Hutan pernah jadi tempat yang paling ditakuti. Perjalanan di hutan memang nampak seperti labirin. Si penakluk bisa berkali-kali tersesat. Di hadapannya selalu berdiri pohon-pohon raksasa yang menghalangi jalan. Hutan membawa si penakluk berkeliling ke semua penjuru untuk menghabiskan sisa waktu, pikiran, dan energi. Semangat yang meredup itu memang lebih membunuh daripada fisik yang remuk redam.
Tapi janganlah melihat Wanagama sebagai hutan belantara yang menakutkan. Beruntunglah Wanagama yang telah disulap menjadi hutan konservasi oleh Oemi Han’in. Tak tanggung-tanggung, Pangeran Charles pun pernah terpikat dan memiliki kenangan di Wanagama. Ia telah membuat nama Wanagama mendunia dengan menanam pohon jati (Tectona grandis) pada tahun 1989. Pohon yang ditanam oleh pangeran ini kini dikenal dengan nama Jati Londo. Konon pohon tersebut pernah berduka (kering) saat pengumuman perpisahan Pangeran Charles dan Putri Diana.
Hutan Wanagama terletak di Jalan Jogja – Wonosari Km 30, Yogyakarta. Cukup ditempuh dalam waktu ±1 jam dari pusat kota Yogyakarta menggunakan kendaraan pribadi. Hutan yang dirintis menggunakan modal pribadi oleh guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Prof. Oemi Han’in Suseno pada tahun 1964 ini kini telah memiliki tanah seluas 600 hektar.
Perjalanan kami dimulai dari meeting point Wisma Cendana, Hutan Wanagama. Kami mengusap peluh ketika sinar matahari masuk pada celah-celah pohon. Suara patah-patah batang daun kering terdengar ketika terinjak oleh langkah-langkah kami. Hening dan Sepi. Tak ada riak kehidupan selain alam seisinya. Tak nampak wisatawan lain yang datang ke tempat ini. Hanya terdengar sahutan nyanyian burung-burung dan gemericik air dari kejauhan. Selain itu ada juga barisan pohon pinus (Pinus merkusii), Eboni (Diospyros celebica) Si Kayu Hitam dari Sulawesi, cendana (Santalum album) Si Pohon Wangi, murbei (Morus alba) dan jati (Tectona grandis) yang hanya berdiam diri menyaksikan kami berjalan.
Mungkin tak banyak orang yang mengenal Wanagama sebagai tempat wisata. Atau mungkin juga hutan terlalu mainstream untuk dijadikan tempat berkelana. Tapi berbeda bagi kami yang melihat dari sisi yang berbeda. Kini Hutan Wanagama telah menjadi tempat menekmu makna.
Hanya butuh watu 20 menit, kami telah sampai pada pemandangan pertama yang tak biasa ditemukan di hutan. Pengelola menamakannya air terjun Banyunibo. Gemericik airnya menyegarkan dan membasahi dahaga. Terlepas dari perintah, kami pun berhamburan menuju Banyunibo. Memang sulit untuk bisa bermanja dengan air di sini. Kami berusaha meraih akar-akar pohon dan berpegangan satu dengan yang lain agar bisa menuruni air terjun.
Setelah puas menikmati segarnya Banyunibo, kami pun berlanjut menyusuri hutan. Terlihat kandang kosong yang sudah tak terawat lagi. Kandang peruntukan rusa ini telah lama kosong dan tak berpenghuni. Di sisi lain, nampak pemandangan Sungai Oya yang memanjakan mata bagi siapa saja yang melihatnya. Begitu memikat. Namun peringatan telah tertulis jelas di antara pepohonan. Larangan untuk bermain di sungai ini menjadikan nyali kami ciut walau hanya sekadar menghampirinya. Banyaknya palung telah memakan banyak korban di sungai ini. Kami hanya bisa berfoto tanpa sedikitpun berani menyentuh airnya.
Pemandangan lain yang nampak biasa adalah air terjun Sendangayu. Meskipun agak berbeda dengan Banyunibo, air terjun ini memiliki bentukan aliran yang sangat indah. Kecoklatannya membuat epik untuk diambil gambarnya. Tak perlu berdiam diri lama untuk melihat dan menikmati kesegarannya. Kami pun melanjutkan perjalanan.
Tahun 2006 adalah tahun dimana masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya berduka. Gempa bumi yang meratakan segalanya telah menelan ratusan korban jiwa. Sekalipun jembatan yang kokoh dan tersambung besi baja telah ia hancurkan seketika. Alam menunjukkan kuasanya. Derasnya air sungai yang nampaknya lebih tenang daripada lautan juga telah menyeret putusan jembatan jauh dari titik asalnya. Kadang, yang seperti ini menjadi daya tarik wisatawan. Meratapi betapa kerdilnya manusia di sisi Tuhannya.
Jalan yang mulai menanjak menghabiskan semua yang kami bawa. Tenaga, pikiran, dan bekal makanan. Adapun yang tersisa hanya sebuah keyakinan dan candaan. Terkadang suasana hutan yang hening dan sepi menjadi hidup terbawa obrolan-obrolan kami. Mungkin ada rasa iba yang muncul diantara mereka yang menyaksikan kami berjalan bersama. Menyaksikan kaki dan pundak kami yang masih kuat memikul segala beban. Segalanya terasa lebih nyaman dan nikmat ketika perjalanan dibangun atas dasar kekeluargaan. Bersabar menanti yang tertinggal dan membantu yang kesulitan. Lupa akan segala kelelahan dan kesulitan, senyum kami mengembang dan begitu menyenangkan.
Tak banyak fasilitas yang disediakan pengelola kepada wisatawan. Seakan mereka membawa wisatawan benar-benar berada dalam perjalanan di hutan. Tak berlebihan memang karena kami memang benar berada dalam hutan. Namun cukup mengherankan, kenapa hutan Wanagama yang katanya menjadi hutan wisata belum digarap secara maksimal.
Tanpa terasa, kami telah sampai di camping ground Wanagama. Terlihat beberapa pohon yang telah diberi tanda oleh siapa yang menanamnya. Orang Korea pun ternyata tak sungkan menanam pohon di Wanagama. Tepat setelah terdengar komando untuk beristirahat. Kami rebahkan diri di bawah rindangnya pepohonan dan di atas kursi keras. Mengambil posisi ternyaman untuk memejamkan mata. Tertiup sepoi angin dan membiarkannya terbang bermimpi bersama kupu-kupu di hutan.
Cinta ! Dimana-mana terlihat slogan : “Cintailah hutanmu, seperti kamu mencintai diri sendiri”. Andai saja hutan bisa berteriak, andai saja mereka bisa berbahasa, dan andai saja mereka punya rasa kecewa, maka ia mungkin akan katakan pada manusia, “Selamatkan kami”. Kami hanya bisa berduka atas keserakahan manusia terhadap alam. Mengeksploitasinya secara berlebih tanpa memperhatikan keberlanjutan ekologi. Dalam periode 2009-2010, deforestasi yang terjadi seluas 832,126.9 hektar dari total luas hutan di Indonesia yang berjumlah 131 juta hektar (Dirjen Planologi Kehutanan 2011).
Kepada Oemi Han’in, peraih penghargaan Kalpataru (penghargaan tertinggi di Indonesia untuk urusan lingkungan), terimakasih padamu. Rasa terimakasih yang tak biasa. Tak sedikit yang kau hibahkan untuk negeri ini. Tak cukup sekali waktu untuk menjelaskan semuanya. Belum lagi rumah budidaya ulat sutera di Hutan Wanagama, Wisma Cendana dan beberapa karya lain yang tak sempat kami lihat saat itu.