Bertanya-tanyalah. Di mana bisa berjumpa bangunan lampau di antara ramai pemukiman masa ini? Di mana bisa membaca dinding yang bercerita? Di mana bisa mencari petuah pengantar tidur yang sering dibawa kakek dan nenek, ayah dan ibu? Dan di mana jemari bisa menelusuri pesan leluhur yang masih elok tersimpan? Di mana lagi selain Candi Sojiwan?
Andai tak ada beratus bangunan memadati tanah, mungkin candi-candi yang tersebar di kawasan Prambanan akan terlihat bertetangga. Tak hanya percandian Hindu, pun berdiri gagah candi-candi Budha. Konon, umat Hindu dan Budha di masa lampau memang hidup “harmonis” berdampingan, walau penyulut pertikaian pasti ada. Bukti artefak kehidupan itu masih bisa dijumpai dengan mudah di sepanjang kompleks Candi Prambanan. Usai menyusuri Prambanan, Lumbung, Bubrah, Sewu, dan Plaosan, berkendaralah sampai seberang jalan. Di sana, Candi Sojiwan akan menyambut hangat dengan banyak kisah terukir di dinding kakinya, relief fabel sederhana yang menyimpan petuah berharga.
Alkisah, sepasang angsa hidup di tepi Telaga Kumudawati yang indah. Hidup pula sahabat mereka, Si Kura-kura. Sampai suatu hari, telaga yang indah surut dan kering. Sepasang angsa bertekad pergi untuk mencari telaga lain, berpamitanlah keduanya. Si Kura-kura gulana, takut turut kering bersama telaga lalu mati sengsara. Merengeklah ia agar dibawa terbang oleh sahabat angsanya. Ketiganya sepakat, perjanjian dibuat. Memagut mulut Si Kura-kura pada sebatang kayu yang dicengkeram erat sepasang angsa. Sepasang angsa telah memberi syarat untuk Si Kura-kura tak sekali pun membuka mulutnya sebelum sampai tujuan. Di perjalanan, bertemulah mereka dengan keluarga anjing hutan. Mereka mengolok-olok si Kura-kura bagai kotoran kerbau yang digotong sepasang angsa. Si Kura-kura murka, ia ingin membalas perkataan mereka. Terbukalah mulut Si Kura-kura, tak sadar ia akan kelalaiannya. Si Kura-kura jatuh dan mati dimakan serigala. Nah, itulah mengapa kau tak boleh ingkari janji, kau akan terima hukumannya.
Di belantara lain, Buaya Betina tergiur memakan hati seekor kera yang tengah duduk di seberang Sungai Gangga. Disuruhnya Sang Suami, Buaya Jantan, untuk membawakan hati Si Kera. Buaya Jantan berenang perlahan, berkata pada Si Kera ia bersedia menyediakan tumpangan sampai ke seberang sungai yang dipenuhi pohon buah-buahan. Si Kera senang dan sontak setuju dengan ajakan Buaya Jantan. Belum lagi sampai di seberang, Buaya Jantan bertutur sebenarnya ia ingin menyayat dada Si Kera dan mengambil hatinya untuk disantap Buaya Betina. Si Kera pun mengiyakan, berujar ia merelakan hatinya untuk Buaya Betina, namun ia harus kembali lagi ke tepi sungai karena hatinya tertinggal di sana. Buaya Jantan menuruti perkataan Si Kera dan berbalik arah ke tepian sungai. Sesampainya, Si Kera lantas melompat pergi dengan lincahnya dan tak kembali lagi. Begitulah, kecerdikan dapat mengalahkan tenaga yang besar sekalipun.
Demikian, sebenarnya masih banyak cerita tersisa yang membuktikan candi ini memang kaya akan pesan moral. Tak hanya cerita, kadang, di Candi Sojiwan juga bisa bertegur sapa dengan para Bhiksu yang melakukan kunjungan ibadah. Kain oranye yang melekat di tubuh mereka terlihat cerah ketika ber-pradaksina. Candi Sojiwan yang bijak, dengan semua ceritanya, dan keselarasan umat beragama.