Menurut Pariwisata Inti Rakyat (PIR), yang dimaksud dengan Desa Wisata adalah suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan, seperti misalnya atraksi, akomodasi, makanan minuman, dan kebutuhan wisata lainnya.
Sedangkan, Iskeep (1991 via Hadiwijono, 2012:68-69) mendefinisikan pariwisata pedesaaan sebagai berikut :
“Where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the local environment (Bentuk pariwisata dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal di dalam atau di dekat suasana tradisional, sering desa-desa terpencil dan sekaligus mempelajari kehidupan desa maupun lingkungan setempat).
Pengertian lain juga dikemukakan Nuryanti (1992 via Hadiwijono, 2012:68), mendefinisikan pariwisata pedesaan sebagai bentuk intergrasi antara atraksi, akomodasi, dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai kajian dan catatan refleksi tentang Penguatan Kapasitas Teknis Pengelola Desa Wisata (Studi Kasus Pulesari). Lewat tagline “Desa Wisata Alam dan Budaya Tradisi”, Desa Wisata Pulesari adalah salah satu contoh yang diambil dalam memperlihatkan betapa pentingnya penguatan kapasitas teknis bagi pengelola desa wisata. Kondisi ini disadari mengingat persoalan kapasitas SDM secara umum di desa wisata dan masalah manajemen pengelolaan desa wisata lebih khususnya selalu dijadikan alasan saat mendapatkan mandulnya usaha-usaha yang dijalankan oleh desa wisata pada umumnya, baik di Kabupaten Sleman, maupun di DIY.
Desa Wisata Pulesari (Dewi Pule) adalah sebuah dusun di lereng Merapi yang berlokasi di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, DIY. Catatan prestasi terakhir pada Desember 2014 yang menggembirakan adalah ditetapkannya Desa Wisata Pulesari sebagai juara I Desa Wisata kategori Tumbuh Berkembang versi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman. Di hari ulang tahunnya yang ke 2, pada bulan November 2014, kunjungan wisatawan di Pulesari sudah tembus hingga angka 29.000 setelah setahun sebelumnya hanya mampu meraih sekitar 9000 pengunjung. Dua buah prestasi yang patut diacungi jempol dan diberikan apresiasi atas jerih payah usaha komunitas yang dijalankan berlandaskan semangat kegotongroyongan untuk menghidupkan tradisi salah satunya dengan pariwisata.
Desa Wisata adalah sebuah entitas bisnis baru bagi masyarakat pedesaan yang umumnya kaum petani dan tidak mengenal dasar-dasar pariwisata. Proses keberanian mendeklarasikan diri, seperti halnya Desa Wisata Pulesari ini tentunya janganlah semata bermodal nekat dan latah seperti halnya tetangga desa lainnya yang sudah menjadi desa wisata.
Upaya yang ditempuhnya ini haruslah disadari memerlukan proses panjang dan didukung dengan keteguhan, kegigihan, dan ketagapan segenap masyarakat. Desa wisata tidak hanya hidup dan berkembang di tangan seseorang tokoh semata (one man show). Untuk itu proses belajar, tumbuh, dan berkembang secara kolektif terus patut dilestarikan untuk dikedepankan.
Modal sosial (social capital) sebagai aset awal yang paling mendasar telah dimiliki dan disepakati masyarakat pada awal pembentukannya. Mereka berharap dapat tumbuh dan berkembang dengan cara menghidupkan tradisi budaya mereka. Masyarakat menjadikan kebudayaan, dalam hal ini seni tradisi sebagai basis pengembangan dan diarahkan sebagai modal budaya (cultural capital) yang akan menjadi ciri khusus/karakter serta memberikan watak bagi Desa Wisata Pulesari. Hal inilah yang akan menjadi pembeda dengan desa wisata lainnya.
Peningkatan pengetahuan khususnya bidang kepariwisataan, aspek manajerial serta perencanaan even sangatlah penting diberikan sekaligus dipahamkan bagi pengurus beserta segenap masyarakat desa, khususnya desa yang lebih sering digunakan sebagai ajang atau tempat kegiatan. Intervensi di bidang wawasan khususnya aspek kepariwisataan serta tata kelola patut diberikan agar kesiapan masyarakat sebagai penyelenggara dan tuan rumah yang baik selalu ditingkatkan. Pemberian kualitas pelayanan bagi tamu patut untuk ditingkatkan, termasuk juga pengelolaan, transparasi, dan konsistensi dalam menjalankan AD/ART yang sudah disepakati bersama.
Peningkatan kapasitas sekaligus keterampilan patut diberikan oleh berbagai pihak terkait dan dapat saling bersinergi dalam meningkatkan kapasitas teknis pengelola desa wisata. Kapasitas teknis yang dimaksudkan di sini merupakan kemampuan dasar yang patut dipahami dan dipraktekkan langsung oleh masing-masing individu di dalam sebuah usaha tertentu (desa wisata) agar mampu menjalankan usaha pariwisata secara berkelanjutan.
“Desa wisata bukanlah hotel, bukan pondok wisata. Desa wisata belum siap menjalankan model pengelolaan yang secara lugas dan rigit. Pola paguyuban dan kolektivitas masih sangat dominan di masyarakat. Memutuskan serupiah pun pasti memerlukan kesepakatan bersama dan memerlukan waktu yang lama. Sebuah konflik pasti ada, namun cenderung untuk dihindari. Meski demikian perlu diajarkan sejak dini resiko-resiko dalam pengelolaan desa wisata. Belajar menjadi dewasa, arif, dan bijaksana lewat desa wisata”.
Ditulis oleh : Destha Titi Raharjana
Daftar Pustaka
Hadiwijoyo, Surya Sakti. 2012. Perencanaan Pariwisata Pedesaan Berbasis Masyarakat (Sebuah Pendekatan Konsep). Yogyakarta: Grha Ilmu.
Tulisannya sangat menarik sekali dan mudah inspiratif, saya juga mempunyai tulisan yang berkaitan dengan explore indonesia, klik Disini 😀 😀 Happy Sharing 😀