Kerianganku membuncah. Kulirik-lirik lagi puncak-puncak candi yang menyembul di antara pepohonan kering dan perumahan warga di tanah berbukit. Kulirik sampai ia menghilang lagi dari pandangan. Agaknya kuda besiku berjalan terlalu memutar, sedari tadi tak kunjung sampai ke tujuan. Kuda besi terus mengikuti jalanan kecil berbatu, naik, turun, berkelok. Baiklah, sebut saja aku tersesat. Tapi aku sama sekali tak geram. Pemandangan Bukit Batur Agung yang tandus di penghujung musim kemarau waktu itu sukses membuatku kagum.
Jalanan makin terjal dan sepi manusia untuk ditanyai arah jalan. Tak lama, dari arah berlawanan lelaki cilik terlihat menuntun sepedanya. Ia punya sifat khas masyarakat Yogya, baik hati dan ramah. Sambil terengah, ia menunjukkan arah jalan menuju Candi Barong yang jadi tujuanku. Ternyata tak sampai lima menit untuk tiba di sana. Matahari yang berada tepat di atas ubun-ubun dengan bangga memancarkan teriknya. Enggan berlama-lama, segera kulangkahkan kaki menuju pelataran candi.
Masih ingat kawasan yang kujuluki “Kota Seribu Candi”? Candi Barong merupakan salah satunya. Ia terletak di daerah perbukitan Batur Agung, bukit yang menyimpan banyak kekayaan arkeologis masa lampau berupa candi dan arca. Candi Barong menempati daerah tengah, sehingga cukup tinggi untuk menyaksikan panorama bukit dan candi lain yang ada di bawahnya. Candi Barong ini menghadap ke arah barat. Menonton matahari terbenam dari ketinggian pelataran candi tentu tak boleh terlewatkan! Namun kedatanganku di siang bolong bukan untuk menunggu senja, aku hanya ingin mengaguminya kala matahari masing terang benderang.
Aku menaiki anak tangga menuju teras kedua Candi Barong. Teras yang amat luas dan bisa dibilang gersang. Meskipun banyak petak yang menandakan pernah berdirinya bangunan di sana, tapi kini tak ada satu pun yang tersisa. Hanya pondasi batu andesit di sekeliling tanah lapang, membuatku seakan berada di arena gladiator. Teras kedua terhubung dengan teras pertama. Gerbang paduraksa menyambut kedatanganku, arsitekturnya sungguh indah. Paduraksa merupakan gerbang beratap menyerupai candi yang juga dapat ditemukan di candi-candi lain di daerah ini.
Melangkah ke teras pertama, aku disuguhi dua candi induk yang tinggi menjulang. Arsitekturnya mencirikan bahwa Candi Barong berlatar agama Hindu. Kedua candi merupakan simbol bagi Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Tak seperti candi Hindu lainnya yang dipersembahkan kepada Dewa Syiwa–dewa tertinggi dalam ajaran agama Hindu–Candi Barong memang dibangun guna pemujaan kepada Dewa Wisnu dan Dewi Sri yang menyandang simbol kesuburan. Candi Barong yang merupakan peninggalan Kerajaan Medang periode Mataram abad 9-10 ini tidak memiliki pintu masuk, sehingga dapat kusimpulkan bahwa ia memang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Keunikannya yang lain ialah hiasan Kala atau Barong pada setiap pintu candi. Hiasan Barong dipahat dengan amat detail dan memiliki rahang bawah yang tidak dimiliki candi lain. Karena itulah masyarakat menamainya Candi Barong. Harus kuakui, hiasan Barong di sini memang yang paling apik!
Hal lain yang menarik perhatianku adalah langit pada hari itu. Biru! Bersih dan dihiasi gumpalan tipis awan putih. Candi Barong berpayung langit biru di kala cuaca cerah membuat senyumku mengembang. Belum lagi pemandangan Bukit Batur Agung yang hijau kecoklatan yang turut menambah keindahan. Bagiku, itu adalah waktu terbaik untuk mengunjungi Candi Barong.
Seratusan meter dari Candi Barong, ternyata terdapat pula situs lain yang belum sempurna dibangun kembali. Situs Dawangsari namanya. Situs itu berupa batuan andesit yang disusun membentuk lingkaran besar, serta terdapat susunan batu menyerupai puncak stupa di sisi lainnya. Andai seluruh batuan dapat ditemukan, pasti bentuk untuh Situs Dawangsari berupa stupa besar simbol agama Budha. Ya, satu lagi bukti keharmonisan umat beragama di masa lampau yang hidup damai berdampingan.
Puas mengagumi keindahan Candi Barong dan Situs Dawangsari di Bukit Batur Agung, kuputuskan untuk kembali pulang. Tentu saja dengan melewati rute yang lebih dekat. Perjalanan pulang melewati kawasan Candi Ratu Boko dan Abhyagiri. Dari ketinggian sana, terlihat puncak Candi Prambanan, Candi Sewu, serta Candi Sojiwan yang menyembul di antara pepohonan dan bangunan yang memadati kota. Pemandangan yang tak boleh dilewatkan begitu saja oleh mata tustel tentunya.
Terik matahari perlahan berkurang, kuangkat satu lengan untuk mengetahui saat itu pukul berapa. Ah, aku selalu lupa kalau jam tanganku rusak beberapa waktu lalu. Repot juga bepergian tanpa menggunakan jam tangan. Aku jadi teringat website fashion ternama bernama ZALORA. Sepulang dari sana, bolehlah melihat koleksi jam tangan Casio di ZALORA. Selain ada banyak pilihan, tentunya pelesiran akan lebih bergaya dengan jam tangan Casio di pergelangan.
Lokasi Candi barong
Kayaknya ke sini pas sunset kok bagus ya? hahahhahahah
ayo Mas kesini sunsetan