Satu tahun lalu, kegiatan bertajuk ekplor deswita Jogja sukses terselenggara. Satu dari sepuluh destinasi tujuannya adalah Desa Wisata Banjaroya. Walaupun hanya lawatan sebentar, Banjaroya yang tak sempat disambangi menyisakan rasa penasaran yang besar.
Liburan mengeksplor desa wisata tak akan sempurna tanpa singgah dalam waktu yang lama. Tepat di bulan Mei kemarin, saya bersama tiga pewarta cerita perjalanan (Aji Sukma, Aqida, dan Nasirullah) bermalam di Banjaroya.
Madun, adalah satu dari sekitar ribuan penduduk Banjaroya yang ikut berjuang menghidupkan wisata desa tampak berseri-seri menyambut kedatangan kami berempat. Madun telah menunggu satu tahun untuk menagih kedatangan kami. Keakraban yang terjalin melalui kanal media sosial membuat kami berlima tak risi lagi membahas hal-hal yang biasa dirahasiakan. Di tengah kesibukannya sebagai pengurus komunitas desa wisata Yogyakarta, Madun tak kepalang tanggung dalam memberikan pelayanan prima.
Hari telah gelap ketika kami berempat dipandu masuk menuju Embung Banjaroya. Rencananya, kami akan bermalam tepat menghadap arah matahari terbit dari peraduannya. Madun telah menyiapkan tenda besar untuk rencana ini. Sayangnya, dinginnya malam Banjaroya tak mau bersahabat dengan kami. Untungnya, Madun menyiapkan pilihan untuk bisa bermalam menempati ruang kerja pengelola desa.
Seperti biasa. Lawatan desa wisata tak akan cukup hanya mengamati saja. Perlulah kami berlima membuka bincang tentang bagaimana masyarakat Banjaroya menggagas wisata desa.
Durian dan Banjaroya
Durian memiliki ikatan historis yang kuat dengan masyarakat Banjaroya. Tidak sedikit masyarakat yang terkejut. Dahulu, petani biasa menjual hasil kebunnya (durian) langsung ke pembeli. Sekarang, jika memasuki musim panen yang baik, sepanjang jalan kawasan Banjaroya akan sesak pemburu durian.
Mulanya, Madun hanya membisikkan pada rekannya yang bekerja di media. Ia pun tak yakin, festival yang digelarnya akan menjadi berita yang viral. Festival Durian Banjaroya, acara berburu durian bergaransi sukses menaikkan nama Banjaroya sebagai sentra penghasil durian terbaik. Menurutnya, jika dihitung-hitung dari perputaran uangnya, festival yang digelar hanya setahun sekali memberi dampak sosial dan ekonomi yang luar biasa.
Bermula dari sanalah, ide meneruskan perjuangan membangun desa terus tumbuh. Sembari memikirkan kemasan paket wisata bernuansa petualangan di desa, melalui dana APBD DIY dibangunlah embung seluas 60×80 meter persegi. Diresmikan langsung oleh Sultan Hamengku Buwono X, Embung Banjaroya menjadi wujud atas durian berkualitas bersama para petani terbaiknya.
Mengapa embung?
Pembangunan embung kadang dilihat sebagai tren untuk pemanis destinasi wisata agar ramai kunjungan. Namun sebenarnya tidak. Dibangunnya embung tak merubah fungsinya sebagai penampung air untuk terus mengairi lahan-lahan pertanian kala musim kering. Terbukti, selain adanya ikon patung durian, kawasan lahan Embung Banjaroya seluas 20 hektar ini telah disesaki pepohonan durian yang siap menjaga nama baik Banjaroya di setiap perayaan festivalnya.
****
Cerita Madun semalam ia buktikan langsung dengan mengajak kami menyaksikan adiwarna langit Banjaroya di hari kedua. Pagi buta, kami sudah meninggalkan kamar untuk menyambut matahari terbit. Mulanya, ia berwarna ungu. Saat kabut terangkat, ia berubah menjadi lembayung yang siap menyihir setiap mata. Kami tak henti-hentinya menekan tombol shutter kamera untuk mengabadikan setiap garis warna yang perlahan benderang.
Baca juga : Ke Merbabu, Apa yang Kau Cari?
Selamat pagi Banjaroya
Jelang pukul enam pagi, kabut menyapu dinding lensa saya. Kini semakin jelas di depan mata. Gagahnya Merapi menyapa kami sebagai orang pertama yang berdiri dari ketinggian Bukit Menoreh, Embung banjaroya. Dari sini, saya merasa sedang berada di titik terdekat dengan gunung api paling aktif di dunia. Pagi yang indah, bukan?
Di setiap kesempatan, Madun selalu membuka percakapan. Sama halnya ketika kami sedang terpikat dengan harmoni pagi Banjaroya, Madun melanjutkan cerita. Apa yang disampaikan bukan saja perkara pengetahuan tentang desa dan tugasnya sebagai pemandu wisata. Melainkan juga rencana strategisnya dalam membangun kemandirian Banjaroya sebagai desa yang ditempatkan sebagai primadona baru wisata alam di Kabupaten Kulonprogo.
Dalam ceritanya, kami bersepakat menegaskan, bahwa untuk membangun desa wisata, tak boleh menghilangkan ruh dan spirit masyarakat desa. “Ngedol deso, ora ilang desone”.
Jika hanya ingin mencari keindahan, semua tempat pasti memilikinya. Tapi berbeda dengan Banjaroya. Di sini saya belajar bagaimana kawasan desa biasa, memoles diri menjadi desa wisata. Tanpa mengganti profesi utama sebagai petani dan pembudidaya pohon durian, aktivitas kepariwisataan memberi bonus yang bisa datang kapan saja. Bagusnya, bonus tak hanya dihitung dari rupiah yang mengalir, tapi juga meningkatnya kapasitas masyarakat melalui pertukaran pengetahuan, pelayanan, juga manfaat sosial lainnya yang tak terkira.
Inilah napas desa wisata. Alam turut senang jika penghuninya turut melestari keberlanjutannya. Saya terperanjat dan merasa iri. Melihat semangat Madun dan orang-orang di sekitarnya, dapatkah saya melakukan kebaikan yang sama?
Kalau ketemu mas Madun kok rasanya pengen balik desa lagi; pengen mengabdi untuk desa, tapi baru sebatas niat saja.
untung bukan kaya mba aqied. yang bingung kampung halamannya di mana
bantu Aqid menemukan kampung halamannya
wkwkw..sutil. nongol juga
Eyegasm
Luar biasa! Saya sebagai pecinta foto2 pagi, sangat menikmati setiap fotonya…
terimakasih, mas!