Kata orang, Yogyakarta adalah kota berjuta cerita, kota penuh kenangan, kota yang dirindukan. Meskipun hiruk pikuk di sana membuat penat, tetapi rasanya Yogyakarta malah yang dicari wisatawan. Menikmati romantisnya malam di sepanjang jalan, pun mendengarkan tembang yang teriring alat musik tradisional dari para penabuh jalanan. Eits, itu baru suasananya. Janganlah lupa untuk berburu kuliner khasnya.
Biasanya, kuliner tak jadi sorotan utama. Asalkan sudah berkunjung ke objek-objek ikonik, pilihan makanan kadang tak jadi prioritas. Padahal, kuliner Yogyakarta itu banyak ragamnya. Terletak di sudut-sudut tersembunyi, sehingga jarang dikenal orang. Soal rasa, silakan buktikan. Biar tambah sayang, yuk kenali sepuluh kuliner tersembunyi di Yogyakarta!
Jenang Candil Bu Sugesti: Kudapan Pembuka Lempuyangan
Eksistensi jenang di kalangan masyarakat Yogyakarta sudah melekat sejak zaman kerajaan. Biasanya jenang disajikan khusus dalam acara hajat tertentu. Jenis jenang yang dibuat pun memiliki makna dan fungsi yang berbeda-beda. Tetapi seiring berkembangnya zaman, jenang dijual sebagai salah satu kuliner khas Yogyakarta. Salah satunya ialah Jenang Candil Bu Sugesti. Jenang candil ini bisa dijadikan kudapan pembuka sebelum berkeliling Yogyakarta.
Di antara kesibukan Pasar Lempuyangan selepas subuh, Jenang Candil Bu Segesti pun membuka lapaknya sejak pukul 05.00 pagi. Meskipun harus menyusuri lorong-lorong pasar, jenang candil ini habis diburu pelanggan sebelum siang hari. Usaha kuliner turun temurun ini ternyata sudah eksis sejak 1950. Bu Sugesti sendiri merupakan generasi ketiga. Ia bercerita sembari menyuguhkan dagangannya.
Satu porsi jenang candil disajikan di atas pincuk (piring yang terbuat dari daun pisang) dan besek (piring bambu), berisi sumsum, candil, dan mutiara. Jenang terbuat dari tepung beras dan tepung kanji. Ada pilihan rasa gurih, yaitu adonan yang dicampur santan. Ada pula pilihan rasa manis, yaitu adonan yang dicampur gula jawa. Sensasi makan di tengah pasar pun menjadi daya tarik tersendiri. Tak heran, jenang candil racikan Bu Sugesti pun kabarnya digemari oleh keluarga Kraton, lho!
Lokasi: Di dalam Pasar Lempuyangan. Jl. Hayam Wuruk, Tegal Panggung, Daurejan, Kota Yogyakarta
Brongkos Warung Ijo Bu Padmo: Legendanya Brongkos Sleman
Yogyakarta itu luas, kulinernya menyebar sampai daerah perbatasan. Berkendara menuju batas provinsi antara Jawa Tengah dan DIY, mampirlah sejenak untuk mencicip masakan lezat yang telah legenda, Brongkos Warung Ijo Bu Padmo.
Berada tak jauh dari jembatan Krasak yang berada di Kecamatan Tempel, Kabupaten Sleman, persisnya utara pasar, temuilah warung makan dengan nuansa cat berwarna ijo (yang dalam bahasa Jawa berarti hijau). Saya pun perlu bertanya pada orang sekitar untuk menuju warung Brongkos legenda ini.
Hadir sejak 1950, kini Bronkos Warung Ijo Bu Padmo telah diteruskan oleh generasi kedua. Untuk alasan supaya cepat diingat pelanggan, tercatat pula di antara dinding dan atapnya angka 45, yang dalam bahasa Jawa adalah Papat Limo, atau disingkat Padmo. Sementara dipilihnya kata dan warna hijau dalam usaha kuliner ini adalah bagian dari filosofi Jawa; hijau yang memiliki makna jalan terus. Terbukti, sejak 1950, Brongkos Warung Ijo Bu Padmo mewarnai khazanah kuliner Yogyakarta. Bahkan sudi rasanya, datang meski berkendara dari jarak yang cukup jauh.
Kunci pada rasa Brongkos Warung Ijo Bu Padmo yang diturunkan secara temurun ini bukan saja terletak pada dapur yang masih menggunakan tungku api dan kayu bakar, namun juga komposisi rempah yang mampu menggoyang lidah pecinta kuliner nusantara dari masa ke masa. Sebut saja cabe merah, bawang merah dan putih, lengkuas, serai, daun salam, adalah bumbu dapur yang umum digunakan dalam membuat brongkos. Namun barangkali aroma kluwak pada Brongkos Ijo Bu Padmo ini lebih menggoda.
Sekilas, rupa dari masakan brongkos ini mirip dengan rawon. Namun percayalah, secara rasa jauh lebih kaya. Rasa manis dan asin pun bercampur pas. Belum lagi jika kita merobek cabe rawitnya. Pedasnya pun semakin terasa.
Lokasi: Jl. Magelang No.12, Jlegingan, Margorejo, Tempel, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta
Mie Lethek Mbah Mendes, Lethek Tapi Enak
Penggemar mie barangkali wajib mencoba Mie Lethek Mbah Mendes. Nama Mie Lethek merujuk pada unsur warnanya dimana lethek yang berarti kotor. Memang sepintas, warna dari mie ini terlihat kotor. Namun bukan berarti mie lethek tak layak konsumsi. Keistimewaan dari mie ini adalah bebas dari bahan-bahan kimia. Bahkan dalam proses memasaknya pun tak menggunakan penyedap rasa kemasan (MSG).
Terbuat dari tepung tapioka dan gaplek, proses pembuatan mie lethek pun terbilang unik. Tak jauh dari dapur masak sentra kuliner mie lethek, temuilah pabrik Mie Lethek Cap Garuda yang beralamat di Srandakan. Penggilingan mie lethek yang mengandalkan tenaga sapi ini pun membuat saya tak hanya memuji rasa, bahkan juga para maestro di baliknya. Sebuah batu yang kurang lebih memiliki berat satu ton bergerak melingkar ditarik sapi. Berdiri di atas lumping raksasa dua pekerja yang turut mengaduk adonan mie.
Untuk mencicip kelezatan seporsi Mie Lethek Mbah Mendes, datanglah ke salah satu warungnya yang bertempat di Maguwoharjo. Pilihan saya jatuh pada mie lethek rebus dan goreng. Saya pun perlu antre cukup panjang menunggu pesanan datang.
Untuk memastikan benar tidaknya tanpa penyedap rasa kemasan (MSG) saat memasak, saya mengintip langsung di dapur masaknya. Aroma bawang putih pun tercium kuat manakala para juru masak menggoyang peranti masak. Dijelaskannya satu persatu bahan dapur yang lazim digunakan. Seperti telor, daun bawang, kubis, seledri, irisan wortel, maupun suwiran daging ayam.
Jika harus bicara soal rasa, percayalah bahwa saat pertama kali lidah menyentuh lembutnya mie lethek, pujian yang pertama kali keluar adalah lezat dan enak.
Lokasi: Maguwo, Maguwoharjo, Depok, Sleman, DI Yogyakarta. Tepatnya di belakang Lotte Mart
Rela Mblusuk Demi Menyantap Mangut Lele Mak Badar
Lagi-lagi Bantul harus diakui sebagai sentra kuliner yang berpengaruh dalam mewarnai khazanah industri pangan dan pariwisata Yogyakarta. Paculah kuda besimu menuju kampus ISI Yogyakarta. Tepat di barat kantor POS, seberangilah jalan dan masuklah di antara gang kecilnya. Memang, untuk yang baru pertama kali datang ke sini, perlu banyak bertanya agar bisa sampai ke warung makan Mangut Lele Mak Badar.
Warung kecil berukuran 3×6 meter ini tengah ramai saat saya datangi. Rumah pemadam kelaparan ini umumnya mampu menampung hingga 20 pelanggan untuk makan di tempat. Sisanya, silakan bisa merasakan sensasi makan sembari jongkok di halaman.
Kunci masakan mangut lele hingga diburu banyak penikmat kuliner ternyata ada pada kesabaran dalam proses memasaknya. Pernah turut andil dalam membuat kondang usaha kuliner mangut lele Sang Ibu, yakni Mangut Lele Mbah Marto, kini Mak Badar memilih untuk menciptakan ruang baru bagi pemburu mangut lele. Rumah dan warungnya pun persis berada di samping warung makan Sang Ibu.
Dalam satu hari, Mak Badar sanggup menghabiskan 90 lebih tusuk mangut lele. Itu pun belum termasuk pesanan luar kota. Proses panjang untuk membuat lezat mangut lele dipertontonkan secara cuma-cuma. Saya pun tak kuasa menahan perih di mata saat memasuki ruang asap lele. Sungguh, Mak Badar adalah maestro juru masak yang hebat. Ruang dengan lebar tak seberapa ini mampu membuat Mak Badar betah. Butuh lebih dari dua jam supaya lele benar-benar matang dan siap diaduk bersama racikan rempah kuah mangut.
Perpaduan bumbu rempah yang pas tak membuat siapapun kecewa datang jauh-jauh. Ukuran lele yang relatif besar ini terasa lebih nikmat jika diganyang tanpa nasi. Daging lele yang empuk dengan rasa manis dan gurih adalah ciri khas dari masakan mangut lele Mak Badar. Bagi yang bertanya dimana sambal? Tenang. Padulah mangut lele dengan krecek buatan Mak Badar. Rasa pedasnya mampu menggantikan sambal.
Lokasi: Belakang Kampus ISI Yogyakarta. Ngireng-ireng, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DI Yogyakarta
Baca halaman berikutnya
salah sekali hamba membaca postingan ini siang-siang saat lapar menyerang.
Sate Kere berkuah begitu belum pernah nyobai, di kampungku ada penjual sate gajih keliling tapi bukan disajikan dengan kuah.
Kalo boleh tau, favorit penulis dari 10 kuliner ini yang mana?
penulis menfavoritkan makan sama siapanya. bukan makan sendiri haha.
sabar. ini baru 10. masih ada 11 yang kusimpan dalam draft
Dari sepuluh macam kuliner itu, yang pernah kucicip cuma satu thok: Soto Kemangi Kemasan. PR sekali buat menjelajah sembilan lainnya yang memang semuanya meyakinkan untuk diicip.
Hannif mblusuk-mblusuknya sama siapa e sampai pasar-pasar juga :p
Aku saja belum pernah masuk Pasar Lempuyangan wkwk. Lain kali harus ketemu sama jenangnya.
Ini baru 10 ya. aku masih punya banyak. lagi pegel sing nulis dan mikir.
kamu g liat itu tangan pas di pasar mulus gitu? jempol semua lagi. tangan mas aji dongs. haha.
Nah, jenang enak serius. aku bela2in datang dari klaten sepagi mungkin, terus dikejar buk ibuk yang curhat kalau suaminya selingkuh. ibuk itu pengen bobol WA suaminya. aku tak bisa wkwkw
Mi Lethek belom mbak? Bukane udah?
Wah jadi laper banget.
Soal Gudeg Manggar, aku pernah dateng di kelas menulisnya Mbak Windy, dia cerita kalau Gudeg Manggar ini yang otentik asli Jogja. Selain Gudeg Nangka tentunya. Hmm maksud e mungkin malah sik Manggar ki sik asli.
Asik ya gagal di lomba malah jadi tulisan di blog sendiri. Hahaha.
Aku juga pernah niat banget pagi-pagi ke Pasar Lempuyangan cuma buat beli jajanan pasar. Terus mampir sekalian ke bubur candilnya. Enak banget asli. Poll lah pokokmen.
sebenarnya banyak yg asli Jogja. soalnya Mba W baru berkunjung ke Gudeg Manggar mbok seneng. aku pun ke sini gegara baca salah satu storiesnya kok. haha
mie lethek itu mengingatkan aku saat zaman dahulu kondangan di kampung2 sajiannya ya itu. walaupun bentuk dan rupanya kurang menarik entah mengapa rasanya gurih apalagi ditambah bumbu2 gitu. lebih enak lagi kalau dapat karena hasil mberkat ketika ada tetangga punya hajat. sekarang mah bihun dan mie2 kayak gitu rasanya beda
wah, bahagia sekali rasanya dapat mie lethek kalau ada acara2 di desa ya. sekarang pun porsi mie bihun kalau acara kenduren lebih sedikit. banyakan nasinya. haha.
Berburu kipo saat pagi sebelum sepedaan adalah waktu yang menyenangkan hahahahahha. Setelah itu baru nyari soto buat sarapan.
Soto tetep menu sarapan yang enak
Tetep isih penasaran karo Gudeg Manggar e lur. Traktir to lur… Yen Brongkos, daku tetep sreg ama rasa brongkos samping Pasar Ngasem, luih enak ketimbang brongkos alun-alun kidul. Namun, tetep kembali ke selera lidah masing-masing sih. :-
tapi kan koe rung nyoba brongkos ijo iki koh. haha. Cobai dulu.
Gudeg Manggar adoh. ayoklah. mari genapi kelana wisata kuliner ini
Tepat seminggu lalu aku mampir ke Mie Ayam Goreng Seyegan itu. Bertahun-tahun dipameri temanku yang rumahnya dekat sana, akhirnya baru kemarin kesampaian. Dan aku sukaaaaa, enak. Teksturnya, rasanya, lada hitamnya, pokoknya sukak. Sambelnya juga unik, kaya sambal ayam goreng. Ebetewe itu disebutnya bukan sawi ijo lho, Hanif. Menurut buibu meski warnanya ijo itu masih masuk golongan sawi putih. Beda dengan sawi yang dipakai mie ayam biasanya. Sekian dan terima traktiran :p
yes. sambalnya berbeda dari biasanya.
eh iya ini buk ibuk emang jago ngoreksi soal makanan. hehe. iya ya. sawi putih. walaupun pucuknya ijo. oke aku edit. hihi makasih
Nasi kucing ala jogja yang mantap !
Sangat bersahabat dengan mahasiswa hehe
tapi sekarang mulai mahal Min, haha