Perlahan tapi pasti. Dengan amat hati-hati saya pijakkan kaki saat meniti tangga candi. Tak seperti candi-candi di Jawa Tengah, candi yang satu ini terlihat begitu rapuh untuk menahan beban orang-orang diatasnya. Rasa takut sempat mengusik, namun Pak Pemandu bilang wisatawan boleh menaiki candi dan mengambil gambar sepuasnya. Dari tingkat kedua saya beranikan diri untuk mengitari seluruh bagian candi, menelisik setiap sudut bangunan bersejarah ini.
Menurut kitab sastra kuno Nagarakertagama bangunan ini bernama Candi Jajaghu yang berarti keagungan. Namun, terletak di dusun Jago, kecamatan Tumpang, kabupaten Malang, Jawa Timur membuatnya disebut Candi Jago. Masyarakat sekitar sendiri menyebutnya Cungkup, yang berarti bangunan yang dikeramatkan. Candi Jago berada di tengah-tengah pemukiman warga. Jarak antara candi dan area pemukiman sekitar 2-3 meter yang dibatasi dengan pagar kawat berduri. Ketinggian daerahnya 597 mdpl, dengan suhu rata-rata 20-29 derajat celcius.
Masih pagi ketika saya berkunjung kesana. Udaranya sejuk dan pemandunya ramah. Candi Jago menghadap ke arah barat dan bangunannya bertingkat. Semakin ke atas bangunannya semakin kecil. Bentuk bangunan seperti punden berundak ini diyakini sebagai salah satu tempat pendarmaan (pemuliaan) Raja Wisnuwardhana yang merupakan Raja keempat kerajaan Singasari. Konon, sebagian abu Sang Raja telah ditabur di candi. Pada bagian teratas berdiri sebuah pintu tanpa ruang. Reruntuhannya masih dibiarkan tersusun acak di bawahnya. Beberapa batunya bahkan terlihat hijau ditumbuhi lumut.
Candi Jago mungkin tak terlalu megah, namun relief-relief indah menghiasi seluruh dinding candi. Relief yang menggambarkan ribuan cerita. Ada decak kagum ketika saya menyentuh tonjolan-tonjolan kisah yang terukir rapi di dinding candi. Dari bawah ke atas, relief-relief itu bercerita tentang Siwabudha, yaitu perpaduan antara agama Hindu dan Budha yang dulu dianut Sang Raja. Lebih ke atas lagi, terdapat relief fable yang menceritakan kisah Angling Dharma. Semakin ke atas, relief Hindu mendominasi dengan cerita Mahabarata dan akhirnya berujung pada relief Krisnayana.
Keingintahuan semakin menghinggapi ketika saya melihat sebuah arca yang telah hilang kepala dan lengan-lengannya di sudut halaman candi. Arca berlatarkan singsana itu rupanya adalah arca Bhairawa sebagai perwujudan dari Adityawarman ketika masih berstatus Mahadiraja di kerajaan Majapahit. Beberapa arca lainnya seperti Kala dan Yoni juga terpisah dari bangunan candi, bahkan tumpukan batu yang mungkin tidak ditemukan pasangannya teronggok di belakang bangunan utama candi Jago.
Candi Jago dengan kekayaan sejarahnya juga memiliki taman yang asri pada halamannya. Rerumputan hijau terlihat segar berpadu dengan magisnya bangunan candi. Candi yang terlihat tidak begitu kokoh ini masih cantik dengan dinding yang berhiaskan relief indah disana-sini. Inilah yang membedakannya dari candi-candi lain, bentuknya yang seperti punden berundak, fungsinya sebagai tempat pendarmaan Sang Raja, serta dindingnya yang penuh relief.