Tambora masih menjadi latar pemandangan sepanjang perjalanan saya. Namun puncaknya memang tak tampak tinggi. Akibat letusan 5 April 1815, tinggi Tambora yang semula 4.000 meter telah hilang hampir separuhnya. Letusan dahsyatnya telah merenggut banyak nyawa makhluk hidup di sekitarnya. Gelegar letusan Tambora juga memberi dampak yang tak terkira. Cuaca berubah semakin buruk. Diikuti penyakit menular dan bencana kelaparan. Abu vulkanik yang dimuntahkan tertiup jauh sampai Sumatera. Satu tahun berikutnya, gelap akibat abu vulkanik turut menyelimuti Eropa pada musim panas. Gelombang pasang tsunami juga menyambangi Pulau Satonda.
200 tahun sudah masyarakat meninggalkan cerita buruk bencana Tambora. Kini giliran mereka mengenangnya. Begitupun saya yang turut menelusuri jejak letusan Tambora. Dibawalah saya menuju Labuhan Kenanga, tempat mukim para nelayan yang cukup dekat dengan Tambora. Juga pada sebuah pulau vulkanik yang terbentuk akibat letusan Tambora ratusan tahun silam.
Pak Kam tak banyak bicara di atas perahu tempel miliknya. Tanggung jawabnya cukup mengantarkan saya dan rombongan ke Pulau Satonda yang terletak di Desa Nangamiro, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Tiga puluh menit berlayar, perahu tempel sudah bisa merapat ke bibir pantai. Tampak pelancong turut menikmati sensasi snorkeling di sana. Begitu juga kapal pinisi yang membawa turis mancanegara. Mereka terjadwal transit di Satonda untuk menyelami bawah lautnya.
Saya menyambut sore dengan gembira. Cuaca yang cerah akan mempertemukan saya pada senja. Satonda menjadi perpaduan alam yang sempurna. Dalam tatapan sekejap, Tambora yang awalnya masih tampak indah dari sini, siluetnya perlahan pudar diselimuti temaram. Satu per satu dari rombongan saya melepas pakaian. Bermandi pasir dan air pantai yang sangat tenang.
Hari semakin gelap, lekas kami berempat berbilas. Ditemani suara generator set yang memberi energi pada lampu-lampu yang remang. Kini, hanya sisa kami berempat yang mendiami pulau kecil Satonda.
Di antara banyak kamar di villa Satonda, kediaman kami yang paling gaduh. Saya masih berharap langit cerah sampai sepertiga malam untuk memoret bintang. Sayangnya, hujan deras mengguyur basah Satonda. Sampai kami terlelap tidur semalaman.
***
Alarm subuh membangunkan kami. Gonggong anjing penjaga juga mengusik tidur kami. Setelah menunaikan sholat, lekas kami trekking menuju puncak Satonda. Kami menembus waktu subuh yang masih gelap di antara rimbun pepohonan hutan Satonda. Sorot lampu senter kami membuat kelompok kalong terganggu. Mereka mengepak sayap ke berbagai arah. Hari yang masih gelap membuat kami harus ekstra hati-hati. Yang di depan bertugas meraba-raba jalan. Sementara yang di belakang mengekor dan mengawasi sekeliling.
Kami terus berjalan sampai kami yakin sudah tiba di puncak. Semburat fajar di sebelah timur perlahan menyibak langit yang masih gelap. Warnanya yang merona mempercantik sepanjang pantai Tanjung Pasir di bawah sana. Kami mengekspresikan keceriaan dengan mengambil video timelapse. Cahaya bias dari semburat fajar terpantul apik di permukaan danau air asin Satonda.
Inilah Satonda jika dilihat 300 meter dari atas permukaan laut. Gelombang tsunami 200 tahun silam membuat air danau di Satonda menjadi asin. Tingkat kebasaannya sangat tinggi, bahkan walau dibandingkan dengan air laut. Danau ini juga dianggap memiliki kemiripan dengan kondisi laut zaman purba.
Lain cerita jika didengar dari mitos dan legenda. Konon, Raja Tambora dalam pejalanannya mencari pasangan hidup bertemu perempuan rupawan di dekat Dompu. Saat Sang Raja ingin meminangnya, perempuan itu justru menganggap si raja sebagai putranya yang hilang. Alam pun berubah mengerikan, sebagai pertanda akan murkanya Sang Raja. Perempuannya yang tercinta tak lain ialah ibu kandungnya. Gunung Tambora meletus dan menimbulkan gelombang besar yang memisahkan daratan. Sang Raja selamat dan terdampar di sebuah pulau. Ia menangis menyesali amarahnya. Air matanya menetes dan mengalir menggenang di Danau Satonda.
Memercayai keduanya adalah hal yang mafhum. Sayangnya, keindahan Pulau Satonda hanya dijadikan tempat transit turis mancanegara. Kebanyakan dari mereka hanya tertarik pada keindahan alam bawah lautnya saja. Setelah puas bermandikan air pantai Satonda, bersama kapal pinisinya mereka menuju Pulau Komodo.
Hari semakin terang, Satonda semakin memperlihatkan pesonanya. Airnya yang tenang berada di tengah kaldera Satonda dikepung pepohonan yang rimbun. Tambora dianugerahi destinasi lain yang turut mendampingi keelokannya. Tak sekadar menunjukkan keindahan, Satonda menjanjikan sensasi kenikmatan bagi wisatawan yang ingin pijat refleksi ikan. Saya turut mencobanya. Mencelupkan kedua kaki di pinggir danaunya, lekas berdatangan ikan-ikan kecil yang menjilat-jilat sekujur kaki. Airnya sangat tenang. Saya memilih menghabiskan waktu di sini. Ditemani kicau burung hutan yang bersuara merdu. Sesekali, saya mencicipi rasa asin dari danaunya. Saya memberikan penilaian. Rasanya memang jauh lebih asin daripada air laut yang biasanya.
Agaknya Satonda telah menjadi candu yang berlebihan. Selepas dari pijat refleksi di danaunya, kami tak lekas menuju kamar. Begitu sampai di dermaga, kami melepas pakaian, kemudian mengenakan peralatan snorkeling yang disediakan manajemen villa. Beningnya pantai Satonda membuat kami bebas memandangi kehidupan laut Satonda. Beragam jenis terumbu karang tumbuh cantik di sini. Tak heran, sejak 1999 Pulau Satonda telah ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
Tambora tak hanya menyapa dunia, tapi juga benar-benar menunjukkan keragaman yang dibentuk pasca letusannya. Satonda satu di antaranya. Sungguh, Satonda bagian dari fenomena alam yang sangat mengesankan dan karenanya layak dilestarikan. Satu hari di Satonda, menikmati sunset dan sunrise-nya, adalah pengalaman langka selama bertualang.
Catatan tambahan:
- Biaya inap di Villa Satonda cukup bervariasi, mulai dari Rp 1.500.000,00 s.d Rp 2.500.000,00/ malam,
- Biaya penyeberangan perahu tempel dari Labuhan Kenanga menuju Pulau Satonda sebesar Rp 300.000,00 s.d Rp 450.000,00,
- Bagi yang tidak menginap, dikenakan tiket retribusi sebesar Rp 25.000,00,
- Penyewaan alat snorkeling di Pulau Satonda sebesar Rp 25.000,00/ unit,
- Tulisan lainnya selama di SAMOTA (Satonda Moyo Tambora) dapat disimak di Jelajah Kaki Gunung Tambora.
Video jelajah lingkar kaki Gunung Tambora melalui Kabupaten Bima dan Dompu dapat dinikmati di sini
Lokasi Pulau Satonda
Situ nggak ikutan snorkeling, Nif? Sunggh kamu melewatkan kesempatan ahahahahah
ikutan lah. dua kali nyemplung. ketemu nemo lucu2
Kereeen ;). Aku lbh seneng wisata yg begini ni, liat danau, gunung, apalagi kalo yg terbentuk dr letusan gunung api. Ngebayangin saat meletusnya mas, ga kebayang sedahyat apa yaaa.. apalagi yg kayak danau toba..
makaasih Mba Fanni.
Iya mba. keren Satonda, apalagi membaca sejarah letusan Tambora. Semoga Mba bisa ke sini yaa
Saya baru denger ttg satonda ini.. terimakasih sdh berbagi.. saya suka liat foto2nya karena lokasinya bersih. Dan sepertinya memang masih alami bgt..
terimakasih mba. Senang bisa berbagi.
Masih cukup alami, tapi kadang ramai kalau weekend. Turis manca suka transit di sini
Waa fotonya ada senja ada fajar 🙂 di air-airan semuaa nif, berasa dinginnya.
Saiki wes jago tracking mengejar fajar e ciee
emang e mbiyen g jago yaa? haha.
apik toh senjane. ayo mrene. ajak kekasihmu
aamiin mas. semoga bisa ke Tambora dan Satonda.
Terimakasih banyak mas
aduh ini racun lagi. bulan ini mau ke NTB tapi belum bisa ke Dompu. sedih bang 🙁
wah. harus mampir Dompu tuh. NTB nya kemana mas?
Jadi lw sekarang jadian ama senja ?????
lah. kok bisa? -__-
akhirnya bisa komen ya
Waaah… dapat ikan gede. Asik tuh kalau mancing ikan disitu.
waps. hehe. ikannya gede2
saya yg salut liat airnya tu .. begitu jernihnya sampai karangnya keliatan semua ..wah …mantap dech
iya. benar2 jernih 🙂
Airnya tenang bangeeet di danau itu 🙂
Iya mas. Bisa ngapung kalau renang di sini
Wah camping di Satonda sambil ngopi Tambora tampaknya jadi pesona yang kudu dinikmati. Semoga suatu saat aku bisa ke sana ya kak..
Kalau ada proyek lagi ke Tambora, ajakin dong.. ehehe
haha. aamiin.
besok aku berangkat lagi mas. wkwkw
liat foto perahu kecil ukuran satu orang itu bikin inget masa kecil. dulu punya kole kole di rumah.
kole kole namanya? kalau papua kan katinting namanya
ke sini sekalian ke puncak tambora enak nih
Ke sini bawa pasangan mas
Mainnya udah jauh amat, mas
envy
alhamdulillah ya. haha
alhamdulillah ya. haha