Disclaimer: Terdapat beberapa informasi yang perlu diluruskan dalam artikel ini. Jika pembaca mendapatkan informasi lain, silakan ditulis di dalam kolom komentar. Pertama, informasi yang ditulis berdasarkan referensi dalam buku Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949 dan informan di lapangan. Kedua, menurut informasi dari salah satu pembaca, yakni Minta Harsana, terdapat beberapa informasi yang perlu ditelurusi lebih jauh. Di antaranya adalah sebagai berikut:
- Peranan pasukan Brigade XII Sebrang yang dikomandani Kahar Muzakar bermarkas di Ngalian Widodomartani di mana Husein Bermarkas di kesatuan tersebut. Bukan di Kaliwaru (saksi dan bukti sejarah masih ada);
- Setelah Husein dipenggal lehernya, yang menenteng kepala Husein adalah Bapak Nur (warga asal Ngemplak Asem);
- MA bermarkas di Kringinan.
“Pertempuran Plataran ini juga dikenal sebagai gerakan pembersihan yang dilakukan tentara Belanda di Yogyakarta. Yang saat itu, Peleton Z paling banyak memakan korban”, cerita Wahyu, pendiri Historia 24249.
Saat itu, saya bersama Wahyu sedang menyusuri jalur gerilya pasukan MA Yogyakarta di Desa Selomartani, Kecamatan Kalasan. Selain pernah menjadi Markas Pasukan Gerilya Akademi Militer Yogyakarta Subh Wehr Kreise 104/WK-III, desa ini menjadi arena pertempuran para pejuang kemerdekaan Indonesia dengan pasukan tentara Belanda.
Potensi ini pun tak disia-siakan. Lewat komunitas yang dirintisnya, Wahyu tengah mengusulkan desanya menjadi desa wisata bertemakan perjuangan. Februari 2020 mendatang, para sejarawan Indonesia-Belanda, keluarga veteran IKA Yogyakarta, dan keluarga veteran Belanda rencananya akan mengikuti napak tilas di medan gerilya Desa Selomartani ini.
****
‘Segala gerak-gerikmu dilihat oleh gerilya’. Melalui poster, MA (Militer Akademi) memberi gertakan untuk Belanda di Yogyakarta. Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap Belanda.
Memutus jaringan telepon, merusak jalur strategis kereta api, menyerang secara mendadak konvoi tentara Belanda, hingga tindakan sabotase lainnya adalah serangan kecil yang dilancarkan pasukan MA. Jalan raya Yogya-Kaliurang, Pakem, Kalasan, maupun Prambanan adalah target dari gerilya ini.
Penyerangan ini dinamakan Operasi Gagak, atau dalam bahasa Belanda disebut Kraai. Gagak menjadi simbol atas kematian. Namun secara politis, serangan ini ditujukan untuk membantah propaganda Belanda di forum internasional yang menyatakan bahwa Indonesia dan TNI telah hancur.
Akibat Agresi Militer II ini, Yogyakarta yang saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia jatuh ke tangan Belanda. Selanjutnya, Presiden Soekarno segera mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Jembatan Bendan (depan RM Sendang Ayu Kalasan) kena imbasnya. Bagi MA, jembatan penghubung ini memiliki arti sangat penting bagi Belanda. Jika jembatan ini putus, maka Belanda akan sulit mengirim bantuan logistiknya. Akibatnya, satuan pasukan Belanda di pos-pos kecil yang tersebar di daerah terpencil semakin mudah dilumpuhkan.
Tak hanya MA yang melancarkan serangan. Masyarakat yang tinggal di kawasan Prambanan pun turut membantu dalam menyediakan bahan peledak. Salah satu yang cukup berperan dalam merencanakan serangan ini adalah Ir. H. Johannes yang juga merupakan dosen Universitas Gadjah Mada.
Berlanjut penyerangan jalur-jalur strategis tentara Belanda, kini jembatan Bogem menjadi targetnya. Pada 15 Januari 1949, serangan demi serangan dilancarkan. Namun konstruksi jembatan Bogem tak mudah diruntuhkan. Meski gagal memutus akses jembatan Bogem, nyatanya serangan ini berhasil memaksa tentara Belanda memutar hingga Salatiga jika hendak melakukan perjalanan dari Solo ke Yogyakarta, atau sebaliknya.
Gugur dan jatuhnya buku harian Abdul Jalil saat peristiwa Sambiroto
Operasi gagak tak hanya berhenti sampai di sana. Pada 22 Februari 1949, saat pasukan MA berpatroli rutin ke selatan, mereka mendapat laporan bahwa pasukan Belanda sedang konvoi menuju Desa Sambiroto, Kecamatan Kalasan. Mendapat laporan ini, pasukan MA yang terdiri dari Peleton H2 segera bergerak menuju Sambiroto.
Dorrr.. Dorr…
Kedatangan Peleton H2 mendapat serangan tembakan dari tentara Belanda. Baku hantam senjata pun terjadi. Mujurnya, bantuan dari Peleton Z dan Peleton Komarudin datang.
Suara letupan senjata di Sambiroto pun terdengar jelas hingga markas MA di Ngrangsang, yang hanya berjarak 2.5 Km. Dengan cepat, markas MA memerintahkan Lettu Sarsono untuk segera mengirim regu patroli tambahan menuju Sambiroto.
Bala bantuan yang terdiri dari 10 orang pun terbentuk. Ketika Sarsono sedang asyik menyusun strategi, datanglah Abdul Jalil secara tiba-tiba. Fisiknya yang belum sehat akibat rawat inap di Rumah Sakit Palang Merah Ngelo membuat Sarsono menolak keikutsertaannya. Bekas luka tembakannya pun terlihat belum sembuh total. Namun, Jalil tetap memaksa dengan membuntuti keberangkatan regu bantuan dari belakang. Melihat Jalil mengikuti pasukan, Sarsono pun akhirnya tak bisa menolak.
Belum tuntas perjalanan menuju Sambiroto, kehadiran regu Sarsono pun mendapat sambutan yang sama dari pasukan Belanda. Tembak menembak pun berlangsung. Pasukan Belanda terpaksa mundur dan menyebar masuk ke pekarangan rumah warga. Kondisi Sambiroto yang ditumbuhi pohon-pohon besar membuat regu Sarsono kesulitan mengejar pasukan Belanda.
Regu Sarsono pun tak ciut nyalinya. Mereka mengejar pasukan Belanda dengan menyusur kawasan Desa Sambiroto. Lagi-lagi tanpa disangka, mereka dikagetkan oleh pasukan Belanda.
Dengan spontan, Sarsono mengangkat senjata sembari berteriak. Celakanya lagi, pelatuk senjata api Sarsono masih terkunci. Saking paniknya melihat pasukan Belanda yang bersenjata, Abdul Jalil ikut berlari. Nahasnya, Jalil lari ke arah yang salah, di mana pasukan Belanda sedang berkumpul. Sementara Sarsono berhasil lolos karena berlindung di rumah penduduk.
Jalil yang hilang dari rombongan regu Sarsono pun tak sempat menghindari peluru-peluru yang menghujan tubuhnya. Jalil gugur pada 22 Februari 1949. Ia dimakamkan secara sederhana. Kematian Jalil sekaligus membuat genting situasi markas. Pasalnya, buku harian Jalil tak ditemukan di jenazahnya. Suatu pertanda bahwa buku harian Jalil telah jatuh di tangan Belanda.
Selain dikenal sebagai kadet, Jalil adalah pejuang yang pandai di bidang seni dan sastra. Ia pun menyalurkan bakatnya melalui menulis di buku hariannya. Setiap peristiwa, suka dan duka, ia tuliskan lengkap beserta waktu dan tempatnya. Ia pun dikenal sebagai pemuda yang pendiam dan suka menyepi. Di balik sifatnya yang jauh dari kata garang, ia telah banyak menulis syair dan lirik lagu.
Mendengar berita ini, markas MA di bawah pimpinan satuan keamanan atau SWK 104 (Subh Wehr Kreise) pun menggelar rapat luar biasa. Mereka memutuskan untuk segera memindahkan markas yang semula di Ngrangsang ke Desa Gatak. Mengapa demikian? Sebab dalam buku harian Jalil, tertulis kedudukan dan basis pasukan MA. Tentu bukan langkah yang bijak jika bertahan di markas lama.
Tepat pada 23 Februari 1949, pasukan MA bergerak menuju utara. Selama perjalanan, mereka pun melakukan penyerangan terhadap pos penjagaan Belanda di wilayah Bogem.
Serangan yang baru berakhir pukul 04.00 dini hari pun cukup menguras banyak tenaga. Seluruh anggota kadet (taruna) yang tergabung dalam MA pun berpencar pulang untuk mencari markas baru. Setiap peleton menempuh rute yang berbeda untuk memperkecil risiko penghadangan oleh patroli tentara Belanda.
Serangan patroli Belanda
Sayangnya, instruksi pemindahan markas tak sepenuhnya dipatuhi seluruh kadet peleton. Peleton Z masih tetap bergerak menuju markas lamanya di Desa Kaliwaru. Rasa lelah dan menahan kantuk membuat mereka ingin segera tiba di Kaliwaru.
Sementara itu, pasukan tentara Belanda yang telah mendapat petunjuk dari buku harian Jalil terkait titik markas MA segera melakukan penyerangan. Pada 24 Februai 1949, markas Peleton di Desa Kringinan menjadi sasaran pertamanya. Sayangnya, markas telah ditinggalkan. Belanda yang mengetahui keadaan markas telah kosong pun meluapkan api amarahnya. Imbasnya, markas MA yang juga rumah Pak Sosial Hadisumitro pun dibakar. Bukan hanya markas MA di Kringinan saja yang menjadi target amukan pasukan Belanda. Bahkan lumbung padi yang bertempat di Desa Gatak pun ikut dibakar.
Di lokasi lain, tepatnya di Desa Ngasem, pasukan tentara Belanda melakukan patroli untuk menyapu bersih pasukan MA. Sembari melakukan patroli, sesekali tentara Belanda menarik pelatuk senjata ke atas langit. Dorr…
Mendengar suara senjata ini, Peleton H2 di bawah pimpinan V.C. Nawawi melakukan pengintaian. Diperintahnya 10 anggota melihat situasi lapangan. Bersama V.C.B. Sormin (wakil komandan Peleton H2), pasukan bergerak menuju utara hingga tiba di Plataran. Dalam perjalanan, Peleton H2 pun bertemu dengan Peleton Z. Keduanya akhirnya memutuskan untuk bergerak bersama.
Sementara itu, terlihat asap mengepul di langit. Ini adalah pertanda bahwa markas Kringinan telah diserang Belanda. Dari sinilah, Peleton H2 dan Peleton Z menyadari kesalahan pergerakannya karena keduanya justru berada hanya 400 meter dari pasukan Belanda.
Mengetahui hal itu, secara cepat Kadet Slamet Herman memerintahkan regunya untuk membentuk pertahanan menghadap arah Desa Gatak. Regu Husein ditempatkan sebagai sayap kiri untuk bertahan di bagian tenggara Plataran. Sementara regu Harsoyo ditempatkan sebagai sayap tengah di bagian selatan Plataran.
Plataran sebenarnya bukanlah nama desa, melainkan nama dukuh di Kelurahan Selomartani, Kecamatan Kalasan. Dukuh Plataran sangatlah kecil. Pada masa itu (1949), Plataran hanya memiliki luas sekitar 1¾ hektare dengan jumlah penduduk lima keluarga petani saja. Plataran berada di tengah sawah yang luas dan subur. Sisi tenggaranya berbatasan dengan saluran irigasi yang berdinding batu, sisi barat daya berbatasan dengan sawah, sementara sisi utaranya berpagar batu dan berbatasan dengan jalan kampung.
Tak lama setelah menempati sayap pertahanan, pasukan Belanda yang berkekuatan satu kompi muncul dari arah belakang (arah timur laut Plataran). Melihat hal itu, Kadet Slamet Herman memerintahkan pasukannya segera mundur ke utara. Namun karena jarak yang terlalu dekat dengan pasukan Belanda, secara terpaksa munculah keberanian untuk menerobos barisan tentara Belanda. Tembak menembak pun tak bisa dihindarkan.
Untungnya, regu Suwito dan Harsono masih bisa mendapatkan peluang untuk berlari ke utara. Sementara nasib sial ada pada regu Husein. Anggotanya habis ditembaki tentara Belanda.
Husein bersama tujuh anggota lainnya pun gugur di Plataran. Lebih menyakitkan lagi, Husein dikubur dalam kondisi badan tanpa kepala. Menurut beberapa dugaan, Husein diperlakukan kejam karena disangka sebagai serdadu Jepang. Hal ini karena paras dan fisik Husein yang mirip dengan tentara Jepang. Husein diketahui duel melawan tentara Belanda bernama Sersan Roubos. Dalam duelnya, Husein kalah. Kematian Husein membuat Sersan Roubus mendapat penghargaan bintang ‘De Bronzen Leeuw’ dari pemerintahnya.
Pertempuran pun tak berhenti di Plataran. Aksi bersih-bersih Satuan Pelopor (Baret Hijau/ Merah) Belanda ini masih berlangsung hingga 27 Februari 1949. Puncaknya adalah penyerangan pasukan MA di Benteng Vredeburg pada 1 Maret 1949. Pada peristiwa puncak inilah, pasukan Indonesia menang dan berhasil menguasai kembali Kota Yogyakarta.
Nama Plataran sebagai tempat berdirinya Monumen Plataran memiliki arti penting bagi perjuangan masyarakat Indonesia dalam mengusir penjajah Belanda yang menduduki Yogyakarta. Sementara puncak serangannya yang dikenal sebagai Serangan Umum 1 Maret 1949 berperan penting dalam membuktikan eksistensi Indonesia kepada dunia.
Sebagai akibat pasukan MA yang berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama enam jam, Belanda pun kehilangan muka di mata dunia. Lewat Radio AURI PC2, kabar ini pun tersiar. Kabar yang membuktikan bahwa TNI dan masyarakat Indonesia adalah satuan yang kuat, sekalipun itu melawan tentara Belanda.
Belanda angkat kaki dari Yogyakarta
Belanda tak gampang mengakui kekalahan. Ia pun mengadakan serangan balasan secara membabi buta pada 18 Maret 1949. Setidaknya 120 masyarakat sipil tewas dan 18 tentara gugur dalam serangan ini.
Serangan pun masih berlanjut hingga Kecamatan Cangkringan. Belanda membumihanguskan rumah-rumah penduduk di Desa Argomulyo. Melihat ulah Belanda, pasukan gabungan antara laskar rakyat dan Militer Akademi pun melancarkan serangan balasan. Belanda berhasil dipukul mundur karena kehilangan banyak pasukan. Namun, rentetan serangan terus digencarkan hingga Juni 1949.
Ujungnya, pada 29 Juni 1949, tentara Belanda mundur dari Yogyakarta. Tetenger ini kemudian dikenal dengan sebutan Yogya Kembali. Untuk mengenang sejarah ini, dibangunlah Monumen Yogya Kembali di utara Kota Yogyakarta. Pada rana pintu masuknya, tertulis sebanyak 422 nama pahlawan yang gugur pada peristiwa yang berlangsung pada Desember 1948 hingga 29 Juni 1949.
Baca juga : Kelana Wisata Kota Minyak-Tarakan
Pustaka :
Moehkardi. 2019. Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Fisik 1945 sampai dengan 1949. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Baru tahu cerita di balik monumen jogja kembali, ternyata karena berhasil memukul mundur belanda.. dulu waktu SD pernah beberapa kali piknik ke sini sama ortu tapi ya dulu gak ada niat buat mempelajari, namanya juga piknik pgnnya menikmati suasana bukan mikir wkwk..
-Traveler Paruh Waktu
Terima kasih mas Bara sudah mampir.
Iya mas. Saya pun baru tau ketika baca2 sebuah buku dan langsung main ke museumnya. hehe
Ingat sekali waktu study tour saat smp kesini juga, plataran.
Salam kenal mas, sungguh membawa nostalgia, hehe.
Salam kenal mas. Terima kasih sudah berkenan mampir