Desa Jarum merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten. Desa Jarum juga dikenal sebagai sentra industri batik di mana hampir seluruh penduduknya memiliki mata pencaharian sebagai pembatik.
Bukan hanya sekadar motif dan pakaian saja. Sebagai warisan budaya yang telah mendunia, UNESCO telah menetapkan batik sebagai Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity. Warisan budaya ini tentunya memiliki banyak filosofi dari para pembuatnya. Dengan kata lain, arti dari motif yang ada pada selembar kain akan memiliki makna yang berbeda tergantung daerah asalnya.
Sejarah Desa Jarum
Dikisahkan, pada masa pemerintahan Kasunanan Surakarta terdapat seorang Bekel (sekarang setingkat dengan kepala desa) yang bernama Ekomoyo. Setiap tahunnya, ia diwajibkan menyerahkan upeti/ hasil bumi kepada Sinuhun Paku Buwono.
Suatu hari, terjadi masa paceklik yang panjang sehingga Ekomoyo kesulitan membawa hasil bumi ke Keraton. Karena terpaksa, Ekomoyo hanya membawa Mojo, buah yang dikenal memiliki rasa pahit.
Uniknya, buah Mojo yang diterima Sinuhun tidak pahit sedikit pun. Justru sebaliknya, terasa manis dan memiliki aroma yang harum. Lantas, Sinuhun memberikan perintah kepada Ekomoyo agar tempat tumbuhnya buah Mojo tersebut diberi nama Mojo Aroem. Lambat laun, masyarakat menyebut nama desa ini sebagai Desa Jarum.
Potensi Desa Wisata Jarum
Siapa bilang batik hanya ada di Yogyakarta dan Pekalongan? Datanglah langsung ke Desa Jarum, Kecamatan Bayat untuk bertemu langsung dengan para juragan batik.
Tak sulit menemukan rumah produksi batik tulis di Desa Jarum. Pasalnya, desa ini telah dikenal sebagai salah satu desa penghasil batik tulis terbesar di Solo Raya. Produknya pun tersebar di kabupaten tetangga seperti Yogyakarta dan Surakarta. Hampir setiap rumah di desa ini memiliki papan nama usaha batik tulis dan cap.
Jika digali sejarahnya, usaha batik tulis desa ini sudah eksis pada tahun 1960-an. Saat itu, industri batik desa ini masih dipegang oleh seorang pedagang bernama Purwanti, yang kini juga memiliki usaha dengan label Batik Purwanti. Berkat keterampilan dan tingginya permintaan pasar, usaha rumahan yang semula dikerjakan beberapa pengrajin mulai berkembang pesat. Diceritakan, terdapat lebih dari 600-an pengrajin batik yang tersebar hingga Kecamatan Bayat.
Tidak hanya memproduksi batik tulis. Atas tingginya peminat dan pengguna batik di nusantara, masyarakat Desa Jarum mulai banyak mengembangkan motif batik cap, kombinasi, hingga batik tulis pewarna alam. Bahan pewarna yang digunakan pun beragam. Secang, talas, mahoni, dan tumbuhan lainnya menjadi pewarna alam yang memiliki harga paling mahal.
Label ‘desa batik’ pun sangat melekat pada Desa Jarum. Bahkan, terdapat potensi berupa kerajinan kayu yang dipulas dengan teknik canting tulis. Kerajinan batik kayu seperti topeng, nampan, hingga gantungan kunci dapat ditemukan dengan mudah di desa ini. Salah satu usaha batik kayu yang sempat saya kunjungi adalah milik Jino.
Baru-baru ini, beberapa pelaku usaha batik tulis di Desa Jarum mengembangkan bisnisnya. Salah satunya adalah kain jumput atau tie dye. Pakaian ini dibuat menggunakan teknik yang sangat sederhana, yakni diikat dan dicelup. Dengan motif dan warna yang cerah, pakaian jumput ini memperkaya potensi Desa Jarum yang terkenal sebagai sentra batik tulis.
Bukan hanya batik tulis, batik kayu, dan kain jumput saja. Potensi lain yang menjadi daya tarik Desa Jarum adalah pembuatan layah atau cobek batu. Batu yang didatangkan langsung dari wilayah Gunungkidul ini memiliki masa pakai dan kualitas yang lebih baik dibanding lainnya. Dengan menggunakan alat pecah batu sederhana seperti linggis, penancal, palu, dan pete’l, masyarakat memahat batu menjadi peralatan dapur.
Awal menjadi desa wisata
Kayanya potensi di Desa Jarum membuat pemerintah daerah mengembangkan desa ini menjadi daerah tujuan wisata bertemakan ‘kerajinan dan budaya’. Kemudian di tahun 2011, Desa Jarum diresmikan menjadi desa wisata di Kabupaten Klaten. Kelembagaan layaknya POKDARWIS (Kelompok Sadar Wisata) pun dibentuk untuk mengelola kegiatan maupun program dari pemerintah daerah.
Sayangnya, banyak tantangan yang dihadapi masyarakat dan Kelompok Sadar Wisata sehingga membuat banyak program di desa wisata tak berjalan mulus. Kendati menjadi pelopor desa wisata di Kabupaten Klaten, Desa Wisata Jarum mengaku kurang mengerti konsep desa wisata dan peran organisasinya. Mujur, meski desa wisata tidak terkelola dengan baik, masyarakat Desa Jarum tak pernah kehilangan profesi utamanya.
Pemuda membangun desa
Tahun 2017, saya mendapat surat elektronik dengan pesan yang cukup ringkas. Dalam pesannya, ia mengungkapkan rasa ketertarikan pada kegiatan yang pernah saya selenggarakan bersama rekan-rekan narablog, yakni Eksplor Deswita di Provinsi DIY. Tak lama setelah itu, saya bertemu dan mendengar langsung ide mereka.
Begitu mengagetkan. Tiga anak muda asal Klaten yang sudah terhitung mapan bekerja ini memutuskan keluar dari pekerjaannya dan ingin membangun desa. Saya diam dan tertegun mendengar kisah dan semangat mereka. Saya pun tak percaya, tulisan-tulisan kami dapat menggerakkan orang untuk kemudian pulang membangun desa.
“Kami mengikuti twitter dan tulisan teman-temannya Mas Hanif pas Eksplor Deswita, mas” ujar Galang. Pendiri Kalpasta pertama yang memutuskan keluar dari tempat bekerjanya.
Tak banyak konsep pendampingan yang saya paparkan. Saya membiarkan mereka menemukan dan berinteraksi langsung dengan masyarakat desa. Yang pasti, saya tak mengarahkan mereka untuk membuat desa wisata baru.
“Dampingi saja yang hampir mati” pesan saya kepada tiga pendiri Kalpasta.
Kembali bangkit
Di tahun 2019, atas semangat dari beberapa pelaku usaha dan dorongan organisasi Kalpasta, Desa Jarum mulai berbenah. Menyadari kayanya potensi yang dapat dikembangkan lebih lanjut, masyarakat mulai menata kembali peran dan fungsi Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS). Dukungan pemerintah desa pun tak kalah pentingnya. Lewat acara tahunan Festival Batik Kabupaten Klaten, Desa Jarum kembali menggaungkan status desa wisatanya.
Pernah mati suri sebagai desa wisata, kini Desa Jarum kembali bangkit hingga menorehkan beberapa prestasi. Pada tahun 2019, Desa Wisata Jarum mendapatkan penghargaan Juara 1 dalam ajang lomba desa wisata se-Kabupaten Klaten. Sementara di tingkat provinsi, Desa Wisata Jarum meraih juara 3 dalam ajang lomba desa wisata se-Provinsi Jawa Tengah.
Raihan prestasi itu tentunya tak lepas dari peran masyarakat lokal dalam melestarikan nilai gotong royong dan semangat membangun tanah kelahirannya. Tanpa gotong royong, semangat membangun desa, jiwa wirausaha, semangat belajar, dan ide-ide kreatif mengemas paket wisata, Desa Wisata Jarum akan sulit melanjutkan perjuangan menuju desa wisata mandiri.
Entah sudah terhitung berapa kali saya mendatangi desa ini. Selain untuk menyambung silaturahmi, saya selalu menyempatkan diri untuk melihat dan membeli beberapa koleksi motif Batik Unik milik Joni Prasetyo. Ia adalah salah satu pemuda yang ‘mau’ mengurus nasib desa wisata ini.
Baca juga : Membangun Desa Wisata, Memperhatikan Nilai Lokal
Penah merantau sampai Tidore memberinya banyak pengalaman. Dalam setengah perjalanannya berkarir, ia sadar bahwa desa tempat tinggalnya kaya potensi. Di sisi lain, ia melihat bahwa sudah jarang generasi muda yang menaruh hati pada profesi orang tuanya sebagai pembatik lantaran terlalu lama menghasilkan uang.
“Sekarang, generasi muda di sini lebih memilih bermain gadget dibanding membatik” ujar Joni.
Kini Joni meneruskan bisnis batik orang tuanya. Meski sudah tergolong usaha yang mapan, Joni turut memberi kontribusi dalam berkembangnya bisnis batik yang sudah dirintis sejak 1990. Joni adalah pencerita yang baik. Dengan gaya Joni bercerita, batik tidak lagi dipandang sebagai pakaian saja. Melainkan juga sebuah proses dari hasil karya cipta manusia yang sangat bernilai.
Peran pihak luar
Hampir genap satu tahun sudah Kalpasta ikut terlibat di dalam kegiatan Desa Wisata Jarum. Saya mendengar langsung bagaimana peran anak-anak Kalpasta yang luar biasa tekun dan sabar dalam mendampingi masyarakat. Nama mereka selalu menjadi bahan perbincangan di tempat berkumpulnya masyarakat. Semangat mereka menular. Membawa masyarakat Desa Jarum percaya diri pada potensi di tanah sendiri.
Tak mudah tentunya mengetuk perasaan orang lain untuk percaya pada mimpi Kalpasta. Namun sekarang, banyak masyarakat yang merasa kehilangan tiga sosok di balik Kalpasta. Mereka terus menantikan kabar dan kedatangan Kalpasta. Entah ke mana perginya, Kalpasta dinilai berkontribusi besar untuk memperbaiki nasib desa wisata yang hampir mati suri.
Menyaksikan fenomena perkembangan desa wisata ini cukup menarik. Selain harus mengurus destinasi dan industrinya, masyarakat sebagai pelaku utama perlu dikawal semangat belajarnya. Jangan sampai desa wisata lainnya bernasib sama. Lantas, hanya tinggal papan nama saja.
Baca juga tulisan narablog lainnya tentang Desa Wisata Jarum :
Menghidupkan Kembali Potensi Desa Wisata Jarum oleh Nasirullah Sitam
Tergelitik Potensi Desa Jarum oleh Halim Santoso