Tanpa porter, tanpa pemandu, rombongan kami berbekal ransel antara 3 s.d 5 kg yang isinya tak beda dari bekal pendakian. Tak lebih seperti pakaian ganti, nasi bungkus, selimut, sarung, perlengkapan sholat, dan kamera saku. Hanya aku yang mungkin nampak berbeda diantara sekumpulan orang yang tersihir pantai Sedahan. Begitu banyak orang ke Gunungkidul, tapi sedikit orang yang bisa sampai tempat ini.
Perjalanan panjang kami dimulai dari pusat kota Yogyakarta. Kiranya memakan waktu lebih dari dua jam perjalanan untuk sampai di meeting point, pantai Wediombo. Tak ada bedanya dengan kegiatan pendakian. Hadiah yang cantik selalu diberikan kepada orang-orang yang berhasil melewati berbagai macam kesulitan dan menjadi juara. Medan yang berat pun menjadi keharusan untuk dilalui para wisatawan yang berkunjung ke Sedahan. Tepat saat matahari berada di atas kepala, rombongan kami mengalami kecelakaan yang cukup serius. Tikungan tajam memang seringkali memakan korban. Rambu-rambu pun seringkali dihiraukan. Standar keamanan berkendara tidak diperhatikan. Dua orang dari rombongan tergelincir di tikungan dan terhantam keras di atas tanah. Nyaliku ciut kala ingin memberi bantuan, mendengar napas korban seperti dalam pacuan maraton. Cepat-cepat aku keluarkan obat P3K yang telah kusiapkan sambil menyisihkan puing-puing kendaraan yang pecah berhamburan. “Di sini seringkali terjadi kecelakaan”, begitu kata mereka yang lewat dan menawarkan bantuan. Rumah sakit yang tak lagi bisa dijangkau mengharuskan kami merawat teman di hutan. Tak lebih 1,5 jam, mereka sudah bisa berjalan meski kesakitan. Lagi-lagi sihir Sedahan mengalahkan segalanya. Rasa sakit tak lagi dihiraukan, anggota badan yang memar seperti sudah biasa dirasakan. Dengan pelan-pelan kami pun melanjutkan perjalanan.
Pantai Sedahan tersembunyi di tengah rimba lebat, tepatnya di Dusun Jepitu, Kecamatan Girisubu, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cukup dengan membayar Rp5.000,00 wisatawan bisa mengunjungi Pantai Wediombo, Pantai Jungwok, Pantai Greweng, dan tentunya Sedahan. Hanya saja, Sedahan menantang keberanian para perambah dunia. Tak puas dengan tikungan jalan yang tajam, Sedahan membuat kami harus berjalan setapak demi setapak dari meeting point Wediombo untuk menuju puncak, melewati hamparan ladang palawija, dan mempertaruhkan nyawa menyusuri tebing curam. Tak ada penunjuk arah, tak ada jaringan GPS sekalipun signal. Sepanjang perjalanan trekking, terlihat batu-batuan tajam yang gagah menantang siapapun yang ingin ke Sedahan. Jalan setapak pun kadang tak nampak di antara para ilalang. Sesekali juga akan kita temui para petani yang menghabiskan waktunya mengurus ladang. Tak akan membosankan dalam perjalanan, di ketinggian akan tampak seluas mata memandang hanya hutan berbalut tanaman liar. Perjalanan trekking akan memakan waktu satu jam lebih, itu pun jika tidak tersesat di hutan. Penaklukan Sedahan merupakan pembuktian keberanian, keteguhan, dan kesabaran.
Kami pun berhamburan tak karuan ketika tepat di depan kami nampak hamparan pasir putih. Tas yang tak lagi dikenal isinya dijatuhkan sembarangan, berlarian dengan gaya heroik sambil mengeluarkan tongsis (tongkat narsis). Jelas Sedahan masih perawan karena tak seorang pun kami temui di pantai seluas 100 meter ini. Dua batu karang kokoh di sisi barat dan timur berdiri gagah menahan terjangan ombak. Belum lagi suara burung camar yang sesekali terdengar samar. Sedahan yang tadinya mengerikan, kini telah menjadi tempat kami berpesta.
Sedahan bukanlah tempat wisata yang telah dikomersialkan. Tak ada toilet, rumah makan, homestay, sekalipun itu yang membuat kami manja akan kemajuan zaman. Maka dari itu, bagi siapapun yang ke Sedahan wajib persiapan matang mulai dari fisik, mental, dan perlengkapan. Bekal yang ada pun dikeluarkan, termasuk nasi bungkus yang telah disiapkan. Saatnya kami makan siang dan menikmati alam. Sembari menunggu tenggelamnya Fajar, beberapa teman mengumpulkan cuilan-cuilan kayu untuk dibakar di malam hari, sedangkan aku sendiri sibuk merangkai tenda yang akan menjadi rumah sementara di Sedahan.
Saat malam tiba, ada pertunjukan tersendiri yang diperlihatkan oleh Sedahan. Diantara padangnya api unggun yang kami siapkan, aku berteriak lari ke bibir pantai melihat plankton yang menyala hijau cerah diantara malam. Saat kupegang, ia memudar dan meninggalkan cairan hitam di genggaman. Ratusan plankton yang menyala dan terombang-ambing terbawa arus menjadi suguhan kami malam itu. Puas dengan pertunjukan plankton, aku pun mendendangkan beberapa buah lagu di antara kehangatan malam. Memang malam itu adalah malam spesial di luar kegiatan perkuliahan. Curhatan-curhatan dibiarkan mengalir dan diceritakan. Saat-saat seperti inilah makhluk yang bernama manusia bisa berkata jujur tak dibuat-buat.
Malam seakan lebih lama di Sedahan. Jarum jam terus menunjukkan waktu yang sama saat itu. Makan malam pun dipersiapkan. Ubi dan ayam dikeluarkan dan dibakar. Hanya beralas daun pisang, menggunakan jari tangan, tanpa nasi. Ayam dan ubi bakar terasa lebih nikmat diganyang. Sesekali candaan keluar di malam minggu kala itu, ada teman yang makan tulang bekas gigitan orang, ada lagi yang makan pasir, dan ada yang dilompati katak. Snack yang dari tadi dibagikan bahkan kalah oleh cerita teman. Saat kami mulai diam, langkah-langkah kecil terdengar dari kejauhan, lampu-lampu senter disorotkan ke arah kami. Ternyata rombongan anak MAPALA STIPRAM Yogyakarta tersesat di Pantai Sedahan. Berhubung tengah malam, kami pun menawarkan tumpangan untuk bermalam bersama di Sedahan. Tapi ternyata Greweng tak kalah akal untuk menyihir mereka. Di tengah malam itu juga mereka nekat menuju pantai Greweng.
Malam pun telah berganti. Seusai sholat subuh kami sarapan seadanya. Roti semalam dikeluarkan. Beberapa teman sudah berada di bibir pantai dan di antara semak untuk melakukan ritual pagi, buang hajat. Tapi aku tahu mereka adalah orang-orang yang bertanggung jawab, sadar betul bahwa alam bukan untuk dirusak apalagi dikotori. Kegiatan traveling selalu berusaha untuk tidak meninggalkan jejak secuil apapun kecuali jejak kaki, mengambil apapun kecuali gambar, dan membuang apapun kecuali waktu.
Setelah puas bermain ombak dan berjemur di bawah terik matahari, kami pun segera berpisah dengan Sedahan. Menutupnya dengan doa syukur, memastikan tidak ada yang tertinggal sekalipun kotoran. Kami siap pulang, menyusuri tebing curam dengan bekal yang sudah tak ada lagi di tangan. Hanya langkah-langkah lelah sisa bersenang-senang yang kami bawa pulang. Tiada kisah cinta tanpa terbubuh noktah, tiada pertemuan tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang. Selamat tinggal Sedahan, semoga kau terus terjaga, tetaplah mempesona!
Akhirulkalam, izinkan aku menghaturkan semua rasa terimakasih kepada semua teman perjalanan ini. Dendy, Chandra, Claudio, Rani, Kakak Rani, Yunis, Bunda Yusnia, Fitri, Humai, Mba. Sintha, Puspita, Nurma, dan Nia. Thank You.