Dari banyaknya daya tarik wisata di Indonesia, saya memiliki rasa ketertarikan yang besar pada pembangunan desa wisata. Ditambah lagi, selama saya terlibat dalam kegiatan di beberapa desa wisata, saya mendapatkan banyak pengetahuan yang sangat sayang jika tidak dibagikan.
Tanpa harus menjelaskan dengan narasi pembuka yang panjang, berikut beberapa salah kaprah yang kerap saya temui di desa wisata.
Meninggalkan profesi utama
Apakah ketika desa sudah berstatus desa wisata, masyarakat harus beralih profesi ke penyedia jasa pariwisata? Tentu jangan.
Bisnis jasa pariwisata memang menggiurkan. Dalam membangun desa wisata, jangan sampai meninggalkan profesi utama. Jadikan aktivitas desa wisata sebagai bonus pendapatan saja. Bagi yang berprofesi sebagai petani, tetaplah bertani. Bagi yang berprofesi pembatik, tetaplah membatik.
Bayangkan jika lahan-lahan pertanian dan perkebunan dibabat habis hanya untuk menyediakan fasilitas wisata. Kemudian para petani beralih profesi sebagai penyedia homestay dan pemandu desa wisata. Jika desa wisata kehilangan tamunya dalam waktu lama, bagaimana nasib para petani yang kehilangan profesi dan lahan bekerjanya?
Siklus kunjungan di desa wisata tidaklah menentu. Di musim low season, di mana permintaan untuk berpergian ke suatu tempat rendah sehingga destinasi wisata menjadi lebih sepi pada umumnya, desa wisata masih kesulitan mendatangkan wisatawan.
Masyarakat hanya sebagai penonton
Ruh desa wisata adalah bisnis kepariwisataan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Bisnis yang berjalan di desa wisata harus melibatkan masyarakat lokal. Seluruh kegiatan pembangunan yang ada di desa wisata sepenuhnya akan kembali dinikmati oleh masyarakat desa. Jangan sampai masyarakat di desa hanya menjadi penonton karena investor masuk dan mengambil porsi keuntungan lebih besar.
Membangun homestay seperti hotel
Produk desa wisata berbeda dengan produk wisata di kota. Jika wisatawan ingin memesan hotel berbitang di desa wisata, tentu tidak akan tersedia. Homestay tidak sama dengan hotel. Hematnya, homestay adalah tempat tinggal sementara yang memanfaatkan rumah penduduk lokal untuk kebutuhan wisatawan yang akan bermalam (live-in) di desa wisata. Perlu diketahui juga, menginap di homestay menekankan pada interaksi tuan rumah/ induk semang dan tamunya.
Yang perlu diperhatikan dalam membangun homestay adalah kebersihan, kenyamanan, keamanan, dan terjalinnya komunikasi antara tuan rumah (pemilik homestay) dengan tamunya (wisatawan).
Tidak menyediakan informasi yang jelas
Desa wisata sangat berbeda dengan objek wisata. Meski sama-sama menjadi daerah tujuan wisata, aktivitas berwisata ke desa lebih menekankan pada pengalaman wisatawan selama di desa wisata.
Seperti contoh di Desa Wisata Pentingsari yang berada di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Jika diamati lebih jeli, desa wisata ini sama sekali tidak memiliki objek wisata. Begitu pula dengan Desa Wisata Pancoh yang berada di Kecamatan Turi.
Paket yang biasa dijual dua desa wisata di atas adalah bertani, belajar budaya, dan live-in bersama masyarakat desa. Jika Pentingsari dan Pancoh tidak menyediakan informasi yang jelas tentang apa yang bisa dilakukan wisatawan selama di desa wisata, tentu akan menyulitkan calon wisatawan yang ingin membeli paket wisata.
Ada beberapa poin yang bisa ditampilkan dalam informasi yang akan disampaikan kepada calon wisatawan, di antaranya memuat unsur atraksi, aksesibilitas, dan akomodasi.
Poin pertama adalah atraksi. Buatlah narasi maupun penjabaran yang memuat kegiatan apa saja yang dapat dilakukan wisatawan selama di desa wisata. Atraksi biasanya akan menjelaskan tentang apa yang bisa dilihat, apa yang bisa dilakukan, apa yang bisa dibeli, maupun apa yang bisa dimakan/ kuliner khas.
Kedua adalah aksesibilitas. Pada poin ini, jelaskan bagaimana cara wisatawan menuju desa wisata (baik transportasi yang bisa digunakan, jangkauan/ waktu tempuh, maupun jaraknya). Jika akses untuk menuju ke sana sulit, pihak desa wisata dapat menyediakan transportasi penjemputan untuk wisatawan.
Dan yang ketiga adalah akomodasi. Poin ini menjelaskan fasilitas apa yang tersedia di desa wisata (baik itu homestay, ketersediaan lahan parkir, ketersediaan MCK, pendopo/ ruang pertemuan, dan sebagainya).
Selain tiga poin di atas, tentu wisatawan juga membutuhkan informasi harga, narahubung, beserta cara pemesanan. Tak hanya itu, di kawasan desa wisata dibutuhkan papan interpretasi yang dapat menjelaskan tentang titik-titik potensi di desa.
Kelembagaan hanya sebagai formalitas
Selama perjalanan mendampingi desa wisata, saya banyak menemukan beberapa kasus lembaga desa wisata yang hanya dibentuk untuk formalitas saja. Setelah terbentuk, lembaga justru tidak berjalan. Kadang ada yang mati total.
Kelembagaan yang sudah terbentuk haruslah dimaksimalkan. Fungsi dan peran POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) maupun pengelola desa wisata haruslah jelas dan dilakulan monev (monitoring dan evaluasi) secara berkala. Masyarakat yang ditunjuk haruslah secara akuntanbel melaporkan keuangan melalui musyawarah rutin supaya tidak terjadi konflik sosial antar anggota.
Secara umum, apa saja fungsi Kelompok Sadar Wisata? Pertama, sebagai penggerak sadar wisata dan Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan) di lingkungan wilayah desa wisata. Kedua, sebagai mitra pemerintah dalam upaya perwujudan dan pengembangan sadar wisata di daerah.
Tidak meningkatkan kualitas SDM
Jangan cepat puas terhadap capaian sekarang. Meningkatkan kompetensi dan kualitas sumber daya manusia sangat penting dilakukan untuk menuju kemandirian desa wisata.
Jika selama ini desa wisata sudah bisa mendatangkan wisatawan domestik/ nusantara, buatlah target untuk bisa mendatangkan wisatawan mancanegara. SDM yang terlibat untuk berinteraksi dengan turis mancanegara tentunya harus meningkatkan keterampilan dalam berbahasa Inggris yang baik. Tak hanya itu, kemampuan mengemas produk, paket wisata, dan bercerita (storytelling) harus terus ditingkatkan supaya wisatawan yang datang tidak mudah jenuh.
Tantangannya memang cukup berat. Untuk menuju ke sana tentu mengalami proses panjang. Tapi saya percaya. Semakin terbiasa melayani wisatawan, semakin baik dalam bercerita dan mengemas produk wisatanya.
Baca juga : Harapan Baru Desa Wisata Wayang
Tidak berpromosi dan berjejaring
Lima dari kesalahan di atas akan semakin sulit jika tidak diikuti dengan promosi dan berjejaring yang konsisten dan berkelanjutan.
Untuk itu, lakukanlah promosi secara konsisten dan berkualitas. Libatkan anak muda yang tergabung dalam Karang Taruna untuk mewartakan potensi desa melalui internet. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Desa Wisata Nglanggeran, Desa Wisata Pujon Kidul, dan Desa Wisata Pentingsari yang sudah memiliki media promosi yang diupdate secara rutin.
Tak hanya itu, untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas desa wisata, berjejaringlah! Jalin hubungan yang baik dengan pemerintah (baik pusat maupun daerah), akademisi, swasta, HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia), biro perjalanan wisata, maupun antar desa wisata.
Pihak desa wisata dapat menjalin kerjasama dengan pihak akademisi dalam bentuk kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN), penelitian, maupun Pendampingan Pemberdayaan Masyarakat. Dari pihak swasta, pihak desa wisata dapat menjalin kerjasama untuk dapat mengakses bantuan berupa pendampingan kelompok usaha, pengadaan alat usaha, maupun fasilitas pendukung kegiatan desa.
Banyak sekali CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan yang memiliki program ini. Contohnya di Desa Wisata Nglanggeran yang mendapat bantuan pembuatan embung/ waduk dari CSR Pertamina. Desa Wisata Bleberan yang mendapat bantuan dari CSR BNI untuk pembangunan gapura masuk. Desa Wisata Pentingsari yang mendapat bantuan dari CSR BCA, dan bantuan sosial lainnya.
Sementara dari pihak pemerintah daerah, pihak desa wisata dapat menjalin kerjasama dalam bentuk pendampingan, sosialisasi, penyusunan cetak biru/masterplan kawasan, maupun regulasi.
Dalam bentuk promosi, desa wisata dapat bekerjasama dengan biro perjalanan yang tergabung di ASITA, pemandu dari HPI, maupun pihak penyedia jasa layanan wisawatan seperti hotel dan restauran. Desa wisata pun berkesempatan mengikuti pameran, travel dialog, maupun travel mart yang dapat mempertemukan antara seller dan calon buyer.
Baca juga : Membangun Desa Wisata, Memperhatikan Nilai Lokal
Itulah beberapa poin yang kerap saya temui di lapangan. Jika rekan-rekan pembaca memiliki opini/ pendapat lain, saya akan sangat senang untuk menerima koreksi.
Tabik.
Duh aku sebagai wong ndeso wis biasa idup di kampung kudu piye?
yo rapie-pie. tetep urip seperti biasa.
berbahagialah 😀
Jadi 2019 mau ngumpul di deswita mana? Siap iki. Akeh bahan diskusi (nggibah) hahhahaha
kemarin sudah dihubungi lagi. tergantung energi dari teman-teman. siap tidak jika modelnya kaya kemarin?
Ya dan poin utama dalam pengembangan desa wisata seperti dalam artikelmu kemarin, keberlanjutan.
Benar sekali lur. menarik sekali mengamati perkembangan desa wisata ini. banyak yg tumbuh, banyak pula yg mati. keberlanjutan jadi pekerjaan rumah yg berat. bukan hanya untuk desa wisata.
desa yang sekarang tidak seperti desa yang dulu
pengen diajak wisata ke desa yang bukan desa wisata api bener-bener yang memiliki suasana desa sebenarnya
ayo.. ada pak. kapan? haha
iki kendala2ne kok rasane pas banget yak? yakin banget ini hasil dari pengalaman selama ini mendampingi deswita2, ancen masuk akal banget
mirip denganmu?
Luar biasa insightnya. Terima kasih sdh berbagi.
Terima kasih kembali. Semoga bermanfaat
PErlu pengembangan desa wisata yang potensial di seluruh indonesia
betul..kadang2 merasa terpaksa untuk membangun desa wisata karena pencetusnya itu dari pendamping desa pada awalnya seingat saya sekitar tahun 2018 akhir-akhir..pokdarwis yg sudah terbentuk kini antara ada dan tiada..bumdes juga terseok-seok..entah krna blm tumbuhnya keinginan dari masyarakat dan hanya mengejar formalitas program-program pusat demi meraih citra tertentu atau memang sosialisasi yang sangat rendah?..bnyak program itu seakan-akan dipaksa dan akhirnya tidak jelas..namun kini mulai dicoba untuk membangun satu titik sebagai objek wisata dulu..meskipun namanya tetap dipakai desa wisata..karena sudah ditetapkan dengan SK Bupati sebagai Desa Wisata…belum bisa sepertinya menyeluruh ke seluruh wilayah di desa..pelan-pelan saja dlu…mudah-mudahan jadi..sambil menanti selesainya pandemi ini atau akankan hidup berdampingan dengan pandemi ini seterusnya…