Angin segar itu berhembus. Semilirnya menyambut saya yang baru menginjakkan kaki di pelataran teras sekretariat desa wisata. Tak terik, juga tak mendung. Langit turut menyambut kami dengan gembira. Terdengar suara gemercik riak sungai di pematang sekeliling. Sungguh, suasana desa seperti ini yang didamba. Tanpa bising bebunyian mesin yang memekakkan telinga.
Jamuan makanan ringan dihidangkan. Dalbiyo, yang juga pengurus desa wisata memperkenalkan diri. Dalbiyo adalah sosok yang ikut memprakarsai desanya menjadi tempat wisata bagi orang kota. Mendayagunakan sumber daya yang ada adalah cara bagaimana Dalbiyo sukses memperkenalkan Desa Wisata Kebonagung sebagai tujuan wisata.
Ia bercerita panjang soal riwayat membangun desa wisata. Kejenuhan masyarakat kota dan sesaknya wisata masal di Yogyakarta membuat Dalbiyo semangat mendesain desanya menjadi tempat berwisata. Bermodal lanskap alam dan kearifan lokal, Kebonagung nyatanya banyak membuat orang penasaran.
Cerutunya sudah setengah habis. Ia memberikan pengantar cerita yang membuat saya dan kawan-kawan termenung lama. Dalam suguhan gorengan hangat terasa nikmat disantap. Kami pun tak segan untuk segera memulai aktivitas wisata.
Saya melirik seisi sudut ruangan. Selain plakat-plakat hasil kunjungan dan prestasinya, masyarakat Kebonagung rupanya punya bakat seni yang bernilai tinggi. Batik kontemporer Kebonagung barangkali yang mencuri perhatian saya. Warnanya terang dengan coretan tema yang tampil hidup.
Dalbiyo paham sedari tadi kami sudah tak sabar menikmati lain suguhan. Pertunjukan para ibu pun dimulai. Dengan mengenakan kain jarik yang seragam, para ibu memainkan musik tradisional, Gejog Lesung.
Energi kembali pulih dihibur irama kesenian gejog lesung. Rasa kantuk sepulang dari perjalanan yang cukup lama seketika diusir paksa. Saya terbuai seperti dalam ayunan timang-timang. Gejog lesung dimainkan cukup apik. Irama ketukannya beraturan tanpa buku nyanyian panduan.
Menonton saja tidaklah cukup. Saya berkesempatan mencobanya dengan memilih kayu yang agak ramping. Tak tuk tak tuk.
Glek. Baru beberapa pukulan saja, tangan saya sudah terasa pegal. Meski terlihat ramping kayunya, memukul beberapa kali bagaikan mengangkat galon air rasanya. Begitu pula Aya yang ikut memainkannya di samping saya. Kami berdua bermain tanpa irama. Meski sudah didampingi para ibu di sana, tangan kami cepat sekali mengeluh pegal.
Para ibu berkebaya ini sumringah. Ada pula yang menertawakan. Anak muda ini payah. Baru sepuluh pukul sudah menyerah. Saya dan Aya tergelak malu. Mereka lanjut memainkannya. Memainkan dengan irama lagu yang berbeda. Tepuk tangan bergema keras untuk para ibu di Kebonagung.
Penggunaan gejog lesung mengingatkan saya pada simbah putri di desa. Dahulu, lesung digunakan sebagai alat menumbuk padi. Butuh waktu lama memang, karena untuk menyewa mesin penggilingan menghabiskan banyak biaya, sementara kami sekeluarga harus segera makan nasi. Sayangnya, lesung sudah menjadi kayu bakar karena setengahnya dimakan rayap. Kini, lesung telah diganti mesin penggilingan yang suaranya memekakkan telinga.
Saya cepat menyudahi pertunjukan. Justru dengan begini, para ibu bisa menghemat banyak tenaga daripada menghibur kami para anak muda. Kasihan, ‘kan, jika harus bermain gejog lesung berjam-jam?
Tak lama kami memainkan gejog lesung. Pengalaman mencobanya menjadi suntikan semangat untuk mengawali aktivitas di Kebonagung. Kemudian bersama Sardi (62 tahun), kami diajak berkeliling desa menggunakan sepeda ontel. Sardi mengenalkan dirinya sebagai pemandu, tanpa embel-embel.
Bersepeda ontel tua membuat saya mengeluarkan banyak tenaga. Mengayuh sepeda keluaran terbaru memang lebih mudah dan ringan. Namun mengayuh sepeda ontel, akan membuat nafas terasa ngos-ngosan. Apalagi kaki saya yang pendek tak bisa menyentuh tanah saat duduk di jok sepeda. Ini membuat saya seperti sedang masa-masanya belajar bersepeda.
Tenang, Sardi tak mengajak kami bersepeda cepat. Ia sadar, bersepeda dengan mengayuh santai adalah cara berwisata yang mengasyikkan. Sambil terus mencoba menyesuaikan diri dengan sepeda tua, saya semakin terbiasa. Meski terik, kami sudah dibekali caping yang memberi kekhasan berwisata di desa.
Kami melewati rumah-rumah dengan masyarakat yang melemparkan senyum ramahnya. Menyaksikan kami yang terlalu kaku membawa sepeda, para bocah pun ikut tertawa. Terus terang, inilah yang menarik dari desa wisata. Tuan rumah tak akan sungkan menyapa kita para tamunya.
Tampak seperti wisatawan yang norak, kami terus habiskan perjalanan sembari bergilir merekam gambar. Kadang harus disengaja mengayuh lambat, agar terabadikan apik dalam bingkai kamera.
Pertama, Sardi mengajak kami menengok sebuah pendopo kecil sebagai tempat pertemuan. Panjang Sardi bertutur cerita. Namun saya lebih tertarik pada sebuah bangunan limasan yang masih terjaga keasriannya. Sembari mengagumi arsitektur bangunan masyarakat Jawa tempo dulu, tak lupa untuk berfoto ria mengenakan caping sambil mengendarai sepeda.
Selain bersepeda, Kebonagung adalah desa yang nyaman untuk tempat tinggal. Diajaklah kami melihat bagaimana masyarakat lokal menyulap kamar-kamar menjadi tempat menginap yang ramah wisatawan. Tentu dengan harga yang terjangkau, Rp150 ribu per orang, pengunjung akan diajak beraktivitas yang lebih dari sekadar menginap. Dari sini, sungguh kentara penekanan konsep desa wisata. Hubungan interaksi tuan rumah dan tamu yang terjaga, serta saling bertukar pengetahuan lewat obrolan-obrolan sehat berteman teh hangat.
Kunjungan singkat ini kami habiskan pada spot yang sudah menjadi favorit warga bersantai ria. Jika datang sore, akan banyak muda-mudi menghabiskan waktu di sini. Dibangun pada 1997, Bendungan Tegal telah menjadi sumber air yang terus mengairi ladang-ladang sawah masyarakat Kebonagung dan sekitarnya.
Angin segar itu kembali berhembus. Semilirnya menembus ruas-ruas jalan yang sedang kami lewati.
Banyak hal menarik yang disampaikan Sardi lewat cerita-ceritanya. Soal darimana ia belajar, didapat dari pengalaman panjang ketika menarik becak dan menjadi pelayan tamu hotel di pusat Kota Yogyakarta. Sardi mempraktikkan pengalamannya. Ia tak bosan bercerita tentang kebanggaannya pada kampung halaman.
Sebagai penutup kegiatan, Sardi mengajak kami beraktivitas membajak dan menanam padi. Tentu saya senang bukan main. Dalam fantasi ini, saya akan menunggangi sepasang kerbau sembari menyeruput kopi hitam. Kemudian mengusir sekelompok burung kontul/ blekok yang tengah asyik bersantai di pematang. Saya juga membayangkan, bagaimana rasanya ikut membajak sawah bersama ayah sepulang sekolah, menunggangi kerbau sembari membaca buku. Ah, tentu asyik sekali rasanya.
Benar saja. Fantasi kemudian bertukar menjadi hiburan yang nyata. Sepasang kerbau ditarik menuju ladang sawah yang tak jauh dari jalan raya. Saya menjadi orang nomor dua yang berkesempatan menungganginya. Saya sadar celana saya yang tersisa tinggal satu saja. Tapi bermandi lumpur adalah kebahagiaan. Dan berbasah-basahan adalah hiburan. Berada di atas kursi kayu dalam tarikan kerbau memang mengasyikkan.
Cipratan lumpur dari kakinya mengenai wajah saya. Saya justru tertawa ruang. Bukan hanya saya yang terhibur. Rupanya, kabar Kebonagung kedatangan tamu adalah hal yang wajib diberitakan ke seluruh masyarakat. Mulai dari anak-anak, hingga para ibu dan bapak turut ramai menyaksikan kami yang gembira membajak sawah dari atas kerbau.
Membajak adalah soal bagaimana para petani kita menggarap sawah. Namun pada masanya, kerbau akan diganti dengan mesin yang lebih modern. Bilamana itu terjadi, kelak anak cucu kita tak sempat menyaksikan bagaimana kerbau dulunya dimanfaatkan tenaganya menggarap sawah. Demikian juga, kerbau akan menjadi tontonan yang hanya bisa dilihat langsung di kebun binatang atau buku-buku kumpulan binatang.
Hal ini tidak untuk Kebonagung. Di desa ini, masih ada beberapa petani yang bertahan dengan cara tradisional. Membuat konsep sebagai desa wisata bertemakan pertanian, paket wisata membajak dan menanam padi pun bisa menjadi pilihan wisatawan. Dari sini pula saya belajar, bagaimana para orang tua kami mendapatkan uang untuk menyekolahkan para anak-anaknya.
Ya. Simbah saya adalah petani. Sembilan anaknya dapat mengenyam pendidikan tinggi karena giat dirinya menggarap sawah. Jika ada kebutuhan khusus yang membutuhkan banyak biaya, simbah akan melepas sawah-sawahnya. Orangtua saya pun demikian. Bagaimana dengan para anaknya? Kini malah lupa perjuangan bagaimana nasi didapat.
Menariknya, Kebonagung tak hanya menggerakkan para orang tua. Untuk memupuk nilai guyub rukun dan edukasi generasi muda, dilibatkan sejumlah pemuda-pemudi untuk ikut mengurus sumber daya. Meski baru belajar, tak ada rasa sungkan dan malu saat mereka harus pulang membantu orangtua menanam padi. Juga tak lagi kaku mengajarkan kami yang ingin mendulang pengalaman bertani.
Dalbiyo mematok harga paket yang tidak terlalu mahal untuk wisatawan. Paket wisata paling murah untuk saat ini dihargai Rp15 ribu oleh pengelola. Bahkan kabarnya, para pejabat pemerintahan lebih memilih bermalam di Kebonagung dibanding penginapan berbintang.
“Mereka senang sekali, Mas. Bahkan ada yang minta satu kamar untuk satu orang saja”, ungkap Dalbiyo.
Namun di balik suksesnya nama Desa Wisata Kebonagung, Dalbiyo sadar desanya masih harus diberi suntikan kreasi. Ibarat tak ada gading yang tak retak. Sejak berdiri pada 2004, Kebonagung bukan berarti sudah mapan mandiri.
Menghadapi kenyataan bahwa Kebonagung pernah terpuruk secara ekonomi akibat bencana gempa bumi 2006, yang menyebabkan beberapa masyarakat harus kehilangan tempat tinggal. Korban yang tak sedikit, pariwisata desa tak lagi gencar.
Baca juga : Inspirasi yang Datang dari Hutan Bambu Andeman, Sanankerto
Ingatan tentang masa-masa sulit yang pernah terjadi beberapa tahun lalu masih membekas di benak mereka. Namun buat apa terus meratapinya? Merenungi keterpurukan bukanlah cara Dalbiyo dan kawan-kawannya. Ia harus cepat bangkit memulihkan keadaan. Dari sini kreativitas tercipta. Cukup memandangi aktivitas para manusianya, juga mengagumi lansekap alamnya, desa wisata hadir sebagai jalan keluarnya.
Dengan penuh semangat, Dalbiyo dan warganya terus menata Kebonagung agar semakin apik tanpa mengubah banyak fisiknya. Selama proses mereka sadar, memberikan pelayanan prima adalah kuncinya. Agar terpatri manisnya kenangan berwisata pada siapa saja yang datang menyambangi.
Angin segar itu adalah desa wisata. Yang memenuhi kebutuhan banyak orang yang jenuh pada sesaknya wisata kota. Angin segar itu adalah desa wisata. Yang mengajak warga desa untuk menjaga kearifan lokal dan bangga pada sumber dayanya. Tapi tentu, tak semua desa wisata bernasib sama. Kebonagung adalah salah satu dari ratusan desa wisata di Yogyakarta yang tetap eksis meski harus jatuh bangun mengelolanya.
Informasi dan pemesanan
Selain Desa Wisata Kebonagung di Kabupaten Bantul, kamu juga dapat berwisata ke Desa Wisata Malangan yang terletak di Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman. Desa wisata ini menawarkan paket wisata bertemakan agrowisata dan budaya di mana pengunjung dapat belajar membatik, membuat kerajinan bambu, dan melihat proses pembuatan keris yang sudah terkenal sejak 1953.
Desa Wisata Kebonagung, Dusun Kebonagung, Kebonagung, Imogiri, Bantul, DIY
Narahubung : Dalbiya (081392626751/ 087738778594)
Email: mr.dalbiya@yahoo.co.id
Kalau misalnya kita menginap di sini, suguhannya bakalan Ingkung 😀
Sayang memang hanya sebentar, padahal di sini ada museum tani juga loh yang bisa kita kunjungi.
Ingkung maneh. Idola itu. aku suka ingkung yang di Nglanggeran. haha
Aku nyaris ngga pernah lagi liat petani dan kerbaunya membajak sawah, Nif. Udah jadi pemandangan langka buatku yang tinggal di tengah kota. Sesekali kangen juga sama suasana desa yang masih asli tapi rapi dan teratur. Soal kerapihan, desa-desa di pulau Jawa masih lebih rapi ketimbang desa di Sumatera, deh☺.
hehe. bener mba. aku yo ndeso lho mba. tapi desaku udah g pakai kerbau buat bajak sawah.
Yuk Mba Molly, sini main ke Jogja. ada ratusan desa wisata yang bisa disambangi
keren ya Pak Dalbiyo, bisa gitu kepikiran mBangun desa wisata. terus mampu menggerakkan warga warga sekitarnya.
eh fotone mbak aya sing naik sepeda itu cantik ehe~
Pak Dalbiyo salah satunya. Tapi gotong royong adalah penguatnya. hehe
cie cie
Memang merasakan membajak secara langsung jauh, jutaan kali mungkin, lebih seru ketimbang hanya menyaksikan atau membaca ceritanya seperti saya ya, hehe. Berasa susahnya. Tapi rasa nasi yang diolah dengan keringat dan usaha sendiri pasti jadi lebih enak kan, hehe.
Pariwisata di desa wisata ini menurutku lebih humanis. Namanya pemandangan mungkin ada di mana-mana. Tapi, untuk dapat interaksi antara wisatawan dengan penduduk lokal itu kadang agak susah. Dengan konsep seperti ini bagiku kedua belah pihak dapat menyesuaikan diri. Pada akhirnya, sama-sama dapat ide dan pemahaman baru. Liburan mana yang lebih memperkaya ketika kita bisa memandang sesuatu dari sudut pandang baru, dibandingkan hanya sekadar liburan dan foto-foto?
Benar mas. Itulah kenangan yg didapat dari desa wisata. Selain keakraban dengan tuan rumah, pengalaman, juga pengetahuan. Dari sini kita makin bisa mengapresiasi, menghargai mereka2 yg bekerja untuk terus memenuhi stok kebutuhan pokok kita. Wisata ke desa banyak hal menariknya mas. Saya baru sebagian merasakan, masih ada ratusan lagi yg perlu disambangi hehe
suka dengan warna warni batik komtemporernya
Dibeli yuk mas
Disini nih, tempatnya adem, penat dijamin hilang deh, apalagi kalau suasana pagi. Beuh udaranya sueger ya, Mas. Buat sepedahan juga enak ya. Next time pengen ke desa ini deh. Lihat foto-fotonya menarik mas.
Emang asik mas. Banyak spot instagramble juga. Monggo mas, ditunggu hasil liputanya
Selalu senang lihat pemandangan di desa, semoga nggak berganti wajah jadi ruko dan mal, beberapa tahun ke depan Desa Kebonagung ini. Btw, di Malang, oh, tepatnya di Kab. Malang ada kec. Kebonagung, tapi di sana sentra industri gula. Jadi sejauh mata memandang bukan hamparan sawah, tapi ladang tebu di mana-mana.
Terus, kapan ke Malang lagi?
*terus ditanya balik, kapan ke Jogja (lagi)
Wauu. Kebonagung versi Malang yg menarik.
Haha. Aku kalau ke Malang pasti akan hubungi sampeyan Mas
Masih penasaran dengan aktivitas membajak sawah ditarik pakai kerbau itu. Kemarin ragu-ragu jadi urung niat untuk ikut nyemplung ke pematang hahaha. Yang bikin kesengsem di Kebonagung itu bentangan alamnya, lembah yang dikelilingi perbukitan hijau. Syahdu tenan dan cocok buat mengalau. #ehh 😀
Rugi ra melu nyemplung sampean mas. Kan bisa foto sama adik2 di sana. Nakdek.
Aku merasa berdosa kalau ke Kebonagung hanya njujug beli mie ayamnya yang deket bendungan tegal itu. Berkali-kali lewat depan sekretariat tapi sama sekali nggak tau :p
Semoga suatu saat nanti dihidupkan kembali perahu naga nya di bendungan tegal. Aku pingin motret :p
Aku kok makin penasaran ya sama mie ayam hits itu
Duh aku benar2 ketinggalan cerita perahu dragon itu. Di blog mba rizka juga bahas, tapi aku pas ga dengerin.haha
Mau juga dong sepedaan di pinggir sawah sama mandiin kebo hahaha suasanya enak banget pasti ya mas, sejuk, dama, dan tenang. Saya juga mau coba ke Desa Kebonagung kalau ke Jogja. Semoga pariwisata desa semakin maju.
yuk mas. Monggo main ke Kebonagung. Salam buat Pak Dalbiyo nggih.
Salam balik mas katanya *kokcepetya
Duhh, bikin aku rindu masa kecil mas. Dulu rumahku ada lesung begini. Sekarang udah nggak tau kemana
rumahku juga. terus dimakan rayap dan dijadiin kayu bakar akhirnya. haha
Yg pd naek alat bajak keenakan gak mau turun. Dikira wahana banana boot? Wakakkaka
enak mas. tapi mandi lumpur. haha
Aku kalo lihat Jogja ini kok ya kreatif semua ya orang2nya. Desa aja sudah mulai dijadikan tempat wisata dg berbagai tawaran paket liburan yg menarik, idenya ituloh ada aja.
Kalo main2 kerbau sama nanam padi gini jadi inget dulu pas SD di desanya Ibuk ku mas. Seru asyik, tp semakin maju zaman sudah jrg lagi pake kerbau dan memilih pake mesin .
-Lidia
Hai Lidia, sini main2 ke Jogja biar bisa naik kerbau juga. hehe
Emang. Jogja Kreatif, wani perih, kendel je.
Dengan pemandangan alam dan kearifan lokal, potensi yang sangat berharga untuk dikenal oleh wisatawan ya Mas. Pastinya tidak mudah mempersiapkan sebuah desa sebagai tujuan wisata. Kalau sekarang sudah berhasil Acung jempol pada para penggagasnya. Semoga dengan dijadikannya Desa mereka menjadi destinasi wisata, potensi-potensi lain akan tergali. Semoga ekonomi masyarakat juga bertambah maju
iya mba. butuh kerja keras untuk membangkitkan gotong royongnya, dan perlu kerja keras meyakinkan calon wisatawan kalau desa wisata unggul di produk. agak susah. Cuma Jogja bagusnya saling bahu membahu, gotongroyong eksternalnya ada.
Mantap mas e, aku kemarin kayane juga lewat di daerah itu, sesuai di maps, kemarin minggu saya ke pantai sadranan. Keren keren, mau dong ikut ngetrip hihi kunjungi blog saya mas
wah. harusnya mampir Kebonagung dulu mas.
siap mas.
wah hebat juga nih desa, potensi yang ada bisa dijadikan industri wisata yang mumpuni
iya Mba 😀 hebat. orang-orang di baliknya juga hebat
Dan aku masih penasaran rasa mie ayam Kebonagung huvt, padahal mau aku traktir bhuahaha
yok mangkat
batik yang paling kanan motifnya unik mas….dl waktu kecil tiap pagi simbah juga sering menggunakan lesung untuk giling padi…sekarang sudah pakai mesin giling padi yang sehari bisa 3-5x lewat depan rumah di Karangnongko
wau. karangnongko klaten ya? iya. lesungku malah dimakan rayap terus dijadikan kayu bakar. hehe.
Di Malang, khususnya di sekitar tempatku kos, masih banyak dan mudah ditemukan kerbau-kerbau untuk membajak sawah. Adem lihatnya 🙂
Sekarang sebagian memang tergantikan dengan mesin. Padahal, keuntungan punya kerbau adalah investasi ternak dan efisiensi saprodi. Dari kotoran kerbau bisa dibuat pupuk atau biogas, kalau mau 🙂
iyo mas. Kerbau bisa jadi investasi. kalau mau nikah, butuh dana, jual kerbau hehe.
desa ku wis pake mesin semua. dulu lesung masih awet. tapi udah g ada yang pake lesung lagi sekarang
iyes mas…masih tetanggan to ?? hehehe…blogger klaten pada kumpul lho mas….
kumpul di mana biasanya? ajakin dongs
Buleh lah ini kak ini dikunjungi. yah dengan berkembangnya wisata di suatu daerah pastinya juga akan menunjang kearifan lokal.
makanan paling enak disana apa aja ya gan..
semua makanan masakan warga enak
kereen,,cocok tuh untuk wisata edukasi apalagi bawa keluarga.
batiknya keren, cerah, nge jreng gitu
Setiap hari pulang pergi Gunungkidul Jogja. lewat jalan utama kebonagung.. tapi belum pernah masuk ke tempat wisatanya… Hihihihi Semoga semakin maju yaa mas…
Aamiin Mas. Saya berharap demikian juga