No Result
View All Result
insanwisata
  • Tentang kami
  • Konsultan
  • Catatan perjalanan
    Praktisi pariwisata dan desa wisata

    Menjadi Pengajar

    Sunrise Candi Plaosan

    #KelanaKai: Sunrise Candi Plaosan yang Kesiangan

    Desa Muncar Moncer

    Sofiyudin Achmad, Sosok di Balik Desa Muncar yang Kian Moncer

    Monumen Plataran

    Mengenang Pertempuran Plataran

    Desa Tanjung Binga

    Tercurah Asa Teruntuk Tanjung Binga

    Sunset Candi Barong Yogyakarta

    Kembali ke Candi Barong

  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak
  • Tentang kami
  • Konsultan
  • Catatan perjalanan
    Praktisi pariwisata dan desa wisata

    Menjadi Pengajar

    Sunrise Candi Plaosan

    #KelanaKai: Sunrise Candi Plaosan yang Kesiangan

    Desa Muncar Moncer

    Sofiyudin Achmad, Sosok di Balik Desa Muncar yang Kian Moncer

    Monumen Plataran

    Mengenang Pertempuran Plataran

    Desa Tanjung Binga

    Tercurah Asa Teruntuk Tanjung Binga

    Sunset Candi Barong Yogyakarta

    Kembali ke Candi Barong

  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak
No Result
View All Result
insanwisata

Mencicipi Ragam Kuliner di Tulungagung

by Hannif Andy Al - Anshori
Oktober 23, 2015
4 min read
5

Pernah ke Tulungagung? Selain wisata pantainya, kota di bagian selatan Jawa Timur yang dikenal dengan sebutan Kota Marmer ini punya beragam kuliner yang lezat. Sepekan berwisata ke Tulungagung mungkin urusan perut yang paling perlu dimanja. Makanan hotel yang selalu sama rasa dan ragamnya tak banyak memberikan kesan istimewa. Saya sepakat kuliner khas Tulungagung diletakkan pada daftar wajib yang dikunjungi.

Kali ini adalah perjalanan tak biasa karena mengemban tugas sebagai peneliti dalam penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah bersama Dinas Pariwisata Kabupaten Tulungagung. Setelah melalui perjalanan panjang menggunakan Malioboro Expres (Yogyakarta – Tulungagung), sayapun diantar langsung menuju Hotel Istana, Tulungagung. Mas Rio yang mengantar kami. Beliau adalah fotografer sekaligus aktivis pariwisata yang gembar-gembor promosi lewat foto cantiknya. Berkat hobinya, Mas Rio banyak dikenal pengelola tempat wisata.

Hari telah siang setibanya kami di Hotel Istana. Mas Rio mengajak kami langsung mencicipi kuliner khas Tulungagung, Ayam Lodho. Masakan Ayam Lodho ini dagingnya ayam kampung yang dibakar terlebih dulu. Sekilas, Ayam Lodho nampak seperti ayam kari. Harga seporsi Ayam Lodho Rp75.000,00. Pasangan Ayam Lodho adalah urap. Bumbu Ayam Lodho memiliki citra rasa rempah yang kuat.

 

DSC03542

DSC03543

DSC05038

 

Mulailah dengan menuangkan kuah pedas di piring. Rasa kaldu yang menyatu dengan ayam kampung terasa lezat. Santannya yang gurih dan aroma nasi gurih/nasi uduk yang wangi menambah kenikmatan di setiap gigitannya. Dagingnya yang empuk juga mudah untuk dicabik dan sangat nikmat digado (dimakan tanpa nasi).

Malam harinya, saya tak berharap untuk makan masakan hotel. Akhirnya diputuskan untuk mencari makan malam di pusat kota. Cukup berjalan beberapa kilo saja dari Hotel Istana, saya menemukan rumah makan sate dan gulai kambing Tulungagung. Warung makan yang kecil, namun sesak banyak orang yang bersantap nikmat. Aroma bakar dari kipas sate sudah berhasil membujuk dan menggoda untuk lekas menempati kursi kosong di tengah ruangan.

“Sepuluh tusuk?” tanya penjual. Saya tak paham berapa isi satu porsi di sini, saya jawab saja dengan satu kali anggukan. Beberapa menit kemudian, sate kambing dihidangkan.

 

DSC03575

DSC03574

page

Ada yang unik dari sate di Tulungagung. Bukan pada jenis kambing, tusuknya, maupun cara menyajikannya. Sate kambing di sini dibumbui petis bercampur kecap manis. Kecap yang digunakannya tak dijual di luar Tulungagung mereknya kecap ‘Kuda’. Kecap jenis ini hanya diproduksi di Kabupaten Tulungagung. Satu porsi berisi sepuluh tusuk sate kambing dihargai Rp30.000,00. Kuliner sate kambing banyak ditemui di Tulungagung, mulai dari lesehan, bahkan sampai sekelas rumah makan. Menurut Mas Rio, kunci dari Sate Kambing Tulungagung terletak pada bumbu petis dan kecap ‘Kuda’.

 

 

DSC05293

 

Esoknya, saya pun tak ingin mencicipi makanan yang sama dengan jarak waktu yang dekat. Saya pun diajak Mas Rio ke rumah makannya. Rumah makan Bima namanya.

Memasuki rumah makan ini sudah disambut dengan suasana yang romantis. Bangunannya pun masih peninggalan Belanda. Daun-daun pintu dan jendelanya cukup besar, atap-atap dan nilai arsitekturnya masih asli menjadikan rumah makan ini nampak istimewa. Salah satu menu andalah rumah makan ini adalah Ayam Bima. Satu porsinya dihargai Rp75.000,00. Dagingnya yang empuk dan manis menjadi ciri khas Ayam Bima.

 

DSC04227

 

Sayang sekali, Mas Rio nampak kelelahan mengantar saya kesana-kemari untuk survei lapangan. Saya pun mulai berkenalan dengan Mas Aris, pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Tulungagung. Beliau pun mengajak saya mampir ke salah satu tempat minum kopi. Ya, minum kopi adalah kegemaran masyarakat Tulungagung.

Apakah kamu penggemar kopi? Jika iya, cobalah cicipi Kopi Ijo khas Tulungagung. Kopi Ijo banyak tersedia di warung kopi yang tersebar di Tulungagung. Mengapa dinamakan kopi ijo? Pertama, jika dilihat secara seksama, kopi ini memiliki warna hijau kehitam-hitaman. Kedua, karena kopi ini telah dicampur dengan bubuk kacang hijau yang telah diolah.

Mas Aris mengatakan, kebiasaan masyarakat Tulungagung tak pernah lepas dari budaya nyethe. Nyethe adalah mengoleskan endapan kopi ke rokok. Kopi yang digunakan untuk nyethe inilah yang dinamakan kopi cethe. Biasanya, rokok yang digunakan untuk cethe memiliki motif. Motifnya pun bermacam-macam, bahkan ada yang menyerupai batik.

Sejarah nyethe sebenarnya bermula dari kebiasaan para petani yang mampir ke warung kopi untuk menghisap rokok ketika selesai menggarap sawah. Rokoknyapun sesekali dioles endapan kopi yang ada di cawan.

Kebiasaan masyarakat untuk nyethe pun kini mengangkat wisata kuliner di Tulungagung. Hampir setiap jalan-jalan perkotaan sering ditemui penjual warung kopi. Bahkan ada desa di wilayah Tulungagung yang hampir seluruh tepi jalannya banyak dibuka warung kopi. Salah satu desa tersebut bernama Desa Bolorejo. Sayapun diantar oleh Mas Aris. Betapa ramainya warung-warung kopi di siang hari.

Warung kopi di sini mirip dengan warung 24 jam non-stop. Bagaimana tidak? Kebiasaan yang dibawa para petani ini kini mulai digemari kalangan muda. Bahkan saat ini, kemasan Kopi Ijo dan Cethe sudah banyak dijual di pusat oleh-oleh Tulungagung. Sayapun membelinya.

 

DSC05295

Tak puas rasanya hanya melewati Kota Marmer ini tanpa mencicipi ragam kulinernya. Kuliner Ayam Lodho, kopi cethe, kopi ijo, dan sate kambing sangat mudah ditemui di setiap sudut Tulungagung. Sementara untuk Ayam Bima, hanya ada di satu rumah makan saja, yaitu Rumah Makan Bima. Bagaimana? Tertarik ke Tulungagung?

Previous Post

Tradisi Lomban di Pulau Nyamuk: Akhirnya Makan Ketupat

Next Post

Pantai Kedung Tumpang, Primadonanya Tulungagung

Hannif Andy Al - Anshori

Hannif Andy Al - Anshori

Suka bertualang untuk menikmati peninggalan sejarah, budaya, dan berinteraksi dengan masyarakat lokal. Sangat senang jika bisa berbagi cerita dan informasi kepada orang lain.

Related Posts

Praktisi pariwisata dan desa wisata
Catatan perjalanan

Menjadi Pengajar

Juni 19, 2023
Sunrise Candi Plaosan
Catatan perjalanan

#KelanaKai: Sunrise Candi Plaosan yang Kesiangan

Maret 5, 2023
Desa Muncar Moncer
Catatan perjalanan

Sofiyudin Achmad, Sosok di Balik Desa Muncar yang Kian Moncer

Desember 31, 2021
Monumen Plataran
Catatan perjalanan

Mengenang Pertempuran Plataran

Januari 8, 2020
Next Post
Pantai Kedung Tumpang, Primadonanya Tulungagung

Pantai Kedung Tumpang, Primadonanya Tulungagung

Comments 5

  1. cumilebay.com says:
    10 tahun ago

    Jadi kangen ayam lodho, dulu aku ke blitar di bikinin nyokap nya temen ku

    Balas
    • insanwisata says:
      10 tahun ago

      Ayam Lodho enak yaa. empuk gituu.. di Blitar sama Trenggalek juga ada ayam lodho kok

      Balas
  2. angkisland says:
    10 tahun ago

    Tulung agung emang keceh mas… wah sayang saya kalo kuliner nol besar nih hehe,,,,

    Balas
    • insanwisata says:
      10 tahun ago

      Nol besar gimana mas Angki? Iya. Udah dua kali kesini ga bosen2 dengan Tulungagung

      Balas
  3. insanwisata says:
    9 tahun ago

    sama2 min. semoga bisa main ke sana lagi ya

    Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

© 2023 a storyteller

No Result
View All Result
  • Tentang kami
  • Konsultan
  • Catatan perjalanan
  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak

© 2023 a storyteller