Alkisah Waigeo, Salawati, Batanta dan Misool (Empat Raja) yang memimpin pasukan laut Raja Ampat. Garis pantainya yang berpasir putih dengan laut biru dan jernih mempesonakan mata bagi yang melihatnya. Juga terdapat 540 jenis karang, 1.511 jenis spesies ikan, dan 700 jenis moluska. Di antara mereka terjalin persahabatan yang misterius. Sepertinya mereka juga telah menyiapkan proyek rahasia yang memutuskan, “Negeri ini harus dijaga agar tetap indah dan damai, sebab manusia masih melangkah di jalan-jalannya.”
Setelah kemarin saya membahas tentang Raja Ampat yang punya WTC dan kecantikan Orfur yang tak terawat, ada satu lagi pantai yang juga terkenal, bahkan sudah populer di kalangan masyarakat Raja Ampat, yaitu pantai Saleo.
Tidak baik mungkin pantai ini dibiarkan diam kesepian. Tidak baik pula manusia hanya bisa mengurung diri terus di rumah. Saleo pun disulap menjadi tempat wisata yang pas untuk bersantai. Saleo terletak di Waisai, Raja Ampat. Tak jauh dari pantai Orfur, terdapat beberapa kano dan ketinting yang disandarkan. Pelampung dan fins dijejer untuk dikeringkan. Maka sudah jelas, tempat ini biasa digunakan untuk kegiatan snorkeling.
“Woee.. Jang Buang Sampah Takaruang..”
Sebuah papan kayu bertuliskan larangan membuang sampah sembarangan itu tertahan oleh sebuah paku diantaranya dan batang pohon kelapa di pinggir pantai. Pikir saya, kelihatannya siapapun tak akan tega membuang secuil sampahpun di kawasan indah ini. Dan, ya.. Warga Saleo peduli akan kelestarian pantainya. Mungkin inilah salah satu potret ekowisata berbasis masyarakat. Lewat sebuah pesan sederhana pada sebuah papan kayu, tersirat ekspresi kecintaan mereka pada lingkungannya.
Di Saleo telah disediakan beberapa cottage untuk wisatawan. Di sekitarnya ditumbuhi dengan pepohonan yang rindang. Nampaknya pemilik cottage sangat pengertian terhadap alam. Menjadikan embun segar yang datang dari langit untuk dapat sewaktu-waktu dinikmati oleh wisatawan yang datang. Cottage pun dikelola secara apik dan alami. Tempat tidur bergelantung di antara cemara memberikan kesan damai bagi siapa saja yang menginjakan kaki di Saleo. Cottage ini memungkinkan untuk diisi sampai 4 orang. Selain menjaga kelestarian terumbu karang dari tangan-tangan usil yang tak bertanggungjawab, pengelola cottage juga menawarkan panorama landskape hutan yang dihuni sekumpulan cenderawasih merah, spesies endemik dan langka di Papua. Sayangnya, saya datang di waktu yang tidak tepat. Selain tidak terlihat aktivitas wisatawan, saya juga tak berbekal info tentang Saleo sehingga harus melewatkan kegiatan Bird Watching ini.
Perjalanan dimulai dengan mengitari Saleo dan berfoto di setiap obyek. Hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk menikmati Saleo dari ujung ke ujung. Saya bahkan belum sampai pada kegiatan treking hutan untuk melihat cendrawasih. Pasir putih dengan pemandangan laut berwarna hijau tosca memantulkan cahaya pada ketinting-ketinting yang disandarkan.
Siang telah menggantung, matahari panas sudah menyengat. Nampaknya lebih nyaman jika saya bersantai di cottage. Tapi nyatanya, saya tak pernah berniat untuk menginap di homestay, cottage, atau hotel sekali pun. Rumah warga lebih nyaman bagi saya. Selain urusan dompet yang selalu diirit-irit, di tempat-tempat seperti inilah semua orang yang baru dikenal terasa seperti keluarga. Suguhan tehnya menghangatkan segala suasana. Untuk itu, saya putuskan untuk segera pulang. Mengisi kembali tenaga yang terkuras seharian.
Saleo. Walau hanya sebentar, saat ini ingin rasanya bernostalgia. Melihat alamnya yang terus terjaga. Merekam cendrawasih merah yang menari-nari di angkasa. Suatu saat pasti bisa.