Saat itu, saya menjadi orang yang kehabisan lokasi keluyuran di tanah sendiri. Beberapa tempat yang sudah berkali-kali saya datangi tak menawarkan pengalaman yang berbeda. Tampaknya rasa bosan itu manusiawi. Sampai datanglah kawan saya yang mengabarkan bahwa terdapat kampung unik di Kecamatan Kemalang bernama Gir Pasang. Kami pun bertukar informasi hingga mendapatkan nomor pengelola lokal yang bisa ditemui.
Jelang siang nan terik, saya berangkat seorang diri menuju Kampung Gir Pasang. Kehilangan sinyal adalah bencana buruk yang tak saya harapkan. Berkali-kali saya mencoba untuk menghubungi pengelola, namun tak satupun garis sinyal masuk ke gawai saya. Belum lagi jalan rusak berbatu yang harus saya lewati, membuat saya hampir putus asa untuk datang ke Gir Pasang.
Setelah habis melewati jalanan rusak beserta truk penambang pasir yang mengantre panjang karena lubang besar yang melintang, kini saya harus melewati jalanan yang berlumpur. Ban motor hampir tak bisa berputar. Untunglah, warga lokal yang melihatnya sigap mendorong motor saya yang hampir jatuh.
“Sudah dekat kok, Mas!”. Sosok wanita yang belum saya ketahui namanya itu ikut menyemangati.
Kantong parkir terlihat sangat sepi. Saya memastikan bahwa saya memang sudah dekat dengan Gir Pasang. Pemilik lahan parkir pun menyambut saya dan menunjukkan lokasi persis Kampung Gir Pasang.
Nampaknya ia heran. Pikirnya, terlalu berani saya datang ke Gir Pasang sendiri. Belum lagi melihat beban tas yang saya gendong. Ingin rasanya ia menawarkan bantuan. Tetapi ia terlanjur percaya karena saya menyebut nama seseorang; Prasetya Cahyana selaku pokdarwis Kampung Gir Pasang.
Treking empat puluh menit
Memiliki ketinggian 1.185 Mdpl dan berjarak empat kilometer dari puncak Gunung Merapi, Gir Pasang memberi pasokan udara yang sangat bersih tanpa polusi. Saya pun khusuk menghirup udaranya yang segar.
Saya menyusuri anak tangga di tepian tebing. Masyarakat setempat menyebutnya anak tangga yang sudah diperkeras dengan semen ini dengan nama 1.001 anak tangga. Meski jumlahnya lebih dari seribu, nyatanya jalur ini memiliki daya tarik bagi para pengunjung yang datang ke Gir Pasang.
Sejauh mata memandang, hanya rimbun pepohonan yang terlihat jelas di sekeliling. Suara tongeret –serangga pohon– menyertai perjalanan saya menembus hutan Gir Pasang. Belum lagi suara burung dan perkelahian kera yang berebut makan. Tak terhitung sudah berapa banyak suara satwa yang saya dengar saat menuju kampung terpencil ini.
Tak ada lawan bicara selama saya melewati ribuan anak tangganya. Saya begitu menikmati perjalanan dengan berbagai lamunan dan imajinasi tentang rimba rumah para binatang karnivora. Tapi saya tak merasa berada dalam ancaman yang besar. Saya lebih khawatir pada kekuatan kaki saya. Akibat kelalaian tanpa pemanasan saat treking di Gunung Tambora pada 2016 silam, kaki kanan saya mengalami cidera. Untunglah, saya berhasil melewati anak tangga Gir Pasang tanpa rasa nyeri yang kambuh.
Empat puluh menit sudah saya berjalan. Tak ada penanda yang membuat saya percaya telah sampai di Gir Pasang. Hanya ada bangunan anyar menyerupai ruang pertemuan yang dilengkapi toilet. Bau semennya pun tercium masih basah. Penanda itulah yang akhirnya membuat saya yakin telah sampai di Gir Pasang, kampung tertinggi di Klaten.
Di kampung ini, saya berjumpa Iyoso Rejo (65 tahun). Boleh dibilang, Iyoso merupakan juru kunci di Gir Pasang. Saat itu, Iyoso sedang ngaso di halaman depan sembari mengurus ternak itiknya. Sapaan saya dibalas ramah dengan menyilakan saya untuk duduk di lincak rumahnya.
Sajian sederhana
Obrolan kami pun mengalir. Bahkan tak disangka, keluarga Iyoso menyuguhkan saya makan siang. Dengan hidangan lauk berupa sayur rebung –tunas yang masih muda yang tumbuh dari akar bambu– Iyoso mengajak saya untuk ikut makan siang bersama.
Betapa rebung telah hadir sebagai santapan keakraban yang menghangatkan sambung rasa. Sejujurnya, saya tak pernah menyukai sayur rebung . Ini adalah pertama kalinya saya menikmati rebung bersama keluarga Iyoso di Gir Pasang. Mungkin, suasana makan dan bersama siapa lah yang membuat saya dapat berdamai dengan sayur rebung.
Asal muasal Gir Pasang
Terdapat beberapa versi yang menerjemahkan asal-usul nama Kampung Gir Pasang. Pertama, diambil dari kata Gligir Pasang. Gligir yang berarti pinggiran atau pinggir jurang, dan Pasang yang berarti sepasang. Versi lain menyebutkan bahwa Gir Pasang diambil dari kata Gligir yang artinya jurang dan Pasang yang berarti pohon Pasang (Quercus sundaica) yang merupakan tumbuhan asli Gunung Merapi.
Kisah ini bermula dari seorang kyai bernama Ki Trunosono (Kyai Pacul Kuoso) yang berasal dari Penembahan Paku Buwono VI. Namun nampaknya, Ki Trunosono tak mewarisi cerita yang lengkap kepada anak cucunya.
Saat itu, Kyai Pacul Kuoso yang mulanya tinggal di lembah Kapuan dekat Gua Jepang merapi mendapatkan titah untuk pindah dan menempati Gir Pasang. Namun sayangnya, kisah berpindahnya Ki Trunosono menuju Gir Pasang tak diketahui oleh banyak orang. Begitu pula saat saya bertanya langsung ke Iyoso yang ternyata adalah generasi keempat dari Ki Trunosono. Ia pun tak tahu pasti kapan persisnya Ki Trunosono menempati kampung halamannya sekarang. Lebih lanjut dikisahkan, Ki Trunosono memiliki sembilan anak dengan sebutan Pandawa Sembilan yang keturunannya masih mendiami Gir Pasang.
Nama Gir Pasang pertama kali diwartakan saat medio 2010 pasca erupsi merapi. Namun belakangan ini, Kampung Gir Pasang menjadi terkenal saat pemberitaan media yang mengabarkan bahwa terdapat kampung yang terisolir dan kesulitan air di Klaten. Faktanya memang demikian. Lokasi Gir Pasang terisolir lantaran berada di atas tebing di atara dua sungai. Anak-anak usia sekolah harus menempuh perjalanan selama 30 hingga 40 menit untuk bisa sampai ke sekolahnya. Para warga pun masih mengandalkan air tadah hujan untuk kebutuhan sehari-hari.
Merasa memiliki ikatan yang kuat dengan Merapi, setiap malam Jumat Pon, masyarakat Gir Pasang akan berkumpul dalam suatu hajatan. Pada malam ini, masyarakat yang masih memiliki keturunan dengan Ki Trunosono akan menghidangkan sajian berupa kue apem. Tradisi yang rutin diselenggarakan setiap Jumat Pon ini ditujukan untuk meminta keselamatan dan kemakmuran kepada Tuhan YME.
Rumah-rumah yang sederhana
Keunikan lain yang dimiliki Gir Pasang adalah arsitektur rumahnya. Tak ada bangunan modern dan bertingkat di sini. Dari 12 Kepala Keluarga yang menempati 9 rumah, beberapa rumah masih beralas tanah dan berdinding anyaman bambu. Sangat sederhana. Namun memberi kenyamanan saat bersantai di pelatarannya.
“Kapan terakhir kali ke kota?”, dengan penuh keisengan saya bertanya pada mereka.
“Sudah lupa mas. Terakhir ya pas Merapi meletus itu (tahun 2010)”, ungkap Yos Harjo (60 tahun), istri dari Iyoso Rejo.
Melihat kota adalah perjalanan yang langka bagi keluarga Iyoso Rejo. Andai ancala Merapi tak sedang berstatus awas, ia tak akan pernah meninggalkan rumahnya. Gir Pasang telah menjadi rumah penghabisan bagi mereka. Bayangan tentang kota hanya dapat dilihat tatkala Merapi sedang bergejolak beberapa tahun sekali.
Tapi kini justru sebaliknya. Orang kota datang ke Gir Pasang dalam rangka berwisata dan mencari ketenangan. Terkadang juga, mereka datang untuk sekadar ingin tahu tentang kampung terisolir di kaki Gunung Merapi, Klaten.
Perjalanan orang kota menuju Gir Pasang kemudian direspon baik oleh beberapa warga. Sebagian dari mereka menganggap bahwa Gir Pasang cukup cocok untuk menjadi tempat wisata yang menawarkan kesederhanaan.
Kendati telah banyak didatangi orang karena rasa penasaran yang besar, Gir Pasang menurut pandangan saya belum cukup siap untuk menjadi tempat wisata. Tentu akan banyak kajian, proses rembug warga, agar pengembangan kawasan wisata Gir Pasang tak berdampak buruk terhadap nilai-nilai budaya, sosial, dan lingkungan. Jangan hanya melihat dari dampak ekonominya, lantas terburu-buru untuk membuka Gir Pasang sebagai kawasan wisata.
Namun nampaknya pengembangan kawasan wisata Gir Pasang telah menemui kata sepakat. Dengan mayoritas masyarakat yang berprofesi sebagai petani, masyarakat Gir Pasang kini sedang bersiap menyambut masuknya konsep desa wisata. Bahkan yang saya dengar, masyarakat lokal sudah membentuk Kelompok Sadar Wisata (POKDARWIS).
Baca juga : Bertemu di Klaten
Mengembangkan Gir Pasang menjadi kawasan wisata tentunya tidak mudah. Sebagai daya tarik yang berada di lingkar Gunung Merapi, pengembangan kawasan Gir pasang haruslah memikirkan usaha pelestariannya. Gir Pasang tak harus diubahnya menjadi kampung dengan cat warna-warni agar mendatangkan banyak wisatawan. Atau menghias Gir Pasang dengan spot foto kekinian agar cepat terkenal.
Biarlah Gir Pasang seperti apa adanya. Dalam pengembangannya, hanya perlu menguatkan storytelling dan gaya berceritanya. Biarkan wisatawan datang dan berbaur bersama keluarga Iyoso rejo dan lainnya. Biarlah mereka mencicip sayur rebung seperti apa yang pernah saya nikmati di sana.
Ingin berdamai dengan suasana hati? Datanglah ke Gir Pasang!
Enak ki. Setelah aktivitas seminggu capek di kota. Menepi menikmati udara segar yang bersih. Mantep
yoi mas
Iya Nif, aku juga kadang merasakan kebosanan jika jalan-jalan di suatu tempat terus mengabadikan dalam pencetan tombol shutter, terus udah.
Aku rindu berinteraksi, dapat ilmu baru, saudara baru, dan “sesuatu yang membekas”.
Membahas tentang Girpasang, itu boleh nggak dibangun rumah lebih dari sembilan rumah? wkwk masih kebawa-bawa sama Kampung Pitu Nglanggeran.
Itu di foto juga ada yang udah berdinding batako Nif… Aaaa aku tertarik sama tempat ini. Syahdunya minta ampun. Semoga kemarau tahun depan, Girpasang enggak ada kasus kekurangan air lagi. Aamiiin.
boleh kok kalau untuk bangun rumah baru. g ada budaya atau pamali kaya di Kampung Pitu sana.
Oh iya ya. mungkin redaksi artikelku bukan semua, tapi beberapa masih berdinding anyaman dan beralas tanah. makasih koreksinya Mba.
Orang-orang di kampung itu baik-baik ya. Ramah dan rela berbagi. Baru kenal saja sudah menawari makan siang enak. Btw, memang disana masih ada binatang buas ?
itu udah kujelaskan lho, imajinasi dan lamunan
Ajak kami ke sini humasssss
Ini tempat bener-bener menggoda buat diinapi
Ayok. Berangkat!
Lokasinya masih di Jawa Tengah tapi kalau membaca ceritanya terus melihat fotonya Sepertinya di mana gitu ya, Mas. Apalagi waktu jalan masuk ke desanya bertangga itu, sendirian pula lagi, waduh gentar kalau aku 😉
Haha. gentar? Maju aja terus mba. Aku malah sendiri terus jalannya. Pulang pun juga. hehe.
Ini di Klaten. Menarik kan Klaten?
wuah, emang traveler sejati nih mas hanif. Kalau sha belum berani trekking sendiri 😀
Jadi, cuma ada 9 rumah aja di sana yaa?
hahha. minta ditemani sha?
Iya. Baru ada 9 rumah di sana. Kampung yang unik. Eh. masih di Jogja?
Yup, bener banget. Biarkan Desa ini seperti ini adanya. Tidak perlu dipasang benda-benda aneh seperti kayu yang dibentuk hati atau sayap guna menyambut wisatawan yang perlahan akan masuk ke desa ini.
terimakasih Mas sudah berkenan mampir ke sini
Enak juga abis seminggu penuh suntuk sumpek di kantor kota jalan-jalan keluar ke daerah seger, bisa have fun sekalian itung-itung gerakin badan juga