Beberapa hari lalu, saya mendapatkan pertanyaan tentang ‘mengapa saya memiliki ketertarikan pada desa wisata?’ Jika harus dituliskan melalui pesan singkat, tentu akan sangat panjang. Maka biarlah saya ceritakan melalui blog ini. Oh, ya. Semua saya tulis berdasar pengalaman saya belajar dan berwisata. Jika ada yang kurang tepat, saya sangat senang untuk dapat dikoreksi dan diberikan masukan.
Awal mula
Tahun 2010 adalah awal mula saya mengenal desa wisata. Desa Wisata Brayut adalah desa wisata pertama yang saya kunjungi. Sepintas, desa ini tak jauh berbeda dari tempat tinggal saya di Klaten. Rumah joglo dengan daun pintu yang besar, alas tikar yang sederhana, jamuan kacang dan pisang rebus sebagai pembuka, dan menggunakan caping saat menyisiri sawah. Jujur. Perkenalan pertama pada Desa Wisata Brayut tak langsung membuat saya jatuh hati.
Barulah di tahun 2014, di mana saya harus memutuskan memilih topik penelitian tugas akhir, saya banyak berkonsultasi pada rekan-rekan yang justru berasal dari jurusan yang berbeda.
Mulanya, saya menantang diri untuk mengambil studi kasus tentang perubahan sosial masyarakat di kawasan destinasi wisata. Jujur, ini adalah topik yang menantang. Namun, membutuhkan waktu panjang untuk bisa mematangkan hasil kajiannya.
Topik riset perubahan sosial akhirnya saya belokkan menjadi partisipasi dan modal sosial masyarakat membangun desa pasca-bencana. Desa Wisata Pulesari menjadi pilihan saya. Pasalnya, desa wisata ini berada tak jauh dari Gunung Merapi dan menjadi salah satu desa yang ikut terkena dampak letusan pada 2010 silam.
Seiring berjalannnya waktu, saya mulai mengikuti ritme penelitian, memahami konflik sosial dan strategi politik desa, juga mengenal karakter masyarakat sesuai geografisnya. Rasa suka pada desa pun mulai tumbuh. Dan sejak 2014, saya memutuskan untuk banyak berkegiatan di desa, apa pun potensinya. Pada 2018 kemarin, saya berkesempatan untuk terlibat dalam RPKP (Penyusunan Rencana Pengembangan Kawasan Perdesaan) di Kabupaten Ende, Wakatobi, dan Gorontalo Utara bersama Kementerian Desa RI.
Empat tahun adalah proses belajar yang menyenangkan. Bahkan sampai sekarang, saya menyadari bahwa masih banyak yang perlu saya pelajari, entah nanti melalui sekolah formal atau pengalaman di lapangan.
Belajar dari desa wisata
Saya mengakui, teori yang diajarkan pada kelas perkuliahan yang saya lalui tak cukup untuk dipraktikkan dan dibawa ke lapangan. Dalam studi kasus di desa wisata, saya justru belajar dari hal sederhana, yakni pemetaan potensi dan masalah di desa.
Teknik ini mengajarkan saya untuk bisa mengenal sejarah desa, kecenderungan masyarakat ketika terjadi perubahan, kearifan lokal masyarakat, pemetaan potensi dan masalah, kajian mata pencaharian dan kalender musim, serta mencari para aktor kunci di desa.
Tak hanya belajar dalam merencanakan pembangunan desa. Saya juga belajar tentang proses rembug warga, pengambilan keputusan, dan eksekusi di lapangan. Menariknya, tidak semua desa melakukan proses yang sama. Dan untuk menemukan pakemnya, desa wisata perlu melalui proses uji coba yang memakan waktu cukup lama.
Begitu juga dalam proses pemasaran. Tidak semua desa wisata memaksimalkan akses pemasaran digital. Menariknya lagi, saya menjumpai ada salah satu desa (tak ingin disebut namanya) menggunakan strategi pemasaran melalui sebuah konflik. Jika kawasan sedang sepi wisatawan, konflik menjadi opsi yang akan dimunculkan.
Dari sini saya semakin tertarik pada desa wisata. Proses itu membuat saya menjadi kaya pengetahuan. Meletakkan objek pembangunan pada sumber daya manusia sangat menantang. Buku-buku yang saya baca di perpustakaan tak pernah menyajikan kasus lapangan yang beragam.
Kesempatan berbagi dan kolaborasi
Saya kira banyak orang yang salah alamat saat mencoba menghubungi dan mewawancarai saya terkait desa wisata. Perlu saya luruskan. Bahwa saya bukan orang desa wisata. Kapasitas saya adalah sebagai penikmat dan ‘kawan’ dari pengelola desa wisata. Namun, tak sedikit yang memaksa saya untuk bisa berbagi tentang desa wisata.
Saya juga merasa kalau tren pengembangan desa wisata semakin menjamur. Terlalu mudah orang mengklaim desanya sebagai desa wisata. Namun, pekerjaan rumah terberat bagi desa wisata adalah memastikan keberlanjutannya.
Dalam kesempatan berbagi, saya biasanya akan lebih banyak bercerita tentang pengalaman datang ke desa-desa wisata. Kadang saya menyinggung konsep pariwisata kerakyatan di desa wisata. Tentu bukan maksud untuk menggurui. Semua itu adalah kesempatan berbagi melalui narasi visual yang saya ambil dari pengalaman panjang selama lima tahun ini.
Baru-baru ini (tahun 2019), saya bersama teman-teman Desa Wisata Institute –organisasi yang kami dirikan untuk mengawal perjuangan desa wisata di Indonesia– mendampingi beberapa desa yang tersebar di daerah. Salah satu kabupaten yang kami dampingi selama empat bulan penuh adalah Nganjuk.
Tidak semua masalah di desa wisata bisa terselesaikan. Di luar masalah internal, saya melihat banyak desa wisata yang kesulitan dalam urusan pemasaran. Untuk itu, bersama Forum Komunikasi Desa Wisata Jogja Istimewa, kami menggagas kegiatan bertajuk Eksplor Deswita.
Sejauh ini, kegiatan Eksplor Deswita sudah berjalan di 14 desa wisata yang tersebar di lima kabupaten; Malang, Bantul, Gunungkidul, Sleman, Kulon Progo. Kegiatan ini adalah salah satu solusi percepatan pemasaran yang melibatkan pewarta cerita dari sudut pandang rekan-rekan Travel Blogger untuk mengabarkan potensi desa-desa wisata di Indonesia.
Gayung bersambut. Puluhan tulisan yang tersebar melalui akun blog 15 Travel Blogger menjangkau banyak pembaca. Dari tulisan tersebut, saya banyak menerima email (khususnya dari Jawa) yang merasa tertarik dengan desa wisata. Hingga suatu hari, datang tiga pemuda menemui saya.
Usai menyudahi pekerjaannya sebagai karyawan kantoran, kini mereka membangun organisasi yang bergerak di bidang pemberdayaan masyarakat desa, khususnya di desa wisata. Silakan temui Kalpasta, yang saat ini mendampingi Desa Wisata Jarum, desa wisata yang sempat mati suri di Kabupaten Klaten.
Membangun Indonesia dari pinggiran
Dulu, bahasa ‘pinggiran’ melekat pada kawasan desa karena cenderung jauh dari aktivitas pembangunan. Desa juga digambarkan sebagai kawasan yang sulit diakses. Namun, tidak untuk saat ini.
Dapat kita lihat justru mulai banyak desa-desa yang semakin sejahtera dan berkembang. Industri pariwisata pun menuntut desa wisata memiliki akses yang mudah dijangkau, baik itu akses informasi maupun lokasi.
Fakta tentang banyaknya desa wisata yang berhasil saya kira menjadi salah satu jalan membangun Indonesia menuju kesejahteraan. Contoh yang saya temui di antaranya adalah Desa Wisata Pentingsari, Desa Wisata Pujon Kidul, Desa Wisata Nglanggeran, Desa Wisata Bleberan, Desa Wisata Pulesari, Desa Wisata Pancoh, Desa Wisata Panglipuran yang total pendapatan pariwisatanya sudah cukup mapan. Bahkan untuk Desa Wisata Pentingsari, skalanya adalah dusun dengan perputaran uang hampir dua miliar per tahun.
Jika diukur dari dampak ekonominya, siapapun akan terpukau. Namun di luar itu, kehadiran desa wisata yang berhasil secara tidak langsung dapat mengurangi tingkat pengangguran, menekan angka urbanisasi, melestarikan lingkungan dan budaya, juga memastikan masyarakat desa mengakses pendidikan yang lebih baik dan berkesempatan mendapat pekerjaan di kampung halaman.
Sebagai penutup tulisan, ijinkan saya meminjam semangat dari guru sekaligus sahabat saya; Doto Yogantoro, Arsitek Desa dari Desa Wisata Pentingsari. Benar bahwa desa adalah satu kata. Namun dari desa, akan ada seribu cerita dan tumbuh sejuta karya.
Terima kasih, Pak Doto!
Baca juga : Salah Kaprah Desa Wisata
Aku tertarik datang ke desa wisata bisa dibilang karena bosan dengan kegiatan-kegiatan kota atau traveling yang itu-itu saja, main ke gunung, ke pantai, museum. Kadang pengen juga datang ke desa, terus beneran life like locals. Belajar tandur, belajar ngangon kebo, belajar main ke sawah. Kegiatan seperti itu kadang pengen banget, Nif. Hahaha.
yoi. kadang itu juga yg dicari orang kota. lebih ke live-in dan experiencenya.
Iya juga sih.. terkadang romansa masa kecil begitu usil tak ingin hilang dari ingatan saat sudah beranjak dewasa..hehehe
Jadi, ayo ke desa wisata. Hehe