No Result
View All Result
insanwisata
  • Tentang kami
  • Konsultan
  • Catatan perjalanan
    Praktisi pariwisata dan desa wisata

    Menjadi Pengajar

    Sunrise Candi Plaosan

    #KelanaKai: Sunrise Candi Plaosan yang Kesiangan

    Desa Muncar Moncer

    Sofiyudin Achmad, Sosok di Balik Desa Muncar yang Kian Moncer

    Monumen Plataran

    Mengenang Pertempuran Plataran

    Desa Tanjung Binga

    Tercurah Asa Teruntuk Tanjung Binga

    Sunset Candi Barong Yogyakarta

    Kembali ke Candi Barong

  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak
  • Tentang kami
  • Konsultan
  • Catatan perjalanan
    Praktisi pariwisata dan desa wisata

    Menjadi Pengajar

    Sunrise Candi Plaosan

    #KelanaKai: Sunrise Candi Plaosan yang Kesiangan

    Desa Muncar Moncer

    Sofiyudin Achmad, Sosok di Balik Desa Muncar yang Kian Moncer

    Monumen Plataran

    Mengenang Pertempuran Plataran

    Desa Tanjung Binga

    Tercurah Asa Teruntuk Tanjung Binga

    Sunset Candi Barong Yogyakarta

    Kembali ke Candi Barong

  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak
No Result
View All Result
insanwisata

Marsono, Pelestari Wayang Sada di Bejiharjo

by Hannif Andy Al - Anshori
Mei 31, 2017
6 min read
32

Ada dua hal yang berkesan selama berkunjung ke Desa Wisata Bejiharjo, petualangan dan kecantikan gua-guanya. Entah, sudah yang ke berapa kali kunjungan kali ini, sejak agenda Eksplor Deswita Jogja sukses terlaksana, Arif sebagai pengurus POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) kerap mewartakan potensi-potensi wisata baru di daerahnya.

“Mas, reneo (ke sini). Ewangi (bantu) aku angkat potensi Bejiharjo”, ajaknya via telepon.

Menariknya, Arif selalu membawa saya ke tempat-tempat wisata yang belum seramai Gua Pindul. Kejenuhannya terhadap wisata massal di Gua Pindul membuat Arif dan Dewa Bejo mengeluarkan jurus pamungkas sebagai pemasar destinasi wisata. Ia juga termotivasi oleh ayahnya, Subagyo, yang merintis wisata susur sungai Gua Pindul pada 2010.

Di sepertiga siang, jeep meraung menyisir jalan utama wisata Gua Pindul. Pakaian masih belum kering dari cipratan lumpur wisata offroad Bejiharjo. Usai mengunjungi sentra pembuatan blangkon, Arif membawa kami menuju rumah Marsono, dalang Wayang Sada.

Tempat tinggalnya yang tak jauh dari pintu masuk Gua Pindul terlihat sangat sepi. Dua mobil jeep beriringan masuk ke halaman rumah bercat putih. Marsono datang menyambut kami yang baru turun dari jeep dengan wajah semringah. Kami yang antusias langsung mengenalkan diri dan menyerbu dengan beberapa pertanyaan. Memasuki umur yang ke-69, Marsono yang tinggal bersama istrinya tak lagi banyak bisa beraktivitas.

“Hanya ada dua dalang wayang seperti ini di Gunungkidul”, curhat Marsono.

Tetapi lewat tangan Marsono, Wayang Sada bukan saja menjadi kemasan pertunjukan dalam acara hajatan. Panggung Wayang Sada yang digelar di kediamannya sudah cukup kaya koleksi lakon wayang. Juga lewat POKDARWIS Dewa Bejo, Marsono membuka sanggar belajar dengan tujuan mewarisi kekayaan nusantara yang sedang ditekuninya sekarang. Sebab melalui wayang, akan banyak pesan kebaikan yang dapat tersampaikan ke khalayak.

Marsono belum mengakhiri ceritanya. Tangan-tangannya gemetar memegang salah satu lakon wayang kebanggaannya. Pilihannya meniti jalan hidup menjadi pendalang bermula dari cita-citanya sewaktu kecil.

“Waktu itu, saya ingin sekolah dalang, tapi karena orangtua saya tidak mampu membiayai karena hanya menjadi petani dengan dua belas anak, saya nggak sampai hati mau nembung (bilang). Jadi saya berpikir untuk membuat wayang dari rumput”, kenang Marsono.

Wayang Sada
Sejauh ini, Marsono sudah memiliki koleksi wayang sada lebih dari 100 tokoh karakter

Celah ini akhirnya memaksa Marsono untuk belajar mandiri, dengan membuat wayang sendiri, tanpa habis biaya dan menyusahkan diri. Dengan menggunakan rumput, Marsono untuk pertama kalinya membuat wayang. Meski sederhana, pembuatan wayang menggunakan bahan dasar rumput seringkali mendapati kendala. Karena terbatas dalam membuat lekukannya, karakter wayang dari bahan dasar rumput terlihat mirip semua sehingga sulit untuk membedakan.

“Wayang kok semua sama. Tidak bisa dibuat gelung maupun mahkota”, ujarnya.

Selain itu, wayang dari bahan dasar rumput tak bisa awet lama karena tangan mudah lepas. Meski pernah gagal dalam mewujudkan cita-citanya menjadi seorang dalang, Marsono pantang menyerah. Berbekal semangat mengejar cita-cita yang tak redup, dibuatlah wayang dengan bahan dasar ‘sada’, yang dalam bahasa Jawa berarti lidi.

Wayang Sada
Wayang Sada Gunungkidul
Lewat tangan Marsono, Wayang Sada bukan saja menjadi sebuah pertunjukan dalam puncak acara hajatan. Pun di usia yang telah memasuki senja, ia mencoba untuk mewarisi kekayaan nusantara pada generasi muda melalui sanggar wayang di kediamannya.

Jika dilihat secara seksama, pembuatan Wayang Sada memang sepenuhnya menggunakan limbah pohon kelapa, seperti lidi (blarak), serabut, batang, dan tempurung kelapa. Berbeda dengan wayang kulit yang dimainkan semalam suntuk, Wayang Sada dimainkan dalam durasi tiga jam saja.

“Sengaja saya padatkan, supaya anak muda tidak bosan”, tambah Marsono.

Dalam satu kali pertunjukan, Marsono dapat mengantongi dua sampai tiga juta permalam. Selain mengandalkan pendapatan sebagai seorang yang tampil mendalangkan wayang, Marsono juga menjual cinderamata Wayang Sada dengan harga paling murah 25 ribu. Namun, nampaknya Marsono masih kesulitan membuat laris jualannya. Meski dalam angka statistik kunjungan wisatawan Pindul terus meningkat, saban pagi hinga sore sanggar Wayang Sada milik Marsono tetap sepi dari wisatawan.

Wayang Sada Gunungkidul
Meski pernah gagal dalam mewujudkan cita-citanya sebagai pendalang, Marsono pantang menyerah. Berbekal semangat, dibuatlah wayang menggunakan sada, yang dalam bahasa Jawa berarti lidi.

Marsono, maestro Wayang Sada dari Bejiharjo memantapkan profesi yang ditekuninya. Tak berharap imbalan, juga tepuk tangan meriah dari kami. Di tengah silaturahmi yang tak ingin habis terjalin, ia pun mendalang sebelum mengakhiri perjumpaan. Dalam bahasa Jawa yang sulit dimengerti, saya berusaha menemukan inti cerita dalam pentas Wayang Sada dadakan.

Dalam urusan mendalang, Marsono menggarap alunan musik hasil kreasi sendiri. Jemari kakinya mengapit alat yang dipukulkan ke piringan besi sehingga menghasilkan bunyi pekik ketukan yang khas. Tek tek tek. Sementara tangannya terus membuat hidup lakon wayang yang sedang dimainkannya.

“Ke depan, saya juga ingin alat musiknya dari limbah pohon kelapa”, ujarnya.

Wayang Sada Gunungkidul
Biasanya, dalam sekali pertunjukan yang dihargai dua hingga tiga juta rupiah permalam ini, Marsono menggandeng satu asisten yang bertugas menyiapkan perlengkapan, dua penyanyi sinden, serta sepuluh penabuh gamelan yang terdiri dari saron, demung, kendang, dan gong.

Lepas giliran kami yang lebih aktif berperaga layaknya seorang dalang Wayang Sada. Satya, jauh-jauh datang dari Jakarta tak mau menyia-nyiakan kesempatan jumpa. Cinderamata Wayang Sada karakter Rama dibelinya sebagai rekan yang diharap menemaninya terbang ke Negeri Kangguru, Australia.

Meski belum diakui khusus sebagai warisan dunia, Wayang Sada memiliki ancaman pewaris dalang yang mengkhawatirkan. Mujurnya, Marsono memiliki Arif dan Dewa Bejo yang masih setia mendampingi dalam urusan memasarkan potensi Wayang Sada. Dan meskipun belum banyak mencuri perhatian wisatawan yang masih terus mengantre panjang di pintu masuk Gua Pindul, saya yakin, wisata budaya Wayang Sada akan laris di pasaran. Hal ini selaras dengan napas desa wisata, yang melestari seluruh potensi serta kearifan lokal yang ada di dalamnya.

Wayang Sada Bejiharjo, teruslah lestari!

Baca juga : Maestro Wayang Sada Rubrik NG Traveler Sentra Budaya

Tags: bejiharjodesa wisata bejiharjowayang sada
Previous Post

Inspirasi yang Datang dari Hutan Bambu Andeman, Sanankerto

Next Post

Destinasi Baru yang Wajib Dikunjungi Saat Berlibur ke Lombok

Hannif Andy Al - Anshori

Hannif Andy Al - Anshori

Suka bertualang untuk menikmati peninggalan sejarah, budaya, dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Sangat senang jika bisa berbagi cerita dan informasi kepada orang lain.

Related Posts

Praktisi pariwisata dan desa wisata
Catatan perjalanan

Menjadi Pengajar

Juni 19, 2023
Sunrise Candi Plaosan
Catatan perjalanan

#KelanaKai: Sunrise Candi Plaosan yang Kesiangan

Maret 5, 2023
Desa Muncar Moncer
Catatan perjalanan

Sofiyudin Achmad, Sosok di Balik Desa Muncar yang Kian Moncer

Desember 31, 2021
Monumen Plataran
Catatan perjalanan

Mengenang Pertempuran Plataran

Januari 8, 2020
Next Post
Bukit Merese

Destinasi Baru yang Wajib Dikunjungi Saat Berlibur ke Lombok

Comments 32

  1. Aula Andika Fikrullah Albalad says:
    8 tahun ago

    Wah, menarik. Semoga saya bisa ke sana suatu hari

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      aamiin. Agendakan, Mas!

      Balas
  2. Dewi Rieka says:
    8 tahun ago

    Kreatifnya..sayang ya kalau tak ada regenerasi 🙁

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      Iya Mba. Padahal cukup langka di Gunungkidul

      Balas
      • Nasirullah Sitam says:
        8 tahun ago

        Selama ini hanya sebatas mengajari anak kecil setempat sih. Salut juga dengan beliau waktu menceritakan kisahnya. Keren,

        Balas
        • insanwisata says:
          8 tahun ago

          Yups

          Balas
  3. omnduut says:
    8 tahun ago

    Ini pertama kalinya aku tahu tentang Wayang Sada. BAGUUUUUS!
    Rasanya pingin koleksi beberapa dan pajang di rumah. Harganya juga masih “jangkauable” hehe.

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      hehe. beli mas. Jangan lupa kalau ke Jogja main ke sini ya

      Balas
    • omnduut says:
      8 tahun ago

      Siap.Ntar jumpa dan selpih (((SELFIE))) sama aku ya hihihi

      Balas
      • insanwisata says:
        8 tahun ago

        Mau ga yaa. hmm

        Balas
  4. Melly Feyadin says:
    8 tahun ago

    Salut deh yg buat wayang ini, agak rumit klo liat hasilnya.

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      bener Mba, karena dari lidi. jadi terlihat rumit ya

      Balas
  5. Evi says:
    8 tahun ago

    Pak Marsono hebat. Keterbatasan memicu otak kanannya bekerja lebih giat dengan melahirkan wayang rumput dan wayang Sada seperti ini. Kalau saja Iya waktu itu sanggup ikut sekolah wayang kulit, mungkin wayang Sada tidak akan lahir ya. Benar kata orang bijak ketika satu pintu tertutup maka pintu lain akan terbuka. Semoga wisatawan Gua Pindul besok-besok tak segan mampir ke rumah pak Marsono dan membeli wayang lidi untuk oleh-oleh 🙂

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      Benar juga mba. Kalau saja tidak sekolah Wayang, pak Marsono g bakal buat Wayang Sada 🙂
      Aamiin. Semoga bukan hanya Pindul yang laris. Ayo ikut dilarisi Mba

      Balas
  6. Aji Sukma says:
    8 tahun ago

    Tuhan selalu punya cara lain mewujudkan mimpi2 hambanya. Beruntung bgt bs denger kisah inspiratif Mbah Marsono ini. :’)

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      aku udah mengurangi bebanmu untuk mengabarkan kisah inspiratif kan? yeay

      Balas
  7. insanwisata says:
    8 tahun ago

    Aamiin Bang Jo. Ayo main sini, ke Bejiharjo. Biar ketemu Mbah Marsono

    Balas
  8. Gallant Tsany Abdillah says:
    8 tahun ago

    Semoga sehat sehat mbah.
    Pertunjukannya juga sama kayak pertunjukan wayang biasanya berarti ya? Yang pake lampu sorot gitu gitu

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      kalau kemarin pas praktik sih g pakai lampu sorot mas.
      Hehe. Ga tau kalau pas pertunjukan aslinya

      Balas
  9. Iwan Tantomi says:
    8 tahun ago

    Yaaah keduluan nulis, bahaha, siapa ganti penerus pak Marsono? Hannif Andy dong.

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      Penggantinya adalah. Ki Demang Tomi Iwan Ngalam

      Balas
  10. Endah Kurnia Wirawati says:
    8 tahun ago

    Luar biasa dedikasi pak marsono yaa..

    Apa yg bs kita lakukan untuk tetap melestarikan wayang sada ini ya??

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      Datang melihat, bangga menyaksikan, ikhlas mengabarkan 🙂

      Balas
  11. yofangga says:
    8 tahun ago

    Baru tahu kalau ada Wayang Sada.
    Kalau saja dikemas dengan baik, aku yakin wayang ini bisa jadi potensi yang gak kalah dari wayang kulit atau wayang golek.
    eh, itu buat nancepin wayangnya pake pelepah pisang kah?
    *gagalfokus

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      Benar sekali Mas Yof. Perlu kemasan menarik agar generasi muda dan wisatawan melirik ke sini.
      Yes, pelepah pisang.

      Balas
  12. Rifqy Faiza Rahman says:
    8 tahun ago

    Artikel yang menarik, membuat saya ikut merasakan keprihatinan tentang nasib wayang ini ke depan. Pak Marsono, Mas Arif perlu dibantu mengemas ini sebagai cara melestarikan wayang sada.

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      ayo mas, budal. habis lebaran silaturahmi lagi

      Balas
  13. Satya Winnie says:
    8 tahun ago

    Mbah Marsono ini benar-benar keren ya. Rasa-rasanya mau mengoleksi semua wayang sodo nya. Semoga nantinya makin banyak anak-anak muda yang jadi penerus Mbah marsono ya 🙂

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      Iya Mba. aku pengen ke sana lagi beli buat tak pajang juga. lucuk ee..
      Aamiin. Kalau ke Jogja, main sini lagi hayuk Mba

      Balas
  14. Ping-balik: Pulasan Warna Kain Pantai Tepian Sungai Bengawan | insanwisata
  15. Humas Kemenpar says:
    8 tahun ago

    Selamat malam mas Hannif, mohon untuk dicek emailnya, karena tulisan ini masuk dalam nominator APWI 2017, kami mengirimkan undangan, mohon bantuannya untuk konfirmasinya. Terima kasih

    Balas
    • insanwisata says:
      8 tahun ago

      Terimakasih Mas. Sudah saya cek

      Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

© 2023 a storyteller

No Result
View All Result
  • Tentang kami
  • Konsultan
  • Catatan perjalanan
  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak

© 2023 a storyteller