Dari jendela burung besi, Belitung sudah memamerkan pesonanya. Dalam perjalanan menuju pulau ini, saya terkesima dengan pesisir pantainya. Begitu pula penumpang lainnya. Mereka berebut untuk bisa melihat Belitung dari balik jendela.
Nama Belitung telah masyhur sejak dahulu, khususnya saat pulau ini dinobatkan sebagai penghasil timah terbesar di Indonesia. Namun, siapa sangka? Saya yang hanya membacanya lewat buku-buku sekolah, kini telah menginjakkan kaki di sana.
Untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Negeri Laskar Pelangi, julukan atas keindahan Belitung yang diperkenalkan lewat karya Andrea Hirata. Tasya Hadi, pegiat pariwisata Belitung yang berkantor di Dinas Pariwisata menemani saya berkeliling kota.
Di jalanan sore yang lengang, mobil melesat membawa saya menuju destinasi pertama, Pantai Tanjung Pendam. Lokasinya yang tak jauh dari pusat kota menjadikan destinasi ini cukup digemari para kawula muda untuk mengantar matahari pulang ke peraduan. Bangku dan meja kecil pun sudah ramai dipesan. Kami mengaso dan mengobrol santai, mengisi tenaga sejenak dengan sepiring kudapan ringan dan kopi hitam.
Pantai Tanjung Pendam bukan saja digemari oleh para penikmat senja. Turis lokal menjadikan Tanjung Pendam sebagai pusat olahraga. Jika lapar datang, deretan rumah makan siap menyajikan masakan laut yang lezat. Saya pun berkesempatan mencicip Gangan Ketarap; sup ikan dengan kuah kuning khas Negeri Laskar Pelangi.
Sebagai salah satu situs geopark nasional dan tengah bersiap menuju UNESCO Global Geopark, Belitung lengkap menyuguhkan kekayaan alam, masyarakat, dan budayanya. Namun, bukan perkara mudah menjaga keberlanjutan destinasi geopark. Pemerintah daerah pun menjadikan pariwisata sebagai prioritas pembangunan daerah. Meski alam Belitung lebih terkenal, bukan berarti ia tak cocok untuk penggemar sejarah dan budaya.
Kunjungan saya berlanjut menuju replika rumah adat Belitung yang berada di Tanjung Pandan. Kendati sebuah replika, rumah adat ini dibangun sebagai komitmen pemerintah daerah untuk mempertahankan sekaligus mempromosikan kearifan lokal di Negeri Laskar Pelangi.
Dibangun di atas tanah seluas kurang lebih 500 meter persegi, replika rumah adat ini menjadi destinasi wajib kunjung bagi turis yang datang ke Belitung. Tidak cukup hanya mengangumi interior ruangnya, pramuwisata akan membawakan cerita yang lengkap tentang fungsi setiap ruang dan adat istiadat masyarakat Belitung.
Salah satunya ada pada replika kamar pengantin beserta mahar pernikahannya. Replika rumah adat ini membuat saya semakin antusias. Rasanya, tentu akan berbeda jika saya melihat langsung bangunan asli yang masih ditinggali masyarakatnya.
Tujuan saya pun berpindah menuju Desa Sijuk. Saya pribadi menobatkan Sijuk sebagai Desa Pusaka dari Negeri Laskar Pelangi. Pasalnya, desa ini memiliki puluhan bangunan heritage bergaya Melayu yang usianya mencapai ratusan tahun.
Cerita tentang budaya dan kehidupan masyarakat Belitung terdahulu tersingkap di desa ini. Sijuk juga menjadi tengara dari kerukunan umat beragama sejak ratusan tahun lalu. Tak ada narasi ataupun cerita visual yang bisa saya dapatkan, melainkan langsung melalui obrolan bersama Kelompok Sadar Wisata Desa Sijuk. Sayang, banyak bangunan rumah tua yang tak terawat.
Tak jauh dari deretan rumah berdinding kayu di Desa Sijuk, berdiri rumah ibadah Masjid Al Ikhlas yang dibangun pada 1817. Riwayat pembangunan Masjid Al Ikhlas bermula dari warga Tiongkok bernama Tuk Dong. Meski sedikit mengalami renovasi, bangunan masjid ini memantik saya, Panji Kusumah (Yayasan Dewa Nusa), dan Vitria Ariani (Kementerian Pariwisata) untuk singgah dan mengabadikan corak bangunannya.
Sebanyak empat tiang soko guru atau tiang penyangga menjadi saksi atas tuanya usia masjid ini. Konon, kayu tiang ini dibawa menggunakan rakit dari Desa Sungai Padang selama berbulan-bulan. Disebutkan pula bahwa tak jauh dari masjid ini, terdapat Kelenteng Sijuk yang dibangun oleh Tuk Dong. Cerita itu tersingkap dari poster sejarah yang menghiasi dinding masjid. Sungguh, Sijuk telah mengetuk rasa penasaran saya akan cerita kerukunan umat beragama di Negeri Laskar Pelangi.
Pantai Tanjung Tinggi, Satu dari Puluhan Situs Geopark di Belitung
Harus diakui, angka kunjungan wisatawan Belitung memang meledak sejak ditayangkan film Laskar Pelangi. Tentu yang paling memikat dan menjadi destinasi primadona adalah Pantai Tanjung Tinggi. Tempat di mana Ikal, Mahar, Lintang, dan kawan-kawannya saling berkejaran dengan latar pantai dan batu alam yang besar.
Jujur, saya pun merasa pantai ini memiliki daya pikat yang kuat. Daya tarik pantai ini bukan saja pada bentang alam dengan deburan ombak yang bersih nan tenang. Ingatan saya seolah mengajak kembali pada cerita inspiratif anak-anak Belitung yang dikisahkan oleh Andrea Hirata lewat novelnya.
Saat saya melangkahkan kaki, spontan saya menyanyikan lagu Laskar Pelangi. Saya merasa tak peduli lagi pada terik matahari siang itu. Berjalan menyisiri Pantai Tanjung Tinggi adalah cara saya membangun ikatan kuat dengan Negeri Laskar Pelangi dan cerita Andrea Hirata di novelnya.
Negeri Laskar Pelangi memang kaya akan potensi pantai dengan batuan yang eksotis. Bongkahan batu berukuran raksasa yang dikelilingi lautan luas itu menjadi ikon perburuan para turis yang berkunjung ke Belitung. Melansir hasil publikasi penelitian, usia batu-batu di pantai ini hampir sama dengan umur fosil dinosaurus pertama di dunia, Nyasasaurus parringtoni yang dinyatakan berusia 240 juta tahun.
Singgah Sebentar di Kaolin
Betapa menderitanya sebuah kawasan terdampak tambang. Ia menjadi kawasan yang gersang, tanpa kehidupan. Kadang, bekas ceruknya melahirkan keajaiban. Jika bukan gas beracun, ceruk bekas aktivitas penambangan akan berubah menjadi kolam raksasa.
Bekas galian ini membentuk sebuah kolam dengan warna hijau dan biru tosca mengikuti arah sinar matahari. Kendati masih aktif dikelola sebuah pabrik tambang, lokasi ini justru menjadi tujuan wisata sebelum wisatawan meninggalkan Belitung. Danau Kaolin atau disebut juga Kolong Kaolin menjadi tempat singgah wisatawan untuk menggali pengetahuan tentang aktivitas dan dampak dari industri tambang. Saya pun berkesempatan untuk mengabadikannya melalui foto udara. Menarik atau sebaliknya? Barangkali banyak yang melihat dari sisi keindahannya. Namun, ada pula yang melihat dari sisi berbeda.
Makan Bedulang, Kehangatan dalam Santap Siang
Tak terasa waktu makan siang tiba. Mobil membawa saya berpindah menuju Desa Wisata Kreatif Terong, Air Rusa’ Berehun. Nampan besar berisi makanan khas Belitung mulai dihidangkan.
Makan Bedulang. Itulah tradisi masyarakat Belitung yang menjadi bagian dari paket wisata yang ditawarkan Desa Wisata Kreatif Terong. Disajikan di hadapan saya gangan ikan, cumi goreng tepung, jantung pisang, dan ikan bakar sebagai menu santap siang. Ditutup dengan secangkir kopi hitam, betapa hangat momen makan siang di sini.
Mantap betul pulau Belitung ini !
Benar, min! Tak kalah dengan Lombok