Dalam perjalanan menggendong beban dan langkah kaki yang terayap-rayap, fantasi yang terlintas bukan lagi soal keindahan dan keagungan Merbabu. Saya berada pada titik di mana saya kembali bertanya dalam hati. Ke Merbabu, apa yang kau cari? Saya yang tak pernah memiliki ambisi untuk menjadi seorang pendaki, pecandu ketinggian, bahkan menumbuhkan kegemaran pada hobi mendaki gunung, tiba-tiba begitu saja terjebak dalam pendakian tanpa persiapan.
****
Jika Satya Winnie dalam catatan perjalanannya menyebut Suwanting sebagai jalur pendakian Merbabu yang hanya diambil oleh orang-orang sinting, itu benar. Tak terkecuali kami berlima; saya, Aan, Fadli, Rifqi, dan Nata.
Artikel Satya : Mendaki Merbabu via Suwanting Jalur Sinting
Ada dua wisata petualangan yang saya takuti. Wisata pendakian dan menyelam. Keduanya adalah wisata yang tak murah. Selain itu, untuk menekuni keduanya, haruslah berbekal keterampilan, pengetahuan, dan mengantongi perijinan.

Ke Merbabu, apa yang kau cari?
Mengapa tidak pantai? Mengapa tidak desa wisata? Atau dua malam menghabiskan waktu di hotel berbintang? Mengapa harus gunung? Jika harus Merbabu, mengapa harus mengambil jalur Suwanting? Jalur pendakian terberat dibanding lainnya.
Pasalnya, sebelum meninggalkan Yogyakarta, satu persatu dari mereka menguraikan segudang pengalaman seru dan sial selama pendakian. Cerita mereka berempat sukses membuat mental saya naik turun.
Merapi, Rinjani, Gede, Arjuno, Salak, Semeru, Prau, adalah beberapa gunung yang sudah tuntas mereka daki. Sementara saya, sedang berusaha mengumpulkan catatan pengalaman adu fisik yang kiranya dapat menguatkan mental. Aktif taekwondo meski tak pernah menjadi atlet, kejuaraan futsal, treking Gunung Ijen, Bromo, dan Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran. Ah, modal pengalaman yang belumlah cukup untuk bisa membuat diri saya mantap mencapai Merbabu. Akhirnya, saya yang nihil pengalaman hanya bisa menelan ludah dan meneguk secangkir minuman manis di depan meja.
“Diperkirakan, besok cuaca akan hujan badai”, Rifqi memantau radar cuaca melalui gawainya.
Saya mati gaya. Bisu. Dan hanya bisa menghabiskan sisa malam sebelum keberangkatan dengan pikiran buyar. Jika ini adalah medan perang, maka masih ada waktu bagi saya untuk sungkur mencium kaki kedua orangtua saya. Meminta maaf dan menangis sejadi-jadinya. Menulis sebuah wasiat. Bahkan menebus dosa-dosa lama dengan banyak bermuhasabah.
Tapi sayangnya ini bukan medan perang sungguhan. Ini hanya soal keberanian, ketangguhan, kekuatan, dan keyakinan. Tapi secara tiba-tiba. Pondasi keyakinan yang saya bangun cukup tinggi itu runtuh. Rata dengan tanah. Hancur terserak karena banyak keraguan yang disampaikan langsung oleh rekan-rekan terdekat saya.
“Yakin kamu, nif? Kamu kan belum persiapan”, tanya beberapa teman.
Perjalanan keberangkatan
Pukul 09.00 pagi kami bertolak dari basecamp Suwanting. Langkah kaki kanan saya ingin menantang untuk maju tiga langkah. Tapi kaki kiri saya justru mengajak mundur lima langkah. Bayangkan. Untuk memantapkan langkah kaki saja sangat sulit. Ah, lagi-lagi saya harus bertanya dalam hati. Ke Merbabu, apa yang kau cari?
Langkah demi langkah saya tekuni. Saya memimpin paling depan. Menjadi algojo terdepan dalam memimpin perang. Ingin rasanya mengaduh karena beban. Tapi kami telah bersepakat. Gantilah ungkapan keluh dengan puji-pujian agar bernilai ibadah. Jika harus gagal, paling tidak kami sudah mengantongi pahala, bukan dosa.
Saya membekali diri dengan pakaian hangat, jas hujan, air mineral 3,5 liter, dan beberapa kudapan manis penambah tenaga. Saya berjalan terus dan akhirnya mulai terbiasa. Melalui beberapa titik seperti pos air, pos Bendera, Manding, pos 1 hingga titik tersulit dalam pendakian Suwanting.
Sebagai orang yang berada paling depan, saya memiliki hak dan mendapatkan kesempatan terhormat dalam memberi komando istirahat. Saya merobohkan badan dan melempar beban ransel. Meneguk air. Kemudian melahap bekal makanan ringan. Medan yang belum apa-apa. Wajah kami masih terlihat segar.
Hujan turun kemudian. Membuat trek tak lagi nyaman untuk dilewati. Pukul 13.00 WIB, hujan masih saja mengguyur jalur Suwanting. Bagusnya, saya berada di tengah tim yang berpengalaman. Mereka adalah pendaki terbaik dalam mengatur ritme perjalanan, waktu, dan mengambil keputusan. Kami pun bersepakat untuk beristirahat. Menyantap bekal makan siang yang sudah dibeli sejak di basecamp sembari menunggu hujan reda.
Barulah setelah melewati separuh perjalanan, kami disuguhi pada medan menanjak segitiga. Semakin kami bisa melaluinya, semakin menanjak tinggi jalannya. Mujurnya, mental saya tak jatuh. Justru saya menjadi orang yang mengabadikan perjuangan tim kecil ini. Saat mereka berusaha melompat melewati batang pohon, saat merangkak melalui trek yang licin, saat berpegang pada tali, dan ekspresi sulit lainnya. Keseluruhan medan ini sudah diceritakan oleh Satya Winnie dalam blognya. Nyali seseorang yang ingin sampai puncak akan ciut tatkala melihat bagian trek menanjak ini.

Tak disangka. Delapan jam menyusuri trek yang berat akhirnya mengantarkan kami tiba di pos 3; pos di mana kami akan bermalam di bawah taburan bintang. Kami lega. Membanting badan ke sembarang tempat. Mengeluarkan isi ransel dan memasang tenda. Semua telah berbagi tugas. Memasak minuman hangat, menyiapkan sayur, nasi, dan lauk pauk lainnya.
Masih belum hilang lelah dan rasa menggigil di atas 2.800 Mdpl, Rifqi justru membuka bincang tentang jalur pulang. Jika harus mengambil jalur Selo dengan jarak yang lebih panjang, maka persediaan air harus mencukupi. Pasalnya, Selo adalah jalur pendakian yang tak memiliki sumber air. Sementara jika harus mengambil jalur pulang Suwanting, maka bersiaplah badan remuk redam, namun sumber air mencukupi.
Saya hanya bisa menggerutu dalam hati. Bisakah tidak membahas jalur pulang di saat seperti ini? Saya tak menyumbang satu suara. Saya memilih memejamkan mata. Berkomunikasi pada Tuhan dalam tidur malam saya. Memohon banyak ampunan, diberikan kekuatan fisik dan cuaca yang bersahabat agar pulang dengan selamat.
Keputusan sudah dibuat. Sebagai pemula, saya tahu suara mereka berempat adalah keputusan terbaik. Saya pun mengekor saja. Kemudian mendahului menarik sleeping bag, mengenakan sarung tangan, dan memasang alarm pagi.
Rata-rata dari kami tidur terlelap delapan jam lamanya. Menjadikan momen memotret bimasakti yang berujung pada wacana saja. Cuaca pun tak bersahabat. Malam turun hujan, langit berawan, bulan bersinar terang.
Sunrise Merbabu
Pukul 05.00 pagi. Alarm gawai membangunkan separuh orang yang bermalam di pos 3. Ada yang mulai mendaki puncak dengan menanggalkan perlengkapan pendakiannya. Ada yang menyeduh minuman hangat sembari melanjutkan sisa bincang semalam. Sementara kami memilih untuk menepi menyambut wajah Merapi di pagi hari.
Ke Merbabu, apa yang kau cari?
Sebagai pendaki pemula, jawaban atas pertanyaan kemarin belum saja saya dapati. Perlu beberapa momen lagi memang. Agar jawaban itu layaknya ilham yang diturunkan oleh Tuhan. Sampingkan saja dulu. Nikmatilah keindahan yang sudah tersaji di hadapmu!
Seluas mata memandang, semburat jingga baskara pagi mempercantik Merapi. Garis horizonnya menjadi penanda bahwa kami telah memasuki hari kedua pendakian. Tak lama, warnanya memudar. Angin bertiup bagaikan suara desir ombak.

Wuzzz… Wuzzz… Sembari menggosok-gosokkan tangan agar tetap hangat, kami melempar pandangan lebih jauh lagi. Sindoro-Sumbing bersanding sangat dekat. Kedua gunung ini mencoba merayu dan menantang kami untuk datang ke sana.


Baca halaman selanjutnya
Selamat mas! Enakan tidur di kasur kan? Hahahahaha..
iyo Mba… Kapok wiss.. haha
Huahaha aku melu deg2an, amazing Mas. Semoga ketagihan 😀
ora.. kapok wis. kalau mau mendaki gunung, jangan direncanakan sampai puncak. sampai sabana pulang aja. hahaha.
huwaaaaaa bacanya deg deg an paraaaaah.
eh berarti resigb daru pekerjaan tetap itu awal dari perjalanan menuju masa depan gemilang ya? baiklah. saya akan bersiap.
jika sudah niat resign dan atas pertimbangan2 kebaikan. maka bersiaplah menjemput masa depan gemilang
Wahahaha. Jadi gimana? Wes ketagihan rung? Next sama Rifqy ke Lawu aja.
Aku jadi kangen naik gunung lagi 😀
Lawu? sampai puncak ra? mbok ora wae..haha
Sahhhhhhh
Bentar lagi ada ajakan naik Lawu lewat Cetho atau naik Ungaran.
Besok tambah ransel di depan buat bawa drone muahahhahahha
leren sik lur.. haha..istirahat
asyiknya naik gunung itu saat sdh nyampai puncak. indahnya
Benar Mba. Alhamdulillah, ya!
Haniiieeefff aku bangga padamu! Hahahahaha! Kamu keren pokok’e tak kasih semua jempolllllll! Hahahahhaa dan baru pertama kali naik gunung langsung ke Suwanting sih lebih sinting dari aku hahaha. Aku cekikikan baca blogpost ini ngebayangin wajahmu mindul-mindul manyun hahahaha…. Meski pun sekarang capek dan kapok, percaya deh gunung itu ngangenin, pasti nanti mau nanjak lagi! 😉
Haha. Malah lebih sinting ya daripada kamu.
Wah, keren pokoe lewat Suwanting ki. Ngeri-ngeri gitu. Bikin lutut gemeter .
Capeknya udah ilang sih. Tapi kulit masih perih kebakar.
hadeeuh jadi ingat pengalaman mendaki gunung sindoro, mengumpulkan tekad sebelum berangkat yang bikin panas dingin, pas hari H aman2 saja naik hingga puncak hanya saja pas turun, cedera parah hingga kaki sakit sekali untuk digerakkan, benar2 penyiksaan diri seumur hidup hahahaha
waduh..itu yg saya takutkan juga Mas kalau naik turun gunung
Alhamdulillah. Sertifikat belum jadi. Hahaha.
Ojo kapok-kapok yo. Diambil hikmahnya 😛
ditunggu sertifikat e
.arep tak pajang je
Masa depan gemilang
yuhuuu
Pas Rifqy bilang “Hanif mau ikut” dan aku dikasi tau bahwa ini adalah pendakian pertamamu, ku sudah geleng-geleng. Yakin Hanif mau diajakin naik jalur Suwanting? Tapi nyatanya kamu bisa. Mengalahkan ketakutan, itu yang paling penting. Betewe sampai saat ini pun aku kalau diajak “susah-susah” macam ini di benak selalu ada pertanyaan yang bergema “ngopo koe susah-susah ngene? enakan turu neng kasur”, tapi ya entah, itu serupa candu.
Hahhaa. Tuh kan. Jadi udah banyak yang ragu pas aku ikutan naik. Aku pun saat itu juga ragu sama diriku. Eh ternyata, kok yo iso.
Wkkw. Pas di lapangan, mengeluhnya macam itu terus ya 😀
Ayo wis, agendakan gunung nglanggeran aja
Ini adalah pendakian pertamaku Jo. Wkwkw
Iya sih. Sudah treking menanjak. Bawa beban lagi. Sungguh, wahai pendaki gunung. Apa yang kau cari?
Walah. Kamu menunggu ceritaku kembali? Aku e malah g tau kapan bisa mendaki lagi. WKwkw
sebenernya kalo cuma jalan aja aku sanggup. tapi kalo suruh sambil bawa ransel segede gaban gitu sambil nanjak kayaknya kok….gempor ya. haha.
tapi hebat mas, berhasil menaklukan diri sendiri. two thumbs up!
terimakasih Min!
Iya, itu yang bikin mental turun. Selain menanjak, harus membawa beban ransel. hehe
eh btw ada kisah serem atau horrornya ga nih?
biasanya kalo naik gunung ada bumbu seremnya dikit
aman mas. g ada.
SEJUMLAH problematika di sektor lingkungan kian bermunculan, seiring dengan meningkatnya tren pendakian gunung-gunung di Indonesia. Selain mengubah perilaku dan pola hidup hewan, masifnya kegiatan pendakian dalam lima tahun terakhir juga telah berdampak buruk pada besarnya volume sampah pendaki.
wah mantep nih hiking. kapan ya bisa naik gunung lagi
segerakan