Bermula dari penemuan sumur minyak oleh perusahaan Belanda, Bataavishe Petroleum Maatchaapij (BPM) pada 1896, Kota Tarakan kemudian ditasbihkan sebagai Kota Minyak lantaran memiliki banyak cadangan minyak dan gas dalam jumlah yang besar. Masa kejayaan sumber minyak ini pun turut mengundang Jepang untuk menyerang Belanda yang lebih dulu menguasai Tarakan. Perseturuan di antara keduanya pun terjadi. Salah satu alasan dipilihnya Tarakan sebagai target penyerbuan Jepang adalah kebutuhan sumber minyak untuk menggerakkan mesin dalam Perang Asia Timur Raya.
Mendulang cerita Perang Asia Timur Raya lewat Museum Sejarah
Selepas lenyapnya sinar merah di ufuk barat, angkatan Jepang bergerak ke pantai timur Tarakan. Tengah malam, 11 Januari 1942, sebanyak 20.000 tentara Right Wing Unit mendarat dan mengepung 1.300 serdadu Belanda. Lebih dari setengah pasukan Belanda gugur di medan pertempuran. Sebagian jasadnya ditenggelamkan ke dalam kolam-kolam minyak yang tumpah akibat peperangan. Kota Minyak Tarakan pun jatuh ke tangan Jepang. Meski Belanda telah meluluhlantakkan hampir 70 persen kilang minyak di Tarakan, Jepang sanggup memperbaikinya.
Upaya menyelamatkan jejak peradaban dan sejarah ini saya temukan di dua museum yang letaknya berdampingan; Museum Sejarah Perang Dunia II dan Museum Sejarah Perminyakan, Kota Tarakan. Keberadaan dua museum ini tidak terlepas dari sejarah perseteruan dan perebutan sumur minyak antara adidaya Belanda dan Jepang. Bangunan ini masih terhitung anyar. Koleksinya pun masih belum dilengkapi dengan narasi yang panjang.
Saya pun tak bisa banyak menebak banyak peristiwa penting itu kalau tak ditemani oleh juru pandu museum. Ia pun merekomendasikan saya untuk datang ke sebuah tempat yang disebut dengan Kustbatterij. Jemarinya menunjuk pada daerah pesisir Tarakan yang tertuang dalam peta tua buatan Intelegent Belanda tahun 1944. Saya pun mengangguk setuju dan segera menyusuri jejak tinggalan peperangan tersebut.
Menziarahi Peningki Lama, saksi yang tersisa dari perang dua negara
Kustbatterij, atau pertahanan pantai yang berada di daratan tertinggi Peningki Lama ini dibangun oleh Hindia Belanda sebelum Perang Asia Timur Raya. Tujuannya tak lain adalah mengamankan lebih dari 700 sumur minyak dan jalur laut Tarakan sisi selatan.
Moncong meriam artileri pantai pengintai lawan yang berukuran 75 milimeter buatan Fried Krup Essen, Jerman pun mengarah ke lautan. Tak luput juga pertahanan berupa empat bunker pengintai yang diketahui dibangun pada 1938. Meski tampak tangguh menghadang gerakan lawan, pertahanan ini akhirnya jatuh di tangan Jepang pada Januari 1942.
Menyantap Kapah di Pantai Amal Baru
Sementara 20.000 tentara Jepang mengepung pantai Barat Tarakan, ada serdadu lain yang sudah mencapai kawasan Pantai Amal. Tak butuh waktu lama juga, akhirnya Belanda menyerah pada Jepang. Kini kawasan Pantai Amal terbagi menjadi dua; Pantai Amal Baru dan Lama. Sejarah baru Kota Tarakan sebagai Kota Minyak pun mulai dipoles cantik melalui kegiatan wisata. Khususnya di Pantai Amal Baru, pelancong berdatangan menikmati pemandangan pesisir pantai dengan warna pasir putih kecoklatan.
Daya tarik yang kerap diburu wisatawan saat mengunjungi Pantai Amal Baru adalah bersantap kapah, atau yang dikenal juga kerang laut khas Tarakan. Hanya cukup direbus dan ditambah cocolan sambal tomat, kapah menjadi kuliner nikmat yang menggenapi kegiatan kelana wisata di Pantai Amal.
Menghitung koleksi flora fauna di Rumah Bundar
Kelana wisata Kota Minyak saya masih berlanjut. Kali ini juru mudi membawa saya menuju Museum Flora dan Fauna, atau yang lebih familiar dikenal Museum Rumah Bundar. Rumah buatan Belanda ini masih utuh berdiri. Berbentuk bundar, dengan jendela dan daun pintu yang cukup banyak.
Rumah yang dibangun sebagai tempat tinggal para pegawai negeri sipil Belanda yang bertugas di Kota Tarakan ini dibangun pada 1938. Namun pada 1945, oleh sekutu Australia, Rumah Bundar beralih fungsi menjadi pos pemulihan lingkungan yang rusak akibat perang. Sebagian penduduk pun ada yang menempati Rumah Bundar.
Untuk melengkapi fungsi dan perannya sebagai situs cagar budaya, di tahun 2017 Rumah Bundar dilengkapi dengan koleksi flora fauna endemik Kota Tarakan. Tujuannya tak lain adalah sebagai destinasi wisata edukasi dan ruang pamer atas kekayaan yang cukup langka.
Matius, juru pandu Museum Flora dan Fauna Kota Tarakan menjelaskan beberapa koleksi di sana. Di antaranya tengkorak Beruang Madu, lobster bambu, ikan Pepija, jenis-jenis kayu, maupun telur-telur hewan telah dihafalnya di luar kepala.
Cerita Matius turut menggambarkan kondisi geografis Kota Tarakan yang betapa kaya. Ia turut merekomendasikan saya untuk datang menilik primata endemik yang sedang berjuang menghadapi kepunahan dan tengah menjadi primadona rujukan wisatawan mancanegara, tepatnya di Hutan Konservasi Mangrove dan Bekantan.
Baca juga: 7 Perlengkapan Penting Untuk Memotret Milkyway
Bertemu Si Hidung Panjang, Bekantan
Kawasan konservasi dengan luas 22 Hektare ini dapat dimasuki secara bebas oleh wisatawan sejak pukul 08.00 WITA. Dengan meniti jalanan kayu setapak, kawasan ini berusaha menyadarkan wisatawan akan nilai-nilai pelestarian lingkungan. Seperti halnya yang saya temui di sepanjang jalan kayu titian. Pepohonan tumbuh rapi menambah keasrian kawasan konservasi. Jenis api-api (Avicenna spp.), pidada (Sonneratia spp.), hingga kendeka (Bruguira spp.) tumbuh subur dan terjaga kebersihannya.
Namun yang mencolok dan selalu dicari perhatiannya adalah kehadiran dari Si Hidung Panjang, Bekantan (Nasalis larvatus). Siapapun akan paham bahwa makhluk primata ini adalah maskot dari wisata Dunia Fantasi (Dufan). Namun barangkali tak banyak yang mengetahui, bahwa Si Hidung Panjang memang asli dari hutan Kalimantan.
Primata yang kerap bertengger dan melompat dari pepohonan menjadi tontonan yang menarik bagi wisatawan. Bahkan yang saya dengar dari Berly (pegawai Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Utara), kawasan konservasi ini telah menjadi lawatan wajib bagi wisatawan mancanegara yang pulang atau menuju Derawan.
Datanglah pukul 09.00 WITA untuk menemui sekelompok Bekantan yang turun dari pepohonan. Karena pada jam tersebut, pengelola hutan konservasi akan memberi makan para Bekantan. Kendati Bekantan adalah primata yang sangat pemalu, ia hanya dapat disaksikan langsung oleh wisatawan dari jarak 10 meter saja.
Ada cara tersendiri untuk memanggil para Bekantan. Biasanya, Raja Bekantan (yang berukuran paling besar) akan memimpin perjalanan menuju dapur makanan. Tubuh besarnya melayang bebas melompat dari pohon ke pohon. Hidung merahnya ikut tergoyang. Pengikut dan anak-anaknya menyusul turun setelah Sang Raja puas menyantap pisang.
Salah satu kepuasan bagi saya dapat memotret Si Hidung Panjang Bekantan sedekat ini. Ia tak menggubris puluhan lensa panjang yang membidik tingkah rakusnya melahap sarapan pagi.
Berkeliling sebentar di Baloy Mayo, Rumah Adat Suku Tidung
Kota Tarakan memang cukup kaya soal sejarah dan kebudayaan. Kelana wisata Kota Minyak pun kembali berlanjut. Kali ini saya dibawa menuju rumah adat masyarakat Suku Tidung. Jika mengulik sejarahnya, dahulu terdapat dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Tidung atau Kerajaan Tarakan yang berkedudukan di Tarakan dan Salim Batu, serta Kesultanan Bulungan yang berkedudukan di Tanjung Palas. Kharisma masyarakat Suku Tidung ini disiarkan melalui rumah adat Baloy Mayo.
Dari segi bangunan, rumah adat Baloy Mayo masyararakat Tidung didominasi oleh bahan utama kayu ulin dengan ukiran yang teramat khas. Sementara dari fungsi dan jumlah bangunan, rumah adat Baloy Mayo memiliki bangunan yang fungsinya dibedakan. Ada yang menjadi serambi khusus pertemuan adat, penghakiman, maupun serambi dalam memberi nasihat.
Mengunjungi kawasan Rumah Adat Baloy Mayo, wisatawan biasa menjumpai bangunan unik dengan penuh filosofi di sekelilingnya. Kesemua itu akan diterangkan lengkap oleh juru pandu di sana. Pada bagian belakang, terdapat bangunan yang dibuat di antara kolam, yang disebut dengan Lubung Kilong. Bangunan ini menjadi tempat untuk menampilkan kesenian masyarakat Suku Tidung seperti Tarian Jepen. Sementara persis berada di belakang Lubung Kilong, terdapat bangunan besar dengan nama Lubung Intamu, yang biasa digunakan menjadi tempat pertemuan sekumpulan orang banyak.
Santap Kepiting Tarakan Nyam…Nyam…
Waktu seolah bergulir sangat cepat. Namun, tunggu dulu. Menutup perjalanan berkeliling Kota Tarakan, santaplah rekomendasi kuliner yang sudah sohor dalam mewarnai khazanah kuliner Borneo. Sebagai penghobi kuliner, tentu jamuan Kepiting Tarakan tak boleh terlewatkan.
Saya memaksa untuk bisa mendapat ijin memotret dari pihak juru masak. Atraksi menggoyang peranti masak pun menjadi tontonan yang menarik. Pilihan saya jatuh pada kepiting bumbu asam manis pedas. Ketika indra pencecap mulai merasakan bumbunya, lantas tak peduli seberapa kotor meja dan tangan disaksikan pelanggan di kanan kiri. Tak ketinggalan, saya pun memesan sup jagung kepiting. Cencangan daging kepiting Tarakan yang lembut bercamur jagung ini sangat nikmat disantap saat masih panas.
harusnya di paling bawah ditambahi, “kapan kita ngetrip ke Tarakan?”
asem. cepet banget le komen. diwoco orak ki?
Bahkan dari duluu banget Indonesia sudah diperebutkan perihal minyak e. Ancen Indonesia ki sugih banget og sumber daya alam e.
iyo yo. ancene sugih tenan Indonesia ki.
nang kono akeh kilang2 minyak sing wis gosong dihancurkan Belanda. menarik
Aku mengenal kota tarakan dari buku sejarah, PSPB kalau nggak salah dulu, jaman SD ahahaha. Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa.
haha. Tarakan kota keren. penuh sejarah. sayang banget di sana cuma sebentar
Jadi benar ya, Jepang datang ke Indonesia dilatarbelakangi oleh banyaknya sumber minyak di Indonesia? Kebetulan kemarin habis baca buku sejarah milik anak. Jadi, apakah sekarang masih ada sumber minyaknya, Mas?
Salam…
masih banyak mas. dikelola sama Pertamina
Kapan ke sana lagi, kak?
entah nih
Kota yang sungguh mempesona di Kaltara
Benar, Min
Kami mengenal bekantan sejak kecil..dengan arti monyet Belanda Kalimantan (bekantan) ..nenek dulu menyebutnya monyet Belanda..karena bulu dan rambut seperti Belanda
Terima kasih banyak infonya, mas.
semoga bisa kembali ke Tarakan untuk melihat bekantan
Kami mengenal bekantan sejak kecil..dengan arti monyet Belanda Kalimantan (bekantan) ..nenek dulu menyebutnya monyet Belanda..karena bulu dan rambut seperti Belanda
Terima kasih banyak infonya, mas.
semoga bisa kembali ke Tarakan untuk melihat bekantan