Pukul empat pagi di Desa Wisata Budaya Kebondalem Kidul hawanya begitu dingin. Boleh jadi karena letak desa yang dekat dengan Perbukitan Boko. Bisa juga berkat AC di kamar homestay milik Pak Tyo yang terjaga sepanjang malam. Ya, meskipun suhunya sudah dinaikkan beberapa derajat.
Memang masih terlalu pagi untuk mandi, tetapi kami punya agenda yang rencananya akan dimulai satu jam lagi. Si jagoan cilik dan ayahnya tentu saja masih terlelap di balik selimut. Ingin rasanya menyempil di tengah-tengah, lalu turut meringkuk sambil berbagi kehangatan.
Sembari menguap, aku memantapkan langkah menuju air wudu yang membuat wajah terasa membeku.
“Rasa malas, ayo pergilah!”
****
Halo! Kiranya tak afdol kalau tak kembali menyapa setelah tiga tahun tanpa bercerita. Sedikit basa-basi ini bolehlah jadi ajang perkenalan diri. Bahwa mulai kini, perjalanan kami dibuntuti oleh seorang lelaki mungil bernama Rakai.
****
Kami sepakat untuk mulai jalan jam lima pagi. Rakai kecil, yang kerap disapa Mas Kai, masih asyik mendengkur dalam dekapanku. Tak perlu mandi pagi-pagi begini, cukup ganti baju saja nanti. Ia tetap lucu dalam foto, kok, meski masih bau kecut khas bayi.
Cuma butuh sepuluh hingga lima belas menit berkendara, tujuan kami sudah tampak dari kejauhan. Spot menikmati sunrise terdekat dari daerah Prambanan tentulah tak asing lagi. Candi Plaosan Lor, candi favorit kami yang selalu punya kejutan tersendiri.
Di musim penghujan seperti sekarang ini, cerahnya pagi memang susah diprediksi. Saat kami tiba, langitnya sudah cukup terang, tetapi warna jingganya enggan menyala. Meski begitu, kami tetap senang dengan semburat tipis baskara beserta pantulannya di sawah berair.
“Mas Kai lagi di mana ini, ya?”
“Candi.”
Ini memang bukan kali pertama kami mengajaknya ke candi. Sebelumnya, kami sudah pernah berkeliling Candi Sojiwan dan Sambisari. Di rumah pun anak sering diperlihatkan buku-buku bergambar candi. Maka tak heran jika ia sudah familier dengan bebatuan antik ini.
Oh ya, kunjungan ke Candi Plaosan pun sebenarnya sudah dua kali. Namun, dulu Mas Kai baru berumur sepuluh bulan. Baru bisa merangkak dan bingung mengamati sekeliling. Kenapa, sih, Mama dan Ayah ajak Mas Kai ke sini lagi?
“Ini namanya Candi Plaosan. Candinya Rakai, lho!”
Ada senyuman tersimpul di bibir mungilnya. Dalam hati, sih, mungkin keheranan sekaligus takjub. Mama ini bicara apa? Bisa-bisanya Mas Kai punya candi sendiri. Baiklah, kuliah pagi dadakan pun dimulai.
Ceritanya begini. Sejak mengenal Candi Plaosan, kami langsung jatuh hati dengan panorama pun historinya. Di sini, kami pernah menyaksikan momen matahari terbit yang teramat cantik. Waktu kami jajal datang di penghujung petang, sunset-nya bulat sempurna menghadirkan atmosfer magis nan romantis.
Sejarah tentang penggagas candi ini tentu wajib kami gali walau sedikit-sedikit. Adalah Rakai Pikatan dan Pramudhyawardani, pasangan menikah yang juga pemimpin di masa terbangunnya candi. Dahulu, Rakai merupakan gelar untuk identitas kepala daerah, ada pula yang menyebutnya sebagai raja. Kalau masa kini, kita menyebutnya kepala desa.
Dan alasannya memang sesimpel itu. Sejak tersihir oleh kemolekan Candi Plaosan, kami sepakat jika punya anak laki-laki kelak, namanya harus Rakai. Tak lupa, kami pun tetap memikirkan makna yang masih ada kaitannya. Dalam bahasa Sansekerta, Rakai berarti bulan purnama. Kami berdoa, kelak ia akan menjadi penerang dan penuntun di kegelapan.
Oh, ya. Nama lengkap Mas Kai adalah Rakai Andaru Ekawira. Anak pertama yang pemberani dan menjadi penerang, serta dermawan. Ia juga menjadi anak laki-laki pertama yang kelak akan menjadi pemimpin bagi keluarga. Ada pula harapan yang tersirat, bahwa ia bisa jadi salah satu yang terdepan dalam hal-hal kebaikan. Bolehlah terucap amin yang tulus ikhlas.
Balik ke cerita awal, yakni perjalanan kami bertiga mengejar matahari terbit. Untuk urusan dokumentasi, kami memang lumayan niat. Ada kamera dan tripod andalan, kursi lipat portable, beserta outfit anak dengan mix and match ala kadarnya.
Mas Kai bocah periang yang hampir selalu tersenyum saat berpose di depan kamera. Pamer muka bantal sembari main rumput dan sarapan roti. Bangun awal memang sudah jadi kebiasaan, jadi jalan-jalan pagi biasanya tanpa diiringi drama rewel dan semacamnya.
Sayangnya, komplek candi baru dibuka mulai 07.30 pagi. Kami belum berkesempatan berkeliling dari dekat karena diburu waktu. Ayah harus kerja, Mas Kai juga harus sarapan dan mandi. Kunjungan kali ini kami harus puas mengamati hanya dari luar pagar.
Jika diingat-ingat lagi, pencarian sunrise kami sebenarnya tak terlalu membuahkan hasil. Selain sedikit mendung, kami juga datang terlambat. Akan tetapi, kami enjoy saja, tuh.
Traveling bersama anak dengan usia yang baru dua tahun, membuat kami makin sadar. Biarlah datang kesiangan pada waktu sunrise. Pun datang kepagian sebelum jam buka candi. Yang terpenting, di perjalanan ini ada kenangan berkesan.
Waktu itu, kami bisa menyampaikan makna sebuah nama pada si kecil. Kami bisa bercengkerama pagi-pagi dengan suasana yang asyik. Kami juga bisa menghirup udara sejuk segar tanpa polusi dengan kaki penuh embun yang membasahi.
Jadi, ke mana lagi tiga pasang kaki melangkah setelah di tempat ini?