Tak Tak Tak – Wing Wing… Suara tatah batu bersaing dengan deru mesin forklift yang mengangkut material galian tanah. Sesekali juga terdengar suara mesin potong batu yang meraung bising.
Pernah tertimbun sedalam tujuh meter, sebuah bangunan candi sedang dipugar oleh tim Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY. Mereka bagaikan para arsitek ulung yang piawai memahat relief candi. Suara pukulan palu layaknya sebuah orkestra yang dimainkan di tengah panggung terbuka.
Menyingkap peninggalan kerajaan di Negeri Tiga Daun
Penemuan situs ini bermula dari kecurigaan seorang warga yang hendak menanam aneka palawija, namun tidak pernah menghasilkan. Kemudian pada 24 September 1993, cangkul seorang pekerja penambang pasir membentur batu. Setelah diteliti, ternyata batu itu adalah bagian dari reruntuhan candi. Tak lama setelah itu, BPCB DIY bersama Arkeologi UGM melakukan penggalian penyelamatan.
Masih hangat dalam ingatan saat saya mengunjungi situs ini pada 2011. Sepintas, tak ada yang istimewa dari situs ini. Ia bak kolam yang sedang kering dilanda kemarau. Tampak di dalamnya terdapat bongkahan bebatuan yang belum tersusun rapi, sehingga banyak dari kami yang belum tertarik mengambil gambar.
Diceritakan pula, saat musim hujan datang, air akan mengalir dan mengubah situs ini menjadi kolam pemancingan ikan bagi warga sekitar. Dalam penantian panjangnya yang hampir seperempat abad, akhirnya situs ini dipugar.
Penggalian penyelamatan pun mulai dilakukan selama beberapa hari. Berbagai temuan seperti arca Ganesha, arca Durga, lingga, dan tiga buah prasasti menandakan bahwa situs ini merupakan candi Hindu. Sementara jika melihat ciri bangunan serta temuan prasasti yang menggunakan huruf bahasa Jawa kuno, Candi Kedulan diketahui dibangun antara abad ke-8 dan ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno.
Menurut BPCB DIY, inilah candi yang memiliki prasasti terlengkap di Indonesia. Salah satunya adalah Prasasti Tlu Ron yang mengungkap tentang kebijakan raja berkaitan dengan proyek pembangunan bendungan untuk mengairi tegal milik Bhatara (bangunan suci) di Desa Panangaran dan Parhyangan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pada masa itu sudah mengenal sistem irigasi dan pemanfaatannya dalam pertanian.
Dari temuan prasasti tersebut, diketahui bahwa nama asli candi ini adalah Parahyangan Haji I Tlu Ron (bangunan suci kerajaan di Tiga Daun). Namun, saat ini masyarakat mengenalnya dengan nama Candi Kedulan.
Jembatan pengetahuan masa lalu, masa kini, dan masa depan
Perancah yang tingginya kurang dari lima meter masih terpasang mengelilingi candi perwara. Para pekerja tengah ngaso sejenak, sembari menikmati santap siang. Lokasi pemugaran Candi Kedulan layaknya sebuah open site museum. Saya pun berkeliling mengitari candi. Banyak yang telah berubah dibanding saat saya datang pada Maret lalu. Berselang lima bulan, kini tiga candi perwara hampir rampung dipugar.
Sembari melempar beberapa pertanyaan kepada para pekerja, saya teringat pada cerita Yoses Tanzaq, arkeolog BPCB DIY yang pernah memandu saya berkeliling Candi Kedulan pada Maret lalu.
Dataran yang dikelilingi oleh gunung-gunung adalah kawasan yang secara alamiah aman dan kaya air, sehingga ideal untuk ditinggali. Namun, siapa bisa menduga? Di masa lalu, di sanalah terdapat konsentrasi permukiman penduduk.
Dahsyatnya letusan ancala yang menjulang gagah di utara; Merapi, diketahui sebagai dalang tertutupnya candi ini. Persisnya, terdapat sekitar 13 lapisan endapan lahar yang menenggelamkan Candi Kedulan. Tebalnya pun bervariasi, ada yang kurang dari 20 cm, bahkan mencapai 2.5 meter. Lapisan ini menandakan bahwa Candi Kedulan tidak tertutup aliran lahar secara sekaligus. Melainkan terkena dampak letusan Merapi sebanyak 13 kali di mana letusan terbesar terjadi pada tahun 1006. Pada saat itu, letusan Merapi membuat seluruh bagian tengah Pulau Jawa, termasuk peninggalan kerajaan Mataram Kuno tertutup abu vulkanik.
Menariknya, material Gunung Merapi yang menerjang kawasan Negeri Tiga Daun adalah aliran piroklastik dan yang paling merusak adalah lava pijar. Ajaibnya, aliran lava pijar itu hanya menghancurkan pagar yang berjarak 2 meter dari tubuh candi.
Berada tak jauh dari tubuh candi, ditemukan tiga jati pendem dengan panjang 20 meter dengan abu vulkanik yang masih menempel di batangnya. Jejak pohon yang berada di luar zona inti ini mengindikasi bahwa Negeri Tiga Daun dikelilingi hutan yang cukup luas.
Di negeri yang rawan bencana ini, leluhur kita meninggalkan Candi Kedulan untuk menyelamatkan diri. Namun sebelum itu, agar bangunan tidak lagi sakral dan dihuni roh jahat, masyarakat Negeri Tiga Daun mengambil peripih utama dan merusak beberapa arca dewa. Hal ini dilakukan secara sengaja untuk mengosongkan jiwa candi. Namun, perihal kapan persisnya Negeri Tiga Daun ditinggal penduduknya, masih belum terungkap.
Cerita ini tentu menjadi jembatan pengetahuan bagi kita, tentang sejarah dan muasal Negeri Tiga Daun, kisah mengenai masyarakat pembuatnya, hingga proses restorasinya. Menariknya lagi, kisah migrasi manusia yang terjadi di tanah Jawa, khususnya di Negeri Tiga Daun banyak disebabkan oleh adanya bencana alam.
Candi Kedulan kini
Setelah temuan yang terkuak 26 tahun silam ini banyak dipublikasikan, masyarakat antusias berduyun menengok keberadaan Candi Kedulan. Meskipun masih dalam tahap pemugaran, beberapa ornamen yang menghias Candi Kedulan sudah bisa dinikmati keindahannya.
Selain untuk dilihat, banyak juga pengunjung yang tertarik datang untuk mempelajari serta mengkaji nilai-nilai sejarah yang terkandung di dalam situs sejarah Candi Kedulan. Daya tarik yang bersifat open site museum ini bukan saja menjadi jembatan keilmuan bagi pengunjung yang menggeluti bidang arkeologi, namun juga yang berkaitan dengan konservasi batu dan sejarah bencana alam.
Tantangan dan peran kita: merawat atau membiarkannya musnah?
Candi Kedulan terpaut erat dengan sejarah bangsa. Kehidupan dan cerita tentang tatanan hidup leluhur kita telah terpahat pada prasasti dan relief candi. Kembali berdirinya Candi Kedulan yang telah melintasi zaman tak lain karena upaya penyelamatan yang dilakukan secara bersama-sama.
Tak salah jika tahap merekonstruksi dan memugar sebuah bangunan cagar budaya membutuhkan biaya yang besar. Menyusun bebatuan candi tanpa ada gambaran visual dan petunjuk bagaikan sedang menyusun sebuah puzzle raksasa. Saking sulitnya, dibutuhkan waktu yang sangat lama agar candi ini bisa tersusun rapi sesuai aslinya. Namun, semua itu bukanlah langkah yang sia-sia.
Sementara itu, sumber daya cagar budaya mempunyai sifat terbatas baik jumlah maupun kualitasnya, sangat rapuh, sehingga diperlukan perlakuan khusus untuk pemanfaatannya. Untuk itu, diperlukan materi cetak biru yang mengedepankan konservasi dan edukasi di mana Candi Kedulan sebagai zona inti tidak rusak akibat aktivitas wisata.
Tantangan lain yang menjadi kekhawatiran terbesar kita semua adalah pengaburan sejarah dan pengrusakan. Untuk itu, supaya kita tetap sadar siapa diri kita dan siapa leluhur kita, maka cara yang paling mudah adalah dengan menghormati kebesaran dan tinggalan yang telah diwariskan kepada kita.
Lantas, bagaimana agar semangat memelihara cagar budaya menular?
Pariwisata merupakan salah satu cara untuk melestarikan Candi Kedulan. Meski keduanya ( wisata dan pelestarian) terlihat bertolak belakang, namun sebenarnya dapat saling berjalan asalkan memiliki aturan yang jelas. Cara untuk memadukan keduanya adalah dengan mengembangkan konsep wisata yang mengedepankan kearifan lokal dan berwawasan lingkungan budaya.
Konservasi dan edukasi adalah nilai penting pengembangan cagar budaya Indonesia
Pemanfaatan candi sebagai destinasi wisata ini harus tetap mendudukkan kelestarian Candi Kedulan sebagai prioritas utama. Dengan demikian, pengembangan Candi Kedulan sebagai destinasi wisata tidak semata-mata hanya mengejar keuntungan dari sisi ekonomi.
Untuk mewujudkan itu semua, kita semua berperan untuk menjaga warisan cagar budaya ini. Bagaimana caranya?
Pertama, dengan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap setiap warisan leluhur kita, khususnya di Candi Kedulan. Apresiasi paling mudah saat mengunjungi candi ini tentunya adalah dengan menjaga etika saat kita hendak berwisata. Kita mengenalnya dengan kode etik petualang, yakni tidak meninggalkan apapun kecuali jejak kaki, tidak mengambil apapun kecuali gambar, dan tidak membunuh apapun kecuali waktu.
Kedua, dengan memberikan pendidikan atau transfer ilmu terhadap masyarakat luas, khususnya generasi muda. Cara yang paling mudah untuk menyampaikan pengetahuan sejarah adalah melalui teknik interpretasi.
Interpretasi dapat dilakukan hampir di mana saja, baik itu on-site (di dalam situs) maupun off-site (di luar situs). Kita dapat memulainya dengan cara mewartakan potensi dan sejarah Candi Kedulan melalui media cetak seperti surat kabar, selebaran, poster, atau seperti yang sedang saya tuliskan, yakni blog.
Di masa modern, belajar sejarah tidak hanya melulu dari buku, tetapi juga mengunjungi lokasi tempat kisah sejarah itu pernah berlangsung. Dengan mempelajari proses historis di Candi Kedulan, kita akan paham mengapa cagar budaya harus dijaga kelestariannya.
Dan ketiga, mengawasi pembangunan kawasan dengan memperhatikan kekhasan cagar budaya. Sebuah kawasan yang telah menjadi destinasi wisata tentunya sangat menggiurkan. Akibat banyaknya kepentingan yang menempatkan bisnis sebagai prioritasnya, fungsi pelestarian bisa saja terabaikan.
Merubah, menambahi, membiarkan rusak, atau mengalihfungsikan bisa saja terjadi. Padahal, inti dari wisata sejarah adalah membawa wisatawan ke masa lalu, cara yang paling mudah adalah melalui visual. Tidak hanya berlaku pada situs sejarah/ candi, melainkan juga bangunan-bangunan cagar budaya yang tersebar di kota-kota Indonesia.
Semakin dilestarikan, semakin menyejahterakan
Guna melindungi cagar budaya, ada peraturan yang tertera jelas di dalam Undang Undang RI No 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Peraturan ini mengamanatkan tentang perlunya langkah pelestarian cagar budaya. Hal ini mencakup beberapa aspek, di antaranya adalah perlindungan, pengembangan, serta pemanfaatan untuk kepentingan masyarakat.
Masyarakat lokal pada hakikatnya memiliki konsep pelestarian yang cukup efektif sehingga membantu pemerintah dalam pengelolaan cagar budaya. Untuk itu, pengelolaan sumber daya cagar budaya haruslah memberi ruang kepada masyarakat agar mereka mau berperan di dalam pemeliharaan serta pemanfaatan.
Seperti contoh yang dilakukan oleh masyarakat di lingkar Candi Borobudur, Kabupaten Magelang. Berapa banyak yang kemudian terbantu perekonomiannya akibat usaha kecil seperti warung makan, parkir motor, Balai Ekonomi Desa (Balkondes), dan penginapan/homestay?
Contoh lain adalah Candi Sojiwan, Kabupaten Klaten. Atas peran serta masyarakat dan dukungan dari pemerintah, hampir setiap tahunnya menyelenggarakan Festival Gerobak Sapi. Di luar perputaran uang yang didapatnya, festival ini terbukti mampu menyelamatkan kearifan lokal dan budaya yang hampir terlupakan, termasuk salah satunya adalah keberadaan dan sejarah Candi Sojiwan.
Dalam pemanfaatannya sebagai destinasi wisata, pelestarian menjadi salah satu kunci dari keberhasilan pembangunan cagar budaya indonesia. Untuk itu, diperlukan semangat melestarikan agar potensi dan keberadaan Candi Kedulan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sekali lagi, mari bersama kita merawat Candi Kedulan dan cagar budaya di Indonesia dengan semangat pelestarian!
****
Bagi kamu yang ingin berpartisipasi, ayo ikut mewartakan Cagar Budaya Indonesia di daerahmu melalui kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!
banyak wawasan menarik ketika membaca tulisanmu, Hannif 🙂
Terima kasih Koh Deddy. Sama seperti tulisannya Koh Deddy kok, yang langganan menang lomba juga, hehe. Artikelmu yang Kapitan juga cakep, kok.
Aku setelah tahun 2013 ke sini terus belum ke sini lagi. Lihat postingan teman yang suka candi, dia sudah foto di depannya. Kalau sudah jadi benaran bakal bagus buat destinasi pesepeda. Biasanya mereka langsung ke plaosan atau sambisari. Jarang ke Kedulan, malah sebagian juga belum tahu keberadaannya.
iki cerak omahku mas. mampir wae. iso entuk banyak candi. Kedulan, kadisoka, sama ada monumen plataran