
******
“Kamu belum mendapatkan cerita?” tanya Wawan sembari mengemas kembali pesawat nirawak (drone) yang telah berhasil mendarat di puncak Kelimutu.
“Belum,” saya menjawab tanpa semangat.
Sudah lebih tiga tahun kami kerja satu tim. Wawan, sebagai tenaga ahli pemetaan dan perencanaan wilayah, paham betul gaya perjalanan beserta karakter menulis saya. Selain harus menuliskan laporan penelitian lapangan, saya terbiasa membuat target untuk bisa menuliskan catatan perjalanan. Seperti kakak yang mengasuh adiknya. Ia pun akhirnya bisa memaklumi dan berusaha menghibur saya.
Lewat dua malam, saya belum saja mendapatkan ide untuk bisa dituliskan. Kami berdua telah melewati keindahan Gunung Kelimutu beserta danau tiga warnanya tanpa ditemani pemandu yang bisa bercerita. Juru mudi kami –Andi– memilih membisu sepanjang jalan.
Mujur sekali, ada Alouisius Ngaga (32 tahun), pemuda penggerak desa yang kami sebut juga sebagai penggerak pariwisata. Dalam kondisi istri yang baru saja melahirkan, Louis datang menemui kami di penginapan. Ia baru saja menjadi seorang ayah yang sedang gembira menyambut kelahiran anak keduanya. Saya bisa membaca perasaannya melalui foto profil akun whatsapp-nya. Ia berkali-kali meminta maaf. Dua hari pertama kami di sini, Louis tak bisa menemani karena sedang gawat-gawatnya menjadi suami siaga.
Lawatan kami sebenarnya tak jauh dari Gunung Kelimutu, utamanya daerah Moni. Udara dingin pedesaan lingkar Gunung Kelimutu pagi itu memberi gairah yang pas untuk memulai perjalanan. Samar dari kejauhan, terdengar keriangan anak-anak lengkap mengenakan pakaian sekolahnya. Pemandangan ini selalu saya jumpai setiap pagi di Moni.
Meski matahari sudah naik cukup tinggi, panasnya tak bisa mengudar dinginnya Moni. Saya mampir untuk menggali informasi seputar Kelimutu di Pusat Informasi Pariwisata (TIC) yang berlokasi di Moni. Dari cerita petugas jaga, saya mendapatkan banyak informasi tentang kampung adat di sana.


Kampung Adat Pemo
Datang ke Kampung Adat Pemo, tak lengkap jika tak membahas tenun ikatnya. Bertemulah saya dengan Mama Sofia Mu (57 tahun), penjaga dan pewaris tenun ikat Pemo. Entah kenapa, saya selalu tertarik dengan proses pembuatan tenun. Terlebih lagi, yang masih sanggup menekuninya adalah mereka yang telah berusia senja.
Dibuat dengan penuh kehati-hatian dan kesabaran, Lawo (kain tenun ikat berupa sarung) buatan Mama Sofia dibandrol dengan harga jutaan rupiah. Udara dingin Kelimutu adalah tantangan bagi para mama untuk bisa membuat Lawo tak hanya cantik dipandang, namun juga hangat saat dikenakan. Maka jangan heran, jika berkeliling di kawasan Kelimutu, para mama akan mengenakan Lawo saat beraktivitas.
Bahkan saya pun sempat bertanya pada Louis. “Apakah tidak sayang kain tenun mahal dan bagus dipakai ke pasar?” Itulah budaya masyarakat lingkar Kelimutu. Selain dipandang sebagai pakaian, tenun adalah identitas sosial bagi para penggunanya.


Kampung Adat Woloara
Lawatan kedua kami adalah Kampung Adat Woloara. Dalam tatanan kehidupan, masyarakat Suku Ende Lio dikenal sebagai masyarakat yang dikelilingi banyak simbol. Tidak hanya tertuang dalam motif tenun buatan para mama saja. Simbol-simbol berupa benda dapat disaksikan langsung di dalam maupun pekarangan rumah mereka.
Di sebuah tempat yang cukup sunyi, berdiri rumah sederhana dengan atap rapak yang dikelilingi beberapa pohon beringin. Di sekitarnya, terdapat batu-batu lonjong yang tertata rapi namun beda tinggi. Awalnya, saya mengira batu yang berdiri tegak itu adalah nisan dari makam leluhur. Arsitekturnya begitu teratur dan berkarakter.
Batu-batu lonjong, atau yang disebut dengan Tupu Mbusu adalah tiang dari Sa’o Keda (rumah musyawarah para masyarakat adat). Sa’o Keda akan dibangun lebih tinggi dibanding sa’o (rumah)/ pemukiman lainnya karena dianggap sakral oleh masyarakat. Rumah panggung ini dibangun melingkar mengitari Tubu Kanga, sebuah pelataran yang paling tinggi yang biasa digunakan sebagai tempat digelarnya ritual adat.

“Berapa umur batu ini?” saya sengaja menepi dari kerumunan orang untuk menggali lebih dalam sisi menarik Kampung Adat Woloara.
“Ah. Sudah tua sekali. Sejak nenek moyang. Batu ini kalau diinjak, bisa gatal-gatal. Mas bisa mencoba kalau tidak percaya,” jelas Louis.
Pertalian Louis dengan adat budaya masyarakat Ende Lio tampak cukup kuat lantaran Woloara adalah kampung halamannya. Kami tak bisa bercerita banyak. Louis kembali mengajak saya berpindah tempat.


Ruang Riang Rahasia
Laju mobil yang kami tumpangi melambat dan mulai merapat ke tepi jalan. Seluas mata melepas pandang, hanya hamparan sawah yang terlihat di seberang. Sepintas, tak ada yang spesial dari pemandangan sisa padi yang sudah mengering dan gersang -tanda bahwa baru saja dipanen.
Tapi siapa sangka. Di sinilah tempat bermain para pelajar selepas pulang dari sekolah. Hanya dengan menanggalkan seragam putihnya, mereka menenggelamkan seluruh badan ke dalam kolam air hangat alami yang hanya berdiameter sepuluh langkah kaki saja.
Ruang terbuka hijau ini berada di Desa Waturaka. Bagi mereka, tentu tempat ini telah menjadi ruang riang rahasia yang sudah terhitung mewah. Sembari bercengkrama dengan kawan akrab, kolam hangat alami sukses memberi jeda untuk bisa bersantai sejenak.


Kampung Adat Koanara
Lawatan kami selanjutnya adalah Kampung Adat Koanara. Berada tak jauh dari jalan raya utama Moni, Koanara terhitung sebagai kampung adat yang ramai. Di seberangnya berdiri pasar tradisional tempat bertemunya penjual dan pembeli pangan sehari-hari.
Saya pun terus berjalan menuju desa inti. Sama halnya dengan kampung adat lainnya. Di Koanara, saya banyak menjumpai ‘tanda’ seperti Tupu Mbusu (batu lonjong), Sa’o Keda (rumah musyawarah masyarakat adat), Kanga (area lingkaran), bahkan yang menarik adalah Sa’o Bhaku, tempat menyimpang tulang belulang nenek moyang.

“Bapak, bolehkah saya masuk Sa’o?” saya meminta ijin pada ketua adat Desa Koanara yang berjaga.
Antonius Bena (66 tahun), menuntun saya masuk Sa’o Ria (rumah besar). Berbentuk rumah panggung dengan dinding dan alas kayu yang cukup tua, Sa’o Ria hanya memiliki beberapa ruang saja.
Bulu kuduk saya berdiri tiba-tiba. Bukan karena takut. Melainkan rasa takzim pada rumah tua yang menurut saya menyimpan aura sakral. Di depan pintu masuknya turut dijaga si Boi, anjing peliharaan keluarga dan tengkorak kepala kerbau tinggalan leluhur.

Tak hanya itu. Antonius Bena mengijinkan saya melihat beberapa perlengkapan ritual adat yang konon telah berumur lebih dari lima abad. Seperti niru, olateo, tanduk rusa, juga tempat air yang digunakan saat upacara musim kering di kampungnya.
Itulah simbol-simbol leluhur yang saya temui di kampung adat sekitar Moni. Bahkan masyarakat percaya, danau tiga warna pada puncak Gunung Kelimutu telah dijaga oleh arwah leluhur mereka. Pada danau yang berwarna hijau gelap dengan nama lokal Tiwu Nula Ata Polo, dihuni oleh kumpulan roh jahat. Danau berwarna hijau muda gradasi tosca bernama lokal Tiwu Koo Fai Nuwa Muri, dihuni roh orang muda. Dan danau yang berwarna hijau tua dengan nama lokal Tiwu Ata Mbupu, dihuni roh para orang tua.

Louis memang tak menguasai persoalan arkeologi. Tapi darinya, saya mendapati cerita yang berhasil mengundang rasa penasaran saya untuk datang beberapa kali lagi. Setidaknya, ia menyumbang cerita yang menjadikan perjalanan ke Ende kemarin cukup berkualitas.
Baca juga : Menyelamatkan Warisan Peradaban Candi Kedulan

Joss pak Presiden
Sebagian orang ke Kelimutu mengulas tentang keindahan Kelimutu, acapkali terlupa dengan penduduk sekitar. Interaksi dengan warga dan suasana kampungnya.
cah deswita banget ki
Lha kapan @Nasirullah Sitam ke Ende? Sini sini ke Ende 😀
Akhirnya keluar juga tulisan ini, cerita yang diinginkan sejak tugas keluar pulau. Sangat menarik kehidupan di lingkar Kelimutu, yang selama ini lebih mendominasi karena gunungnya.
yoi mas. bahkan sempat terpikirkan, untuk datang lagi dan menginap di salah satu Sa’o supaya bisa benar-benar meresapi kehidupan bersama mereka
Betul kata Mas Nasirul, orang kalau main ke Kelimutu mungkin akan menuliskan soal Gunung Kelimutu dan Danau Tiga Warnanya. Namun kamu malah menuliskan sekitarnya. Sudut pandang yang menarik.
Nasirul 😀 wkwkw.
Terimakasih, lur. Semoga terinspirasi
Waktu ke Kelikutu, saya tidak sempat main ke desa yg berada di sekitarnya. Nanti, kalau ada kesempatan main ke daerah Kelimutu lagi, saya jadi tahu mau kemana saja selain menikmati keindahan danau tiga warnanya.
Terima kasih mas sudah berbagi
ini cuma sekitar Moni kok. Jadi sangat terjangkau sekali. Ga berjauhan juga.
Sama-sama Mas Darius. Semoga bermanfaat ya
Duh kalau Lawo ikutan jadi produknya DE koleksyen kira-kira customernya kuat beli nggak tuh? wkwk
Oh ya, di kampung adat Pemo, Woloara, atau pun Koanara, Hanif sempat mencicipi kuliner di sanakah? penasaran oiii sama kuliner masakan warganya.
Aku lebih sukaaa kampung-kampung adat yang belum terlalu komersil. Hehe. Bener-bener belajar dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Ramah-ramah yaaa kayanya :))
aku di Moni kesulitan cari makan Mba. semuanya cafe2 untuk bule gitu. haha.
harga untuk syal aja 150rb. wkwk. muahal yak.
Wah sungguh kaya adat istiadat yg maaih dipegang teguh orang-orang disana. Bukan hanya danaunya saja yang indah. Tapi cerita orang-orang nya pun menarik disimak. Kain Mama nya bagus banget ya
Iya mas. beruntung saya bisa ke sini.
cerita perjalanan presidenku keliling nusantara dan bertemu langsung warga-warga lokal selalu menarik
terimakasih rakyatku. semoga dengan ini saya bisa semakin dekat dengan rakyat
Jarang bangat yg bahas aktivitas warga sekitar dan budayanya gitu. Keren bangat
Terimakasih banyak
Ini nih yang bikin saya selalu cinta dengan Indonesia. Banyak banget pemandangan indah. Saya suka dengan foto yang ada anak-anaknya. Berharap mereka akan selalu menjaga tradisi dan keindahan alam di daerahnya
Aamiin. Terimakasih banyak
Danau kalimutu pemandangan.nya sangat indah ,Nice artikel
maturnuwun
Hwaaaah ke Ende kenapa tidak kabar-kabari? Eh iya, belum kenal hahaha. Pemo merupakan salah satu desa adat penyangga wisata di Danau Kelimutu, terdekat dengan lokasi danau. Kapan-kapan kalau ke Ende kabari ya 🙂 siapa tahu bisa kopdar.
Halo mba. Iya. Pemo itu adalah desa penyangganya.
Oktober ini ke Ende lagi kok. Kita bisa berjumpa di Moni
Dan kita tidak berjumpa -_- hehe t
Lain waktu yaa
wah keren,, mampu menelusuri sisi lain di sekitar kelimutu, tak melulu danaunya.. aku ke kelimutu tahun 2011 dan tak sempat menggali lebih jauh wilayah sekitarnya..
-Traveler Paruh Waktu
balik lagi ke sini Mas. hehe