Sayup-sayup dari kejauhan, saat kaki-kaki kami melangkah pulang, terdengar suara bangga dari Abner Tindi sebagai putra daerah Talaud, “Bibir pasifikku ini, memang menggoda”.
******
Seekor elang terbang tinggi di atas langit Pulau Kabaruan. Indah mengepakkan sayapnya mengikuti tiupan angin yang sepoi. Elang bagi Abner Tindi akan terbang membawa doa yang kita inginkan. Kepulauan Talaud memang belum memikat banyak turis domestik dan mancanegara. Nama Talaud yang biasa kita dengar dari jingle mi instan ini ternyata punya banyak keunikan. Pun saya, yang berkesempatan mendulang pengalaman selama sepekan tak mau melewatkan tempat-tempat menarik di sana.

Kini Talaud berikhtiar menjaring banyak turis. Dalam masa kepemimpinan bupati muda, Sri Wahyuni Maria Manalip, industri pariwisata sedang disiapkan. Pada 2016, datang Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti dalam acara festival tahunan tangkap ikan tradisional, Festival Mane’e. Jokowi pun sempat bertandang ke Talaud. Tak mau sia-siakan peluang, pariwisata Talaud ingin segera diperkenalkan supaya lekas mendatangkan wisatawan.
Pelabuhan sesak banyak orang. Sepagi itu, banyak yang tengah berebut duduk di kapal penumpang. Di antara padatnya hilir mudik orang yang ingin bepergian, datang perahu nelayan yang memuat banyak hasil tangkapan. Ditiupnya terompet dari rumah siput yang telah diberi lubang.
“Tut…Tut…Tut…”. Mendengar suara ini, para ibu rumah tangga segera berdatangan. Terjadilah jual beli di sana. Ikan dibandrol dengan harga sangat murah.


Kami terlebih dulu mengetuk pintu kantor kecamatan. Tengah duduh seorang bapak yang kebingungan melihat tiga orang asing yang datang tanpa membuat janji. Ia pun mempersilakan kami masuk ke ruangan kecilnya. Sumringah wajahnya ketika mendengar maksud kedatangan kami untuk bertualang di Pulau Kabaruan. Untuk berkeliling daratan Pulau Kabaruan umumnya hanya ada satu transportasi saja. Untungnya, masih ada jasa sewa mobil di sini.
Pantai Pasir Putih Mangaran
Juru mudi kami tak pernah bisa diam. Pada orang yang baru dikenal, ia banyak menuturkan kisah perjalanan hidupnya. Mobilnya yang soak dibawa menerjang jalanan rusak berbatu sesukanya. Suaranya lebih keras dibanding klakson mobilnya ketika menyapa orang-orang yang dijumpainya. Jarang-jarang, mobil tuanya laku disewa wisatawan.
Sembari menghisap rokoknya, sesekali diselipkan cerita humor yang membuat seisi mobil terbahak. Suasana yang harusnya penuh adrenalin, seketika berubah menjadi lunak. Sekali bercerita, tak ada titik koma. Tak terasa, destinasi pertama sudah di depan mata. Pantai Pasir Putih Mangaran.
Pantai pasir putih ini disinari matahari pagi yang menyengat. Selagi menunggu Wijaya menggali informasi, saya mengagumi hamparan pasir yang putih bersih.


Mobil kembali diajak bertualang. Mobil melewati banyak kubangan besar yang digenangi air. Kami terbanting-banting dalam Kijang keluaran 90-an. Mobil tanpa penyujuk udara ini seperti tak pernah dirawat. Lagipula, dengan transportasi apa lagi kami bertualang? Hanya mobil tua ini satu-satunya. Selama kami tak protes soal caranya mengemudi, ia masih aman. Kami akhirnya terbiasa. Pada basa-basinya yang mencoba akrab menjamu tamunya.
Para anak berseragam merah putih baru saja keluar dari ruang kelasnya. Saya turun dan menyapa mereka. Seperti biasa. Saya bertanya tentang lima sila dalam lambang negara kita, Pancasila. Dengan riang, mereka menjawab semangat. Berfoto bersama mereka adalah cara asik mendokumentasikan keriangan kami di sana.

Gua Arandangan
Dalam waktu setengah hari, juru mudi kami memastikan dapat menjangkau banyak destinasi. Dibawalah kami menuju Gua Arandangan. Mobil menerobos masuk hutan. Tak ada jalan beraspal. Hanya semak belukar dan jalanan setapak para nelayan yang menjala ikan. Mobil tua ini dibawanya tanpa perasaan. Pintunya yang berkarat mengeluarkan bunyi besi batangan kecil yang seakan ingin lari dari pemiliknya.
Terletak di Desa Damau, Gua Arandangan punya aura tempat wisata yang tak biasa. Berhadapan langsung dengan karang dan laut lepas, ombak bergulung menghantam tebing curam membuat tanah yang saya pijak bergetar. Saya larut dan hanyut pada suasana mistis yang membalut cerita Arandangan. Tapi seramnya Gua Arandangan itu justru menghadirkan keingintahuan. Seperti biasa, Jun Atang bertutur tentang sejarahnya. Ia menggali ingatannya yang pernah dilakoni sebelum dilantik menjadi seorang pegawai plat merah.
Baca juga : Dari Kokorotan Hingga Kabaruan, Tapak Tilas Para Raja Talaud

Berjejer di sana, puluhan tengkorak yang baunya tak lagi menyengat. Sebagaimana Talaud dengan mayoritas penduduk beragama Katolik, Gua Arandangan menjadi saksi jejak para misionaris. Jika tak salah mencatat, pada 1534 datanglah Portugis ke Indonesia dalam ekspedisi rempahnya. Dalam rombongan tersebut, beberapa di antaranya datang membawa misi penyebaran agama. Santo Fransiscus Xaverius (Portugis), Santo Mariono (Belanda), dan Santo Vlantein (Spanyol), berkelana sepanjang Pulau Kabaruan sebagai penyebar agama Katolik.
Suasana angker menggerayangi seluruh bulu di tangan. Saya memaksa diri untuk masuk ke dalamnya. Jun berpesan, agar tak menyentuh apa yang ada di dalam gua. Tentu, sebagai tamu, saya akan bersikap sopan.

Puluhan tengkorak yang berjejer, adalah tulang belulang dari para bangsawan di Desa Damau, Pulau Kabaruan. Sementara bagi mereka yang bukan bangsawan, dikuburkan seperti biasa. Sebagai tempat makam yang cukup sakral, dibangunlah tugu peringatan yang warna catnya telah pudar dimakan usia. Tugu Peringatan Ngelloremma dibangun pada 21 Juli 1978. Hanya tulisan itu yang akan memandu wisatawan membaca sejarah para nenek moyang. Xaverius menghembuskan napas terakhirnya pada 1552. Sementara dua rekannya, Mariono dan Vlatein ikut disemayamkan di dalam gua ini.
Gereja Santo Fransiscus Xaferius
Tak jauh dari Gua Arandangan, terdapat bangunan tua yang tak lagi difungsikan. Rumah tua itu memang disusun dari kayu-kayu hutan. Terkesan seram. Tapi umurnya penuh riwayat yang tak boleh saya lewatkan. Seperti membaca buku kusam yang telah habis dimakan rayap. Tanpa narasumber yang pas, tentu tafsir saya tentang bangunan tua ini menjadi sempit. Rumah tua inilah, yang digunakan Fransiscus Xaverius mengumpulkan umatnya dengan penuh kasih, kemudian berseru untuk memeluk agama Katolik.

Air Terjun Pannulan
Meninggalkan Gua Arandangan, saya kembali menumpangi mobil tua yang dipaksa melahap medan berat. Setelah tidak kurang dari satu jam perjalanan di atas jok mobil yang keras, sampailah saya pada destinasi terakhir, Air Terjun Pangeran, atau dikenal juga Air Terjun Pannulan.
Saya meniti perjalanan menyusuri sungai yang gemericik. Ditemani warga lokal, saya dipandu cukup hati-hati melompati bebatuan besar. Ada rasa bangga manakala melihat sebuah tugu yang bertuliskan SM3T. Program dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang mengirim putra-putri terbaiknya untuk mengabdi di pelosok negeri.
Rasa salut saya pada para pendidik muda, yang menempuh jalanan panjang dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Melihat perjuangan mereka sampai pada tempat jauh ini, membuat langkah kaki saya semakin kuat. Ada semangat yang kemudian membakar api petualang.

Saya dikepung oleh suara serangga hutan. Kadang, saya harus menenggelamkan kaki setinggi lutut di anak Sungai Desa Pannulan. Kemudian berjalan meraba batu pijakan yang dirasa kasar. Bagaimana jika saya merentangkan kedua tangan? Menjaga keseimbangan seperti sayap burung elang pagi tadi.
Rintangan telah berlalu. Hilang sudah hutan dengan sungai yang jarang terjamah. Dengan takjub, kami berempat sontak berteriak menyaksikan dua air terjun kembar yang perawan. Pannulan, adalah tempat perhentian empat petualang yang sedari tadi mengeluh panas, lapar, dan haus.
Air Terjun Pannulan telah menjadi tempat kami berpesta. Bekal makan siang yang dibeli di pusat kota masih lezat disantap. Ikan sambal masakan para Mama Talaud memang punya rasa yang berselera. Disantap dengan peluh yang membanjiri wajah dan ketiak, nasi dua porsi bekal para Mama masih terasa kurang.
Baca juga : Pulau Sara, Pesona Kepulauan Talaud di Bibir Pasifik



Kepulauan Talaud dasarnya punya banyak potensi untuk mendatangkan turis. Saya justru menemukan mutiara indah yang memang belum banyak dijual. Sementara itu, sayup-sayup dari kejauhan, saat kaki-kaki kami melangkah pulang, terdengar suara bangga dari Abner Tindi sebagai putra daerah, “Bibir pasifikku ini, memang menggoda”.
Baca juga : Mengejar Superman’s Big Sister
Cara menuju Pulau Kabaruan, Kepulauan Talaud
- Penerbangan menuju Bandar Udara Melonguane, Kepulauan Talaud (penerbangan hanya sekali dari sehari)
- Menuju Pelabuhan Melonguane (sekitar 10 menit dari Bandar Udara) menggunakan Becak Motor, Rp 10.000,00-Rp 20.000,00.
- Dari Pelabuhan Melonguane menggunakan speed boat menuju Pulau Kabaruan. Biaya Rp 300.000,00 – Rp 400.000,00 (pulang pergi). Waktu tempuh 30 menit.
- Jika membutuhkan pemandu, Anda dapat menghubungi Jun Atang (081355671566).
Duh itu pantainya biru banget. Indah ^_^
Iya Mba. Tapi pas panas banget. G sempet keceh main air
Bukan pesimis tapi mungkin agak sedikit atau bahkan banyak terengah-engah untuk Talaud dapat menjala turis. Yah kita sadar kalau transportasi ke sana pun terbatas.
Btw apa di sana ada bangunan tua ala Eropa? Secara pernah didatangi misionaris Portugis. Minimal kuburan dengan batu-batu besar dengan pahatan berbahasa portugis atau latin dan emblem-emblem kerajaan gitu?
haha. gitu dong. tanpa jetpack gitu2 kamu komen.
Iya. Besok kalau Talaud sudah punyaku, aku undang kamu buat review semuanya ya.
Kalau bangunan secara gedung2 mewah kaya di Jawa ga ada mas. Adanya lebih ke persenjataan, benteng, dan kapal2 perang.
Manuskrip dari Portugis dan Belanda banyak. Karena dulunya kawasan Talaud banyak kerajaan, yang lebih berbekas fisiknya adalah bangunan peninggalan kerajaan.
Masih kelanjutan talaud yg kemarin y mas. Itu tengkorang manusia lah y mas. Trus unik sekali cara memanggil pembeli ikan. Kece deh mas
Iya betul mas. tengkorak para bangsawan di sana.
Memang banyak keunikan di Talaud ini mas
Sebenarnya kalau mengunjungi Talaut nggak cuma bisa ngangkat pantainya sih. Bisa juga mengangkat sejarahnya, dan bagaimana budayanya pada jaman dulu.
Eh itu yang dipakai buat manggil penjual ikan apa namanya? Hahhahaha
Benar sekali.
terompet siput mas. G tahu nama lokalnya. haha
Bikin penasaran! Peninggalan Portugis itu tempatnya boleh dikata “ajaib” ya. Di saat sekarang mungkin bukanlah kota besar apalagi ibukota namun ternyata sisa-sisa misionari pionir dari Eropa itu justru ada di pulau-pulau yang terluar nan terpencil, untuk ukuran kita sekarang. Pulau ini menarik, dan saya berpikiran mungkin gaya hidup serta kebiasaan mereka ada yang masih bertahan dari ratusan tahun lampau. Itu menjadikan pulau ini bagai etalase Nusantara masa lampau. Sumpah baca postingan ini bikin sendu gimana gitu Mas, saya berasa ikut perjalanannya.
makasih Mas Gara sudah berkenan mampir.
Benar. Saya jg menemukan dermaga yang dibuat Portugis di sini mas. Dermaga masih menggunakan batu2 karang pantai. Tapi peninggalan berupa bangunan fisik justru tidak banyak. Karena mungkin salah satunya, Talaud saat itu dipimpin kerajaan besar. Adanya lebih ke persenjataan perang dan manuskrip pengangkatan raja menjadi camat/ kepala distrik.
Nah, kalau soal kearifan lokal, itu ada di tulisan yg belum saya posting mas. Tentang aliran kepercayaan.
Haha. tulisan mas Gara jauh lebih mengalir. Saya selalu baca sampai habis dan mesti berakhir dengan gelem2 (kagum)
Wah, menarik. Saya ingin melihat manuskrip-manuskrip itu. Pasti banyak informasi tentang masa lalu yang bisa kita tarik dari sana, seperti kondisi masyarakat dan tata pemerintahan.
Sip, ditunggu tulisan soal aliran kepercayaan masyarakat sana, Mas.
Iya, Mas. Sudah saya tulis, tapi belum begitu dalam. Masih rangkuman perjalanan yang bisa dibaca di https://insanwisata.com/dari-kokorotan-hingga-kabaruan-tapak-tilas-para-raja-talaud/
Monggo berkenan bisa dinikmati. hehe. Masih perlu belajar biar nulisnya lebih dalem lagi kaya Mas Gara.
Siap, Mas
Meluncur… hehe.
itu kerangnya bunyi kah di tiup…
iya. kalah suara terompet
benar mas. Ya untuk transpotasi laut rada susah. kalau udara, penerbangan sehari sekali. hehe.
Eh buset itu yg naik kapal banyak amat, kelebihan muatan kan ??? ngeri2 karam gw liat nya
Haha. Lha gimana ya, moda transportasi satu2nya e om
Tulisam yang sangat indah mas tentang potret talaud, sebuah surga bahari juga wisata historis penuh mistis di papua sana ya
Btw ulasan goa tempat makam bangsawannya cukup menarik tuh, lantas dulunya saat jenazah masih segar apakah diletakkan begitu saja apa nunggu jadi tulang belulang baru ditata seperti itu ya mas?
Bagian kulinernya nda sekalian ditulis hehe
Terimakasih banyak Mba Nita. Mohon masukannya karena saya masih belajar menulis, Mba.
Nah, ada versi yang menyebutkan, ini dibungkus. Ada juga yang menyebutkan, hanya kepala saja (kalau di Goa Totom Batu, kepala dimasukkan dalam keramik). Begitu menurut orang lokal dan sejarah yg saya baca.
Kulinernya menyusul ya Mba
Masya Allah cakep amat pantainya.. Pasti deh jauh Biasanya nyari suasana kayak gini makin jauh makin bagus ya karena sekarang apa2 dibangun seperti kota. . Tengkoraknya
Iya. Semakin jauh, semakin jarang dijamah. Karena mahal dan moda transportasi yang terbatas.
Asik mas,
kapan kapan di ajak .
tapi jauh banget yak
Wah banyak serpihan surga di Indonesia yang masih asing di telinga, nih. Makasih udah berbagi cerita dan mengenalkan Pulau Kabaruang.
hehe. iya. mari kenalan sama Talaud.
Terimakasih sudah berkenan mampir Mba 🙂
itu cara manggilnya pake kerang gitu? jadi inget cerita di spongebob wkwkwk puja kerang ajaiiiibbb
yes. pakai kerang. jaman spongebob banget
ya ampun itu di sulawesi ternyata yah, kirain tadi agak di malaysia gitu *pelajaran geografinya berapa nih* jauh untuk ke sana ya, tapi destinasi wisatanya unik
hehe. iya Mba. Masih Indonesia ini
Banyak yg belum pernah dengar ya ternyata 😀
Keterbatasan memancing kreativitas. Tak ada toa, cangkang pun jadi, hehehe. Warna biru toskanya menggoda banget!
Aku kira Kep. Talaud didominasi Islam, ternyata Katolik ya. Semoga pariwisatanya maju!
Hha. benar mas. Ini menurutku yang unik. Soalnya cukup pakai cangkang, para ibu penggemar belanja ikan datang berbondong2.
Iya mas. Mayoritas Katolik.
Ekstrim juga ya medan ke Goa Arandangan.. Kalau kesana kudu dengan guide nih apalagi buat cewe.. Dan aku jatuh cinta sama Sara Island.. <3
Salam kenal ya mas..
Makasih ma..:)
Yeay. Sara emang menawaan Mba.
Arandangan medannya g terlalu ekstrim kok. hehe.
Salam kenal
Jadi, Kepulauan Talaud ini udah ramah turis belum ya mas? Apakah sudah ada semacam homestay/hotel begitu?
Keren banget sih dan saya memang pengen traveling ke tempat yang belum terekspos. Makasih utk postingannya 🙂
sudah ada hotel di pusat kotanya Mas, di Melonguane.
Semoga bisa ke sini ya
Amiin, semoga juga pas kesana pariwisatanya semakin bagus ☺
aamiin 😀 aku jadi pengen ke Raja Ampat lagi btw gegara baca postinganmu
Maaf ya kak jadi bikin susah move on lagi dari Raja Ampat hehe
Haha. Raja Ampat memang menggoda iman. Tapi serius, selain alamnya, saya rindu masyarakatnya
Ya bener, mereka orangnya ramah dan apa adanya, paling suka dengar cerita2 lucunya 😀
Haha. MOB papua ya. mas aku balas komen di blogmu agak bingung. Soalnya komennya sejajar semua 🙁
Maksudnya tidak beraturan/acak begitu ya? Makasih sudah diingatkan, saya juga sudah lama ingin mengaturnya supaya lebih teratur.
iya mas. jadi saya bingung, apakah komentar saya sudah dibalas apa belum. Kemudian untuk membalasnya lagi, tambah bingung. hehe
Amiin, makasih infonya ☺
Pantai dan lautnya benar-benar menggiurkan, ya, mas. Potensial banget buat jujukan turis. Ada SM3T pula, coba dulu ditempatkan di sana.
Iya mas.. masih asri.
Lhoh..dulu ikut sm3t jg? Dmana?
di Tarempa, Pulau Siantan, Kep. Natuna, Provinsi Kepri, NKRI mas.
wah. ada artikel2 soal masa pengabdianmu di sana ga Mas? Aku pengen baca
Banyuwangi g kalah kan.. pokoe aku mau eksplor banyuwangi.hehe
Pokoe eksplor, ojok pokoe joget lho.
haha. kalau di sini saya belum pernah liat warga joged sih. kalau di Papua sm Maluku sering
Aku jadi penasaran selengkapnya ttg cerit sejarah2 Talaud di masa dahulu. Itu bangunan gerejanya dibiarkan terbengkalai ya mas? kayak ga di fungsikan lagi
iya. dibiarkan kaya gt 🙁 ga terawat
Kalau mau tau sejarahnya, harus ke Talaud. hehe
Waaaaahhh ini reportase yang cakep Nif… Karena sudah ada di Banda Neira, rasanya aku kepengen menyambangi Kei dan Talaud. Semoga yaaaa semoga….
wah. harus sampai mba. mumpung sudah sampai sana.
aku iri. ahhh
Bangunan tua di dekat gua Arandangan bikin penasaran. Aku sejak nonton film X Men jadi punya cita-cita ingin punya kekuatan super: membaca sejarah benda-benda. Jadi misal berkunjung ke suatu lokasi historis maka aku tinggal menyentuhkan tangan ke artefak, dan akan terbaca semua yang pernah terjadi yang pernah menimpa benda ybs.
Ini saking senangnya sama wisata sejarah, jadi semacam obsessed, hahaha!
*sambil packing buat ke Talaud*
wkwkw. di dunia kita para blogger, baru satu orang yg bisa baca benda sejarah hanya dengan menatap dan menyentuhnya. Yaitu Gara. Entah kenapa, tulisan2nya dalem banget walau mengulas perut sebuat patung.
Kamu terlalu banyak nonton film Kak Badai!
Haha. Yuk cus ah Talaud