin fokus untuk merealisasikan cita-citanya bersama masyarakat Desa Muncar. Dari pintu ke pintu, Sofi hadir di tengah masyarakat untuk mendengarkan masalah dan berbagi ide sederhananya.
Perjalanannya dalam membersamai masyarakat Desa Muncar tak selalu mulus. Kadang, ia bisa menemukan rekan yang asyik diajak berdiskusi. Namun, lebih sering lagi, ia harus berhadapan dengan kelompok yang pesimis dan sudah merasa cukup dengan pendapatannya.
Sikap yang terdengar wajar mengingat dalam satu kebun saja, setiap petani sanggup memanen biji kopi sebanyak 3–5 ton. Namun, harga yang berlaku di pasaran pun tak sebaik yang diinginkan. Di samping itu, kualitas biji kopi yang harusnya memiliki mutu tinggi justru menjadi rusak.
Sofi tak kehilangan akal. Meski latar keilmuannya adalah Administrasi Publik, Sofi cepat bisa beradaptasi dan melakukan inovasi. Ia pun tak harus belajar pertanian dari nol, melainkan memodifikasi dan merekayasa aspek sosialnya melalui ilmu yang didapati semasa sekolah.
Sofi meyakini kopi tidak hanya menjadi komoditas, tetapi juga sebagai atraksi wisata. Juli 2019, Sofi mengemas musim panen kopi menjadi Festival Panen Raya Kopi Sang Intan Merah Bhumi Pala. Tak hanya festival, gelaran tarung seduh barista se-Jawa Tengah dan DIY pun digelar di Desa Muncar. Animo masyarakat pun terlihat. Di sinilah, ia bertemu dengan 30 kelompok petani kopi Robusta dari Desa Muncar. Sofi pun makin mantap dalam melangkah.
Tanaman kopi yang dulunya mendapatkan perlakuan asal-asalan, kini mulai diolah secara profesional. Baik dari sisi manajemen, proses petik dan pengolahan, maupun penjualannya, Sofi terlibat cukup banyak. Tak hanya menyentuh potensi yang terlihat di depan mata, ia pun sudah berpikir untuk jangka panjang, yaitu regenerasi.
“Kalau saya cuma bilang ayo kembali ke desa, tetapi saya tidak menciptakan orang-orang ekonomi, ya percuma,” ujarnya.
Untuk memastikan keberlanjutan bisnis komoditi kopi Desa Muncar, Sofi membuat satu wadah yang dikelola langsung oleh masyarakat lokal, yaitu Koperasi Mulyo Migunani. Organisasi ini tak hanya mengurus keanggotaan, melainkan menerapkan praktik pengolahan kopi sesuai SOP. Salah satunya adalah dengan cara pemilihan kopi cherry melalui petik merah.
Selain petik merah, menjaga kualitas biji kopi juga dipengaruhi oleh proses pascapanen-nya. Dikenalkanlah konsep para-para, yaitu sistem menjemur biji kopi dengan metode tidak menapak tanah.
Dampaknya pun direspon baik oleh masyarakat Desa Muncar. Jika diolah mengikuti standar yang sudah ditentukan, harga jual dapat meningkat hingga 50 persen. Normalnya, untuk harga green bean jenis natural sendiri bisa mencapai Rp 24–30 ribu per kilonya.
Sejauh ini, sudah terdapat tiga jenis olahan biji kopi yang siap jual, yaitu natural, honey, dan wine dengan harga yang berbeda-beda. Untuk produk unggulannya sendiri, klaster kopi memiliki dua jenama yang sudah terkenal, yaitu kopi Robusta Muncar Temanggung dan Single Origin Arabika Petarangga. Hebatnya lagi, kopi produksi Desa Muncar sudah dipromosikan hingga ke Negeri Kincir Angin, Belanda.
Dampak yang lebih luas
Melihat usaha Sofi yang membuahkan hasil manis, Astra menantangnya untuk membuat program yang dapat memberi dampak sosial secara luas. Pada 2019, Sofi kembali memetakan produk-produk unggulan di Desa Muncar dengan sistem klasterisasi. Kali ini, Sofi tak sendirian. Ia dibantu oleh banyak orang, termasuk para sesepuh desa.
Untuk mendukung programnya, Astra menyalurkan berbagai bentuk bantuan dan pendanaan sesuai kebutuhan. Mulai dari fasilitas produksi kopi, peternakan, hingga pariwisata dan ekonomi kreatif menyasar langsung pada kelompok masyarakat.
Di klaster pertanian kopi, Koperasi Mulyo Migunani mengembangkan Sekolah Kopi, yaitu sarana belajar mengolah kopi bagi masyarakat dan wisawatan. Dibangunlah gedung Unit Pengolah Hasil (UPH) sebagai lumbung kopi Desa Muncar.
Meski tampak sederhana, bangunan ini kini menjadi mesin kontrol kualitas kopi Muncar sebelum didistribusikan ke konsumen. Mulai dari pengolahan, penyortiran, roasting, penggilingan, pengemasan, hingga pemasaran dilakukan di bangunan ini.
Untuk mendukung bisnis olahan kopi, Sofi dan masyarakat Desa Muncar turut mengembangkan gula semut organik, madu Klanceng, hingga rempeyek dari daun kopi. Turunan olahan gula semut organik pun cukup beragam, mulai rasa jahe hingga kunyit asam.
Menariknya lagi, sebagai desa yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai petani, turut dikembangkan unit usaha minapadi. Sistem minapadi sendiri merupakan usaha budidaya ikan di sawah dan tanaman padi yang dilakukan secara bersamaan.
Jika harus dihitung dampaknya, program peningkatan kesejahteraan yang didukung Astra telah memberi nilai tambah bagi masyarakat Desa Muncar. Sebut saja di komoditi kopi. Berkat bantuan dan dukungan Astra, Sofi juga berhasil melakukan perluasan buyer kopi dan pemasoknya. Jumlah desa binaan yang semula berjumlah 3, kini berkembang menjadi 14 desa. Menariknya, hingga tahun 2021, setidaknya terdapat 5.500 jiwa yang merasakan dampaknya. Angka ini terus meningkat jika dibanding tahun 2018 yang hanya dirasakan langsung oleh 200 jiwa.
Dari sisi pendapatan, produksi kopi Koperasi Mulyo Migunani dapat mencapai Rp 30 juta per bulan. Sementara untuk kelompok minapadi dengan lima anggota kelompok penggerak mampu mennghasilkan pendapatan hingga Rp 25 juta per bulan.
Dalam perjalanannya, munculah merek dagang ‘Moncer’ mengikuti nama Desa Muncar. Satu kata yang sarat filosofi dengan makna memesona, bercahaya, memberi kesejahteraan. Disematkannya ikon burung elang pada logo Muncar Moncer bukanlah tanpa alasan. Secara historis, desa ini lahir dari pertikaian Raja Ki Ageng Ari Anak dan Ki Ageng Kari Nongko yang melibatkan bala tentara pasukan elang. Jika beruntung, wisatawan bisa melihat maskot satwa langka Indonesia terbang dengan bebas di langit Desa Muncar. Kini, komoditi kopi yang mulanya sebagai pelarian justru menjadi produk unggulan dan membawa nama Desa Muncar hingga kancah internasional.
Pulang ke desa, suatu kebanggaan
Sofi tak ingin tampil sendirian. Baginya, keberhasilan dan keberlanjutan pembangunan desa bukan saja pada sisi bisnisnya, melainkan juga sumber daya manusianya. Pertanyaan dan kegundahan Sofi dalam mengajak anak muda Desa Muncar untuk pulang ke desa pun perlahan mulai terjawab. Satu per satu lulusan sarjana yang telah lama merantau kini memilih berkarya di desa.
Bukan karena kesulitan mencari kerja, melainkan mulai munculnya kebanggaan pada potensi Desa Muncar. Mela (24 tahun), Himawan (25), dan Putri (23 tahun) contohnya. Ketiganya adalah anak-anak muda yang dipertemukan ketika beranjak dewasa dan saat nama desanya menghiasi media sosial. Maklum, sejak SMP mereka sudah mulai merantau dan menjadi anak indekos.
Minimnya sarana dan prasarana pendidikan di Desa Muncar membuat banyak anak desa merantau ke kota. Hidup mandiri dan jauh dari orang tua pun sudah diasah sejak lepas SD. Hal inilah yang membuat banyak anak muda Desa Muncar hampir tak mengenal satu sama lain, tak mengenal potensi tanah kelahirannya, bahkan tak ingin meneruskan profesi orang tuanya.
Berangkat dari fakta menggiriskan ini, sebagai fasilitator yang memegang idealisme tinggi, Sofi terusik nuraninya. Ia mencoba mencari terobosan bagaimana agar proses pembangunan dan pembelajaran berjalan secara berkelanjutan.
Sepanjang perjalanan mengabdi di Desa Muncar, Sofi sadar tak akan bisa berhasil sendirian. Namun, ia sangat merasakan betapa sulitnya melibatkan seluruh unsur masyarakat dari berbagai dusun, khususnya generasi muda seusianya. Hal inilah yang melatarbelakangi Sofi membuat creative hub atau community hub yang lokasinya berada di dusun paling bawah.
Di area persawahan dengan latar perbukitan, dibangunlah jembatan titian dengan konsep ramah lingkungan dan tidak melakukan alih fungsi lahan. Konsep energi terbarukan menggunakan panas matahari dan angin juga menjadi salah satu daya tarik yang akan dikemas sebagai wisata edukasi sehingga tak hanya difungsikan sebagai spot selfie. Sofi sendiri menyebutnya sebagai Creative Hub, media penghubung masyarakat Desa Muncar antargenerasi dalam menyalurkan minat dan bakat.
“Creative hub ini kami desain untuk spot bertemu antarwarga, bertukar pikiran atau ide, serta knowledge. Nah, dari sini kami baru tahu dan ketemu, kalau semua masyarakat Desa Muncar ternyata punya gagasan dan impian yang sama. Cuma mereka selama ini merasa canggung untuk menyampaikannya karena jarang bertemu,” ujar Sofi.
Sumbangsih Sofi sebagai warga pendatang berhasil memberi nilai tambah secara ekonomi. Kini, anak muda Muncar makin percaya diri mengaku sebagai anak desa. Bahkan, mereka tak lagi sungkan untuk menuangkan dan merealisasikan ide-idenya.
Dari upaya Sofi membersamai masyarakat di Desa Muncar, kini tak hanya kewirausahaan berbasis pertanian yang dikembangkan, melainkan juga wisata perdesaan. Bentuk nyata peran serta masyarakat untuk mendukung konsep ini pun mulai terlihat. Selain sudah tersedia pemandu lokasi seusia Sofi, tersedia pula 20 unit homestay yang dikelola langsung oleh induk semangnya.
****
Keesokan harinya, sebelum matahari terbit, Sofi yang sehari-hari tidur di rumah warga mengajak saya dan keluarga menuju Blawong View, puncak tertinggi Desa Muncar. Suara nyanyian tengoret memenuhi alam Desa Muncar. Angin pagi itu berhembus kencang sehingga membuat kami cukup kedinginan. Dari ketinggian 700 Mdpl, ia kembali menunjukkan buah perjuangannya.
Jerih payahnya menerabas alas sebanyak 12 kali tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh warga asli Desa Muncar. Puncak tertinggi desa yang dianggap biasa, kini menjadi spot favorit menyaksikan terbitnya fajar dan mandi oksigen. Tak jarang, wisatawan luar daerah datang membawa tenda untuk bermalam dan menikmati sunrise.
Pagi itu di Blawong View, baskara bersinar cerah. Semangat Sofi makin berapi-api. Prinsip yang diyakini Sofi dalam membangun dan berkarya di desa terdengar sederhana. Ruwat, Rawat, dan Rawit. Artinya, Tuhan sudah memberi kita alam yang luar biasa. Tugas kita adalah cukup dengan merawat, melestarikan, dan memperindah bumi.