Saya sempat terdiam ketika melewati hutan-hutan yang sepi. Apakah kami tersesat di Raja Ampat? Ah..tidak. Andai kami tersesat paling tidak kami bisa menghubungi orang yang kami kenal di Raja Ampat. Tapi tak berdaya ketika layar handphone menunjukkan buruknya sinyal yang kami dapat. SOS (Stop Other Signals) menandakan bahwa handpone saya sudah tak berguna lagi untuk berkomunikasi.
Batuan-batuan andesit terlihat gagah berdiri di sepanjang jalan yang kita lewati. Akar-akar yang bergelantungan dan ditiup sepoi seakan melambai menyambut kedatangan saya. Bayangan hutan belantara film Jurassic Park pun masuk di kepala. Andai saja ada harimau buas menerkam saya dari belakang. Andai ada masyarakat primitif yang menombak dan menjerat saya. Tapi khayalan menakutkan itu saya buang jauh dari pikiran. Selintas terlihat burung rangkok paruh kuning dan nuri yang menari-nari di atas pepohonan. Sayangnya, kami tak menemukan seekor cendrawasih pun, burung kebanggaan Papua yang dilindungi.
Berhentinya motor yang saya gunakan menghentikan lamunan saya tentang belantara hutan ini. Suguhan tak mengenakkan tampak di pantai kedua yang kami singgahi setelah WTC. Pantai ini dinamakan pantai Orfur oleh masyarakat setempat. Bagaimana asal-usul penamaannya saya belum menanyakan pada masyarakat asli. Andai mencari di internet juga tidak akan diketahui. Mungkin inilah tulisan pertama yang akan mengupas lebih banyak tentang Pantai Orfur.
Untuk sampai ke pantai ini, dibutuhkan waktu kurang lebih 30 menit dari WTC. Jangan bertanya tentang transportasi. Tukang ojek pun sepertinya akan enggan untuk mengantarkan wisatawan sampai ke Orfur. Mudahnya, gunakan kendaraan pribadi atau sewa mobil. Medannya yang menanjak dan jauh dari perkampungan mengharuskan saya harus memastikan bensin terisi penuh. Maklumlah, Waisai baru memiliki satu buah SPBU.
Saya bahkan belum mengeluarkan kamera, teman saya Arif sudah siap untuk difoto. Suasana di pantai Orfur sangatlah sepi. Ombak tetaplah membisu seperti biasanya. Tak ada suara-suara kecil yang kami dengar kecuali keributan sandal-sandal kami yang menyeret pasir pantai. Pemandangan tak biasa kami dapati di pantai ini. Bongkahan-bongkahan kayu papan, motor rongsokan, lubang-lubang galian begitu saja dibiarkan. Sepi wisatawan mungkin membuat pemerintah daerah tidak memberikan perhatian kepada pantai yang sejatinya cantik nan indah ini. Tak perlu banyak protes untuk mencaci keburukan. Mulailah dari tangan-tangan kecil kita ini untuk belajar merawat kehidupan.
Saya bosan dengan suguhan pemandangan tak indah ini. Maka saya memutuskan berjalan dari ujung ke ujung pantai. Tak sengaja saya menemukan spot foto yang baik. Bukan untuk menjadi ajang pamer di sosial media. Tetapi di balik ini semua, Tuhan ternyata masih menyisakan pada kita akan keindahan ciptaan-Nya. Air lautnya yang berwarna hijau tosca tampak segar tanpa adanya sampah sedikitpun. Dedaunan pun sepertinya malu jika ia harus jatuh dan mengotori pantai ini. Berdiri diatas pohon yang telah tua dan membungkuk ini menjadi alternatif untuk menikmati sepoinya angin yang bertiup.
Sejauh mata memandang, saya masih bisa melihat pulau kecil yang hampir tak berpenghuni. Disekelilingnya nampak hamparan pasir dan pepohonan kelapa yang menjulang tinggi. Lautan yang serupa cermin itu memperlihatkan pada saya betapa menawannya lautan Raja Ampat. Pantas saja banyak orang yang memberikan julukan ‘Last Paradise on Earth’. Surga terakhir di dunia. Entahlah, seberapa besar penasaran orang untuk bisa sampai ke Raja Ampat sampai rela merogoh kocek puluhan juta.
Pecahan-pecahan kerang yang terbawa arus laut memberikan maksud tersendiri dari pantai ini. Mungkin Orfur sebagai tempat damainya si Kerang. Tak hanya satu dua, bahkan ribuan kerang yang tak bernyawa tertumpuk disini. Kilauan dan keras kulitnya membuat kami tertarik untuk membawa pulang sebagai buah tangan dari Orfur. Tapi kami tetaplah tamu yang datangnya tak diundang. Datangnya kami bukan untuk mencuri pada alam apalagi merusaknya. Sampai datanglah bapak berparas tua yang mengijinkan kami untuk membawa kulit kerang itu.
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa kami sudah banyak menghabiskan waktu untuk urusan kami yang lebih penting. Bertemu Wakil Bupati Raja Ampat. Esok masih ada hari untuk melanjutkan perjalanan bersenang-senang. Pada akhirnya, kami harus berpamitan pada Bapak yang mengijinkan kami membawa pulang beberapa kulit kerang. Sampai jumpa Orfur. Bantu kami merawat negeri ini.
Di bagian kiri pantainya yang ada dermaga asyik tuh buat bersantai..apalagi kalau malam, banyak yang mancing di sana..
iya mas . saya lihat di artikel mas. mas pernah bermalam di Saleo ya ? sayang sy kesana pas benar2 sepi.
thanks ya udah berkenan mampir 🙂
ayo berpetualang !