Pariwisata tidak bisa disangka lagi sudah menjadi industri terbesar dewasa ini baik dilihat dari jumlah tenaga kerja yang terserap maupun dari jumlah dolar yang dihasilkan. Pertumbuhan pariwisata diramalkan terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2020 jumlah wisatawan internasional akan mencapai lebih dari 1,6 miliyar. Perkembangan pariwisata ini akan membawa dampak ekonomi yang sangat besar, baik bagi pemerintah, kalangan swasta, maupun masyarakat di daerah tujuan wisata (Pitana, 2011:1). Pemerintah di negara berkembang sangat yakin bahwa program-program pengembangan kepariwisataan mempunyai potensi untuk menanggulangi kemiskinan apabila didesain berdasarkan realitas obyektif kehidupan masyarakat miskin dan implementasinya sinergis dengan kondisi perkembangan industri itu sendiri.
Sebagai suatu potensi baru di tengah tren pariwisata modern, pencarian objek wisata yang unik dan beragam mengakibatkan daerah-daerah baru, kawasan pedalaman, atau desa-desa tradisional tidak luput dari sasaran kunjungan wisatawan. Saat ini, desa wisata dipandang menyimpan pesona yang unik dalam bentuk kehidupan sehari-hari di bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Inilah yang menjadi daya tarik bagi sebagian wisatawan yang biasa berhadapan dengan kehidupan modern perkotaan.
Desa wisata memiliki corak pengembangan pariwisata melalui creative tourism dalam hal ini adalah industri ekonomi kreatif. Desa wisata juga terlihat mampu menghasilkan beberapa produk ekonomi kreatif seperti kerajinan tangan, makanan dan minuman, seni pertunjukan, dan arsitektur pedesaan. Menurut Pariwisata Inti Rakyat dalam Hadiwijoyo (2012:68), yang dimaksud dengan Desa Wisata adalah suatu kawasan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian perdesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya atraksi, akomodasi, makanan minuman, dan kebutuhan wisata lainnya.
Ekonomi kreatif telah dikembangkan di berbagai negara dan menampilkan hasil positif yang baik, antara lain berupa penyerapan tenaga kerja, penambahan pendapatan daerah, hingga membentuk citra kawasan. Pencitraan wilayah muncul ketika suatu wilayah menjadi terkenal karena produk kreatif yang dihasilkannya. Hingga saat ini gaung kota kreatif di Indonesia hanya dirasakan di beberapa daerah saja, seperti contoh, Bandung yang saat ini terkenal karena distro dan factory outlet-nya, Yogyakarta dengan pasar Beringharjo dan Malioboronya. Sisanya, dimana gaung ekonomi kreatif itu dapat dirasakan? Padahal, jika dilihat masing-masing daerah memiliki potensi kreativitas yang berbeda-beda yang bisa ‘dijual’.
Konsep pariwisata, sejatinya didefinisikan dengan tiga faktor, diantaranya something to see, something to do, dan something to buy. Dalam ketiga komponen tersebut, ekonomi kreatif menjadi bagian dari something to buy karena pariwisata menghasilkan produk-produk kreatif khas daerah yang dianggap unik dan bernilai prestige. Sebagian anggapan, banyak wisatawan yang menempatkan produk ekonomi kreatif dari destinasi wisata memberikan ‘kenangan’ pada wisatawan sehingga memungkinkan untuk datang kembali.
Pada intinya, hampir sebagian besar daerah di Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor pariwisata. Namun perlu diketahui, ekonomi kreatif tidak hanya berupa produk barang saja. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di bawah kepemimpinan Mari Elka Pangestu (2011-2014) telah mencatat sebanyak 15 jenis ekonomi kreatif, diantaranya adalah musik, fashion, arsitektur, periklanan, pasar barang seni, kerajinan, desain, film/video/fotografi, permainan interaktif, seni pertunjukan, penerbitan dan percetakan, layanan komputer dan piranti lunak, riset dan pengembangan, dan kuliner.
Pengembangan ekonomi kreatif sebagai penggerak sektor wisata memang sangatlah menjajikan. Untuk itu diperlukan aktivasi ekonomi kreatif yang dapat dimulai dari penguatan lokalitas di desa wisata karena sejatinya desa wisata masih menyimpan beragam sisi keunikan dan SDM yang terbilang cukup kreatif. Dibutuhkan konsep One Village One Product (OVOP), dimana setiap desa menonjolkan produk-produk kreatifnya untuk merespon tantangan pariwisata global. Dari kegiatan tersebut, akan terdapat unsur hiburan (entertainment), pemberdayaan, edukasi, dan penguatan terhadap kebudayaan itu sendiri. Baik penguatan dari sisi industri kreatif, sumber daya manusia, maupun dari ruang-ruang kreatifnya. Selain itu yang terpenting dari ketiga elemen tersebut adalah penguatan sumber daya manusia di dalam desa wisata karena SDM merupakan penggerak dari industri kreatif maupun pembentuk ruang-ruang yang mampu meningkatkan kreativitas. Tanpa SDM yang kreatif, terbuka, dan bermental entrepreneur, maka industri kreatif di desa wisata tidak akan berjalan secara berkelanjutan. Disamping SDM yang berkualitas, aktivasi ekonomi kreatif juga membutuhkan ruang atau wadah sebagai tempat penggalian ide dan berkarya.
Melihat kebutuhan itu, penulis beranggapan bahwa desa wisata adalah peluang untuk dijadikan ruang dalam mengaktualisasikan diri dan ide-ide kreatif karena selain menjadi sasaran wisatawan, desa wisata tidak menutup kemungkinan memiliki beragam jenis produk ekonomi kreatif. Seperti contoh desa wisata di Turi dengan olahan salaknya, Desa Wisata Kasongan dengan kerajinan gerabah dan keramiknya, Desa Wisata Jarum Bayat Klaten dengan kerajinan batiknya, Desa Wisata Bobung dengan kerajinan topeng dan batik kayunya, dan masih banyak desa wisata lainnya.
Wallahu a’lam. Semoga dengan optimalisasi produk ekonomi kreatif di desa wisata, makin menjadikan desa wisata memilki nilai jual yang lebih, bukan saja hanya melihat dan beraktivitas layaknya wisatawan di desa, namun membeli hasil karya masyarakat lokal sehingga berdampak pada peningkatan perekonomian.
Daftar Pustaka
Hadiwijoyo, Suryo Sakti. 2012. Perencanaan Pariwisata Perdesaan Berbasis Masyarakat (Sebuah Pendekatan Konsep). Yogyakarta: Graha Ilmu.
Pitana, G dan Diarta, I.K. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: ANDI.
Wow! Tulisan yg menggugah. Sangat bermanfaat sekali. Thanks bung hanif. Sukses selalu! Salam wisata! …
Mantap…
Bis jadi refrensi untuk desa