Tahun 2013, tepat saat saya masih duduk di semester enam, saya pernah bercita-cita ingin menjadi pengajar (dosen). Namun, saya sadar diri. Jika dibanding dengan teman-teman di kelas, nilai saya pas-pasan. Bahkan, dalam berpikir secara akademis dan kemampuan analisa, saya tidak cukup pintar.
Seperti orang normal lainnya, saya masih berpandangan bahwa untuk dapat menjadi pengajar, setidaknya seseorang harus memeroleh gelar S2. Lantas, mengapa saya tidak segera melanjutkan studi?
Banyak dorongan dari teman dan dosen untuk mengakses beasiswa pemerintah dan segera mendapatkan gelar akademis tambahan. Namun, urusan saya bukan hanya sekadar karier mengajar. Lebih dari itu, saya ingin menjadi praktisi yang profesional dengan keilmuan yang saya miliki sekarang. Di sisi lain, saya percaya, bahwa menimba ilmu tidak harus melalui pendidikan formal. Semua pasti mengamini, bahwa tempat terbaik belajar adalah di lingkungan masyarakat.
Saya pun akhirnya bisa menikmati prosesnya. Tidak lagi iri dan berkecil hati melihat teman yang sudah dalam posisi dosen tetap atau gelar akademis yang panjang. Justru dalam kondisi saya sekarang, saya mudah iri melihat teman yang kembali ke kampung halamannya, membangun bisnisnya dari desa, dan memberikan dampak positif bagi lingkungan tempat tinggalnya.
Semua profesi, baik pengusaha, karyawan swasta, maupun pengajar, tentu adalah profesi mulia. Masing-masing memiliki tantangan dan ada bagian-bagian zona nyamannya. Seperti halnya ungkapan Jawa, “Sejatine urip kuwi mung sawang sinawang.”
Menjadi pengajar. Siapa yang menyangka bahwa mimpi sepuluh tahun lalu menjadi kenyataan? Dengan gelar akademis yang seadanya (S.Par), tentu saya tidak mau melewatkan kesempatan itu. Melalui proses seleksi administrasi, saya langsung mendapatkan tempat mengajar di kampus ternama di Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Mungkin banyak orang yang bersaing portofolio dan gelar akademis untuk bisa masuk ke kampus ini.
Beruntungnya saya, melalui Praktisi Mengajar dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, praktisi seperti saya mendapat kesempatan untuk bisa berbagi ilmu. Beruntungnya saya yang tak perlu mencari kampus mana yang sesuai dengan keilmuan saya. Sebab, kehadiran saya langsung diminta oleh dosen dan manajemen prodi.
***
Sebuah keberuntungan, bukan? Namun, menjadi pengajar bagi saya bukan sekadar cita-cita sepuluh tahun lalu. Melainkan bagian dari proses dalam menekuni profesi di industri pariwisata. Mata kuliah yang saya ampu saat ini pun tak jauh-jauh dari profesi sekarang. Untuk itu, mari kilas balik perjalanan karier saya.
Sejak mahasiswa di tahun 2013 , saya sudah mulai aktif menulis melalui blog ini. Tanpa saya sadari, blog yang sudah aktif sepuluh tahun ini menjadi media dalam melakukan personal branding. Di tahun yang sama, saya juga mendapat apresiasi sebagai finalis dalam ajang Web in Travel di Jakarta. Dari informasi yang saya dapat saat itu, even tersebut adalah ajang konferensi terbesar di Asia Tenggara yang mempertemukan pelaku wisata di Indonesia. Ide yang kami bawa saat itu adalah Menginap Indonesia, sebuah aplikasi marketplace untuk desa wisata beserta atraksi di dalamnya.
Pada 2015, saya mengambil judul penelitian skripsi tentang pemberdayaan dan partisipasi masyarakat di desa wisata. Pengujinya tak lain adalah dosen yang mengajak saya mengajar di UGM saat ini, yakni Dr. Tular Sudarmadi, M.A. Proses ujiannya tak mulus, bahkan mendapat nilai yang saya sendiri kurang puas.
Di tahun yang sama, karier saya sebagai travel blogger dan travel writer sudah menunjukkan hasil. Undangan famtrip ke beberapa provinsi adalah bonus dari komitmen saya dalam mengisahkan, menarasikan, dan mempromosikan potensi di Indonesia melalui blog Insan Wisata.
Karier ini juga menjadi pelengkap keahlian saya sebagai periset dan konsultan di bawah Pusat Studi Pariwisata UGM. Beberapa artikel yang saya tulis dalam blog ini juga mendapatkan apresiasi. Misalnya saja, di tahun 2017 dan 2019, saya mendapat undangan dari Kementerian Pariwisata untuk menerima penghargaan.
Tak hanya menulis, lewat Insan Wisata, saya berkarier menjadi konsultan pariwisata. Salah satu misinya juga mengangkat potensi yang belum cukup dilirik oleh masyarakat, yakni potensi di desa. Upaya mengajak teman-teman dengan hobi dan profesi yang sama (travel blogger) untuk berwisata ke desa wisata cukup membuahkan hasil. Beberapa instansi juga memberi respon yang positif.
Ketertarikan terhadap isu pariwisata berbasis masyarakat pun membuat saya bertemu dengan tokoh-tokoh yang menginspirasi di level nasional. Pada 2019, kami sepakat membuat organisasi dengan nama Desa Wisata Institute. Organisasi ini kami dirikan untuk menjadi ‘teman’ bagi desa wisata yang tersebar di Indonesia dalam mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat melalui pariwisata.
***
Jika mau menghitung prosesnya, tentu banyak tahun yang sudah dilalui. Menjadi pengajar adalah bonus atas usaha dan konsistensi saya dalam menjalani profesi di industri pariwisata serta berkiprah membangun Insan Wisata dan Desa Wisata Institute.
Tentu saya ingin banyak mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dosen sekaligus kampus dari almamater saya, Universitas Gadjah Mada. Sebagai alumni yang biasa-biasa saja dan minim prestasi, dari ribuan sarjana pariwisata dengan jam terbang lebih tinggi, saya bisa berkesempatan menjadi mitra pengajar untuk mata kuliah Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community Based Tourism).
***
Bagaimana saya mengajar?
Beruntungnya saya pernah memiliki pengalaman terjun langsung di komunitas masyarakat dengan berbagai latar belakang karakter, profesi, dan gap usia. Kondisi ini membuat saya lebih mudah beradaptasi di lingkungan yang baru sekalipun. Namun, tantangannya adalah generasi yang berbeda tentu memiliki cara berkomunikasi dan gaya interaksi yang berbeda.
Jujur, saya tak banyak bicara soal teori. Meksi demikian, bukan berarti perkuliahan tidak melihat dan menggunakan teori sebagai acuannya. Sesekali kami membangun diskusi di kelas untuk membahas teori-teori yang dipelajari dalam kelas. Kemudian mengkolaborasikannya dengan temuan-temuan dan dinamika di lapangan.
Di sisi lain, tujuan saya dihadirkan di kampus adalah untuk melengkapi pandangan dari kacamata praktisi, membawa pengalaman saya seolah-olah mahasiswa turut langsung merasakan. Sesekali juga memberi solusi praktis atas temuan permasalah dan isu yang sedang berkembang. Kemudian menghubungkannya dengan teori dari lintas mata kuliah, seperti pariwisata berkelanjutan, ekowisata, hukum dan kebijakan, pemahaman lintas budaya, perencanaan pariwisata, dan lainnya.
Pada akhirnya, mata kuliah yang saya ajarkan adalah bentuk praktik yang menggabungkan beberapa teori dalam mata kuliah sebelum-sebelumnya. Mengajarnya pun tentu dengan melengkapi pengayaan melalui pengalaman mahasiswa di lapangan, yakni menerjunkan langsung ke beberapa desa wisata. Mempertemukan mahasiswa dengan seluruh lapisan masyarakat yang menjadi pelaku wisata. Dari proses inilah, mahasiswa menemukan beragam dinamika, isu strategis, dan pola pembangunan.
Tugas menjadi pengajar belum selesai. Di mana pun tempatnya, saya pribadi siap berbagi ilmu dan pengalaman, mengabdikan diri untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Guna meningkatkan kapasitas keilmuan dan memperbaiki metode saya sebagai pengajar, saya pun memberanikan diri melakukan survei kepada mahasiswa. Hasilnya tentu mengejutkan dan membuat saya senang. Respon positif itu datang tidak hanya dari mahasiswa. Pun masyarakat desa wisata yang terlibat menjadi mitra kegiatan Praktisi Mengajar.
Saya kira, program Praktisi Mengajar ini memiliki dampak yang sangat baik dan perlu dilanjutkan. Berbeda dengan jaman saya di mana buku dan materi dari dosen adalah sumber utama saya dalam belajar. Namun, di program ini, sumber belajar mahasiswa menjadi lebih beragam sehingga memperkuat pemahaman teoretis, regulasi di tingkat lokal-regional, dan praktik penyelenggaraan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat di lapangan.
Semoga kolaborasi ini tetap berkelanjutan. Tabik!