Sungguh, ini bukan kali pertama kami pelesir ke Candi Barong. Terhitung tiga kali sudah. Tentang sejarah maupun berbagai filosofinya, sudah pernah ditulis empat tahun lalu. Yang satu ini cuma nostalgia kami. Boleh jadi, terlalu buyar untuk dijadikan bahan bacaan. Namun, buat kami, memori-memori kecil ini patut tersimpan. Biar senang atau sendu, suatu saat jadi penawar rindu.
Dari banyak candi yang pernah kami kunjungi, sebenarnya Barong bukan favorit kami. Entah, ia punya daya tarik tersendiri yang bisa membuat kami ingin terus kembali. Konyol sekali, meskipun sudah bolak-balik kemari, kami selalu salah arah, tak kunjung hafal rute yang dilalui. Nyasar. Kalau kalian sudah kenal baik dengan kami, pasti tak heran lagi. Maka, dolan ke Candi Barong punya tempat istimewa di hati.
Kali pertama, kami berkenalan dengan Candi Barong pada waktu yang tepat. Hari itu teramat cerah, dilengkapi terik siang bolong. Langit Yogyakarta membiru, jernih dipandang, berhias awan laksana gumpalan kapas. Candi Barong berdiri megah dikelilingi perbukitan Batur Agung. Pohon dan ladang didominasi nuansa kekuningan akibat kemarau. Dari tiga kunjungan kami, kali pertama ini punya perjalanan nyasar paling panjang. Sampai-sampai, jalanan mengitari bukit telah habis kami lalui. Maklum, waktu itu hanya papan petunjuk jalan yang jadi andalan.
Kali kedua, bukan memori indah untuk diingat-ingat. Begitu kontras, hari itu mendung merundung. Tak boleh ditunda, biar bagaimanapun, hari itu harus dolan ke Candi Barong. Aku ingat betul, Candi Barong jadi destinasi terakhir kami sebelum terpisah jarak. Meski mata sudah terlalu sembab, aku tetap sanggup tersenyum mengagumi kemolekan Candi Barong. Perjalanan pulang pun diiringi hujan cukup deras. Langit seakan paham betul akan insan yang tengah pilu.
Kali ketiga, kalau dipikir-pikir, memang yang paling indah. Berawal dari kejenuhan akan hiruk pikuk kota, kami putuskan untuk menepi sejenak ke candi. Musim kemarau panjang juga jadi alasan kami untuk pergi. Mana tahu, akan berjumpa matahari terbenam yang cantik. Dolan Bareng Bojo pun jadi makin asyik dan romantis, bukan?
Mengambil rute dari Jalan Raya Jogja-Klaten, kuda besi belok kanan menuju kawasan Kraton Ratu Boko. Tak terlewat pula pemandangan Prambanan, Sewu, dan Sojiwan dari ketinggian jalanan Abhyagiri. Cuma butuh waktu dua puluh menit dari kediaman kami. Tapi kami kelebihan waktu beberapa menit berkat drama nyasar. Meskipun GPS sudah dalam genggaman, terkadang aku masih salah membaca arah. Nasib baik Mas Bojo sabar menghadapi, sembari ngedumel geregetan, sudah pasti.
Pukul lima sore, hanya ada kami yang meramaikan lahan parkir. Petugas keamanan candi menyambut dengan ramah. Kami mengisi buku tamu, tak ada pembayaran tiket masuk. Pesan beliau, kami cuma punya waktu 45 menit, setelah itu candi ditutup untuk pengunjung.

Bangunan utama candi letaknya tak jauh dari gerbang masuk. Jalan menuju candi ditata rapi dengan taman berisi aneka tanaman hias. Kebanyakan candi di Sleman berbatasan langsung dengan lahan pertanian atau pemukiman penduduk. Candi Barong ini salah satu yang bersebelahan dengan sawah.
Walau telah memasuki saat petang, matahari kelihatannya masih enggan beranjak turun ke peraduan. Bayangan kami jelas terlihat memantul pada dinding pelataran candi. Sembari berteduh di bawah pohon rindang, sepoi angin sedikit mengurangi gerah yang melanda sedari tadi.

Satu per satu anak tangga kami tapaki, naiklah kami ke teras kedua. Teras luas, layaknya panggung pentas akbar. Tak ada candi perwara, hanya petak-petak kecil yang tersusun dari batu andesit. Di teras candi seluas ini, cuma ada kami yang ketawa-ketiwi. Ada saja perihal yang membuat geli, seperti mengingat penampilan kami waktu kali pertama kemari. Ya ampun, kucel sekali!
Ketika kami sampai di teras utama yang berisi bangunan candi, sinar matahari mulai meredup. Angin pun semakin semilir. Ah, kapan ya terakhir kali menikmati suasana seperti ini? Lupa. Rasanya sudah lama sekali.
Berjalan telanjang kaki mengitari candi di sore hari adalah yang terbaik! Bebas berputar kesana-kemari sembari memandangi cantiknya arsitektur buatan generasi lampau. Tapi tetap harus sadar, kita hanyalah tamu. Pantang merusak dan berbuat buruk.
Ke mana Mas Bojo? Tentu saja sibuk dengan kamera dan tripod kesayangannya. Mujur, datang juga pemandangan matahari terbenam yang kami idam-idamkan. Oranye dan bulat sempurna! Saking cerahnya, Gunung Merapi di utara pun tampak. Empat kesukaan jadi satu; sunset, candi, Merapi, dan kamu.



Tiga perempat jam amat cepat berlalu. Hari pun telah gelap kala kami menyudahi kunjungan. Sepasang senyum terukir, tak salah pilih menghabiskan sore di Candi Barong. Hari itu, banyak harapan pada akhirnya melebur jadi satu. Apapun itu, susah pun senang, pasti kuat dilalui, asal bersamamu.
Baca lebih lanjut perjalanan kami mengenai : Menyelamatkan Warisan Peradaban Candi Kedulan