Saya hidup penuh dengan mimpi. Kemudian, mimpi itu saya tulis besar-besar di papan tulis kamar tidur saya. Saya lihat coretan itu berkali-kali ketika keluar masuk kamar. Bukan guru saya yang mengajarkannya. Juga bukan ayah ibu saya. Yang saya tahu, cara ini cukup ampuh untuk berangan-angan. Dan tentu saja, apa yang pernah saya raih sampai hari ini, semua berawal dari coretan mimpi yang saya beri nama ‘resolusi’.
Tahun berganti. Saya rutin memperbarui daftar impian pada papan itu. Setiap teman yang masuk kamar saya pun mengamini mimpi-mimpi saya. Terlepas dari resolusi karir, saya tuliskan juga resolusi untuk bisa traveling ke Pulau Kei, Maluku Tenggara di awal tahun 2016. Mengapa memilih Kei? Pertama, saya belum pernah mengeksplor pulau-pulau di Maluku. Ketika melihat dalam peta betapa luasnya Maluku, saya putuskan memilih Kei karena pernah dipromosikan melalui video berjudul Baronda Maluku. Kedua, saya telah berjanji pada sahabat saya, Muhamad Ali Fatha Seknun, yang tinggal di sana. Pulau Kei yang ia ceritakan membuat saya terdorong untuk segera berkunjung.
Delapan belas april dua ribu enam belas, ponsel saya berdering. Suara dari sana mengabarkan bahwa lusa saya harus terbang ke Maluku untuk menyusun dokumen perencanaan pariwisata. Antara suka dan ragu. Kabarnya datang sangat mendadak. Pilihan yang sangat sulit bagi orang yang memiliki keterikatan pekerjaan seperti saya. Pada akhirnya, keputusan berangkat ke Maluku saya ambil. Tentu tanpa persiapan yang matang. Bertebar sudah rasa senang karena resolusi traveling ke Pulau Kei tercapai.
“Bro Ali, sesuai janji. Kamis aku ke Maluku. Kita ketemu di Tual,” saya mengabarkannya singkat.
Antara kaget dan tak percaya. Karena sempat ia bilang, untuk bertemu teman-temannya ia akan lebih banyak terbang ke Jawa, bukan sebaliknya. Baginya Tual – Yogyakarta adalah jarak yang sangat jauh. Itulah sebabnya lima tahun tanpa jeda ia habiskan waktu menuntut ilmu di Yogyakarta. Tak pernah pulang sampai benar-benar gelar sudah bersanding apik di belakang namanya.
Rencananya, tujuan utama saya adalah Kepulauan Aru, Maluku Tenggara. Namun penerbangan ke sana terputus karena salah satu maskapai batal terbang. Bukan karena terpaksa, tapi sudah menjadi Plan B untuk singgah di Tual sampai benar-benar mendapat kepastian jadwal penerbangan. Saya tak mau menyia-nyiakan waktu di Tual. Cepat saya hubungi Ali dan silaturahmi langsung ke rumahnya. Keluarganya menyambut saya ramah, seperti orang timur pada umumnya. Saya merasa diuntungkan karena batalnya penerbangan. Sore besoknya, saya akan naik Feri menuju Kepulauan Aru. Hitung-hitung, masih ada waktu 12 jam untuk berkeliling Kei Kecil.
Pagi sekali saya minta dijemput pukul 05.00 WIT. Sering saya baca, terbitnya matahari di bagian timur lebih indah dibanding di Jawa. Saya yang tak mau ketinggalan mengabadikan momen itu telah memasang alarm beruntun agar tak bangun kesiangan. Sayangnya, hujan turun di waktu subuh. Langit yang mendung membuat saya justru bermalas-malasan di atas kasur. Barang beberapa menit, Ali mengetuk kamar. Lekas ia mengajak saya berkeliling kampung halamannya.
Tujuan pertama kami adalah Pantai Difur. Sepanjang perjalanan di atas motor, Ali bercerita tentang budaya masyarakat Kei, bagaimana ia menghabiskan masa kecilnya di Tual, dan potensi pariwisata di kampungnya. Pengalaman pertama saya yang datang ke Kei tentunya hanya bisa banyak mendengarkan ceritanya, sambil memetakan masalah dan potensinya. Usaha masyarakat dalam mengemas Pantai Difur untuk ramai dikunjungi wisatawan domestik sudah cukup terlihat. Telah disediakan gazebo sebagai tempat bersantai di kawasan pantai. Sementara itu, semburat matahari pagi terlihat apik di balik dermaga kayu. Pasirnya yang putih memikat hati saya. Namun sayang, abrasi menjadikan pantai terkesan kotor. Tak apa, selalu ada sudut di mana pantai terlihat apik untuk dipotret.
Saya pulang tanpa tangan kosong akhirnya. Pantai Difur cukuplah menghibur saya. Nampaknya Ali paham betul saya ingin ke mana. Ia relakan kedua motornya untuk bisa digunakan berkeliling kampung halamannya. Hanya butuh beberapa menit saja, kami tiba di Pantai Ngurbloat atau yang lebih dikenal dengan Pasir Panjang.
Entah sudah berapa puluh pantai berpasir putih yang saya datangi, Pantai Pasir Panjang adalah juaranya. Silau penglihatan saya ketika ingin melempar pandangan ke pantai. Matahari pagi itu sangatlah panas. Degradasi warna dari matahari membuat pantai ini nampak indah. Seluas mata memandang, hanya pasir putih yang terlihat. Uniknya lagi, pasir di sini sangatlah halus. Rasanya. tak ada sedikitpun pasir yang kasar atau pecahan karang yang terdampar. Bolehlah saya ibaratkan, pasir di sini sehalus bedak.
“Kelas dunia!” Begitu kata teman saya yang terhitung sudah 10 kali traveling ke Maluku. Masyarakat di sini nampaknya juga telah tanggap dan sadar wisata. Beberapa gazebo, warung makan, dan toilet sudah disiapkan untuk menyambut wisatawan. Di sela-sela menjaga warungnya, mereka juga inisiatif menyapu daun kering yang jatuh ke pantai.
Saya kemudian berkeliling. Menyusuri sampai ujung Pantai Pasir Panjang. Saya berjumpa dengan nelayan yang sedang sibuk menambal perahu sampannya. Bersandar pula perahu sampan lainnya di sana. Di bawah rindangnya pohon kelapa, saya merebahkan badan. Akhirnya, impian menuju Pulau Kei tercapai. Apakah sekarang hanyalah khayalan? Tidak lagi. Percaya atau tidak, Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi terbaik kita. Bukanlah sesuatu yang sulit untuk mengawali segalanya dengan cara bermimpi. Entah keajaiban apa lagi yang akan saya dapati di tahun 2016, itu merupakan bagian dari skenario kehidupan.
Pertemuan saya dan Ali sebelumnya memang sudah direncanakan. Juni nanti akan bertemu di Yogyakarta. Tapi siapa yang mengira? Justru saya lebih dulu datang ke rumahnya. Ia tak menyangka, saya pun demikian. Bolehlah mengutip kesannya saat itu. “Kedatanganmu membuat aku berpikir, betapa kecilnya negara ini. Rasanya senang bercampur bingung,” ungkapnya melalui Whatsapp.
Lokasi Pantai Pasir Panjang
P.S : Tulisan ini merupakan catatan perjalanan pekerjaan saya sebagai peneliti di Pusat Studi Pariwisata UGM dalam rangka review Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Kabupaten Kepulauan Aru bersama Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Kabupaten Kepulauan Aru.
Tulisan catatan perjalanan Kepulauan Aru lainnya dapat dibaca di:
Wahh yang akhirnya kesampaian ke sini. Mbok sesekali naik perahu itu loh, biar merasakan bagaimana capeknya mendayung 😀
Aku sudah pernah dayung katinting mas pas di Papua. Hehe. Pengen ke karimun nih
Keren banget nyapu nyapu daun sendiri.
Mba aqid mau nyapu pantai jg ga?
Senangnya yaa resolusi bisa tercapai. Ke Maluku lagi, idaman saya hehehe. Pantainya cakep Mas 🙂
Alhamdulillah mas. Maluku memang idaman semua hehe.
Pantainya cakep, orangnya cakep juga ga?
kirain cuma Reza yang hidupnya penuh mimpi (baca: tidur melulu)
Reza Princess tidur mulu memang. Sekalinya pengen diet ga makan 7 hari
pantainya keren juga ya mas dan jadi pengen kesana
Iya. emang ini pantai yang keren abiss. Yuk ke sini aja.
Beneran putihhhh pasir pantainya. Pantai Ngurbloat apalagi, udah dikenal sebagai pantai yang punya pasir lembut bak tepung. Ratjun, ratjun… *brb cari tiket murah ke Maluku*
Haha. iyo mas. Lha ini kan ngurbloat mas.. Sampai bisa tiduran di atas pasir lembut gini. Kalau ke Kei jangan lupa hubungi temenku mas. Dia org lokal yang bisa ngantar mas hal nantinya
waa udh duluan kesana ya mas. Sumpah ini kece banget Pulau Kei nya.