Kabut tipis menutupi pemandangan usai adzan subuh berkumandang. Dua lembar selimut tak cukup membuat hangat tidur saya semalam. Cahaya matahari berusaha masuk menembus embun yang menutupi kaca-kaca jendela kamar. Saya yang masih bermalas-malasan di antara tumpukan sarung dan dua selimut dibangunkan Mas Abi.
Mesin bus sudah dipanaskan. Saya masuk memasang posisi duduk di belakang supir. Kemudian menggosok-gosokkan telapak tangan agar tetap hangat. Bus melaju lambat. Berat karena beban dan kemiringan jalan yang agak menanjak. Sunrise tak lagi dapat dinikmati. Sudah sangat terlambat untuk memulai berburu sunrise. Untungnya, Bukit Scotter tak jauh dari tempat menginap saya, D’Qiano. Tak butuh waktu lama, bus sudah menepi di pinggir jalan.
Rombongan peserta berjalan, saya turut mengekor di belakang. Mereka adalah kelompok geng Ketenger. Anggotanya terdiri dari orang-orang ngapak yang cukup asyik. Sepagi ini, sudah banyak masyarakat yang memulai aktivitas. Berdagang, bercocok tanam, segalanya dikerjakan di waktu yang saya kira nikmat untuk melanjutkan tidur pagi.
Saya mengeluarkan kamera, kemudian menyapu lensanya yang lembab karena embun. Sembari menyapa ramah, saya memotret aktivitas mereka dan bertanya sedikit banyak hal. Senyuman dan kelincahan mereka bercocok tanam memberikan banyak suntikan semangat.

Lanskap Dieng memang selalu memanjakan mata. Meski sudah empat kali datang, rasa kecintaan pada bentang alamnya tak pernah berkurang. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, di sinilah para Dewa Dewi bersemayam. Di antara pemandangan alam yang menakjubkan dengan pemukiman penduduk yang tertata apik. Tak lama saya berjalan, Bukit Scotter sudah di depan mata.
Nama ‘scotter’ diambil dari nama tower yang dibangun pada masa Hindia Belanda. Ia bagaikan primadona baru yang tak ramai dan sesak untuk mengagumi terbitnya fajar. Di sekelilingnya berhias tanaman dengan warna-warni dedaunan yang turut mempercantik pemandangan.


Dari ketinggian 2200 Mdpl, saya melempar pandangan. Selain tanaman dengan warna yang cantik, terpapar pemukiman yang dikelilingi hamparan ladang kentang dan sayuran. Di antara bangunan-bangunan beratap genteng, berdiri indah masjid yang tingginya tiga kali besar. Berhadapan dengan Bukit Scotter, berdiri Gunung Sindoro yang gagah.
Bukit Scotter menghadap arah yang pas. Pandangan lepas di sekeliling sana adalah keanggunan tempat bersemayamnya para Dewa. Tepat di belakang saya, mengantre beberapa teman yang ingin naik ke gardu pandang. Kelompok sadar wisata Dieng Pandawa sendiri yang membuatnya. Saya lebih memilih mencari spot yang sepi dan tak bocor dari lalu lalang. Setidaknya, Bukit Scotter masih memberikan banyak ruang untuk sudut memotret.

Penampakan golden sunrise tak banyak dipertunjukkan. Saya hanya bisa memotret siluet yang memancar di antara Sindoro sebagai latarnya. Ia sedikit memberi harapan pada kami yang sudah candu pada warna baskara terbit. Namun yang membuat saya takjub adalah Dieng tak lebih dari kawasan pedesaan yang di dalamnya bertahan kearifan lokal dengan banyaknya jejak nenek moyang. Tersebar di sana beberapa tempat persembahan berupa candi, pula kepercayaan pada anak berambut gembel yang setiap tahunnya diruwat.
Langit semakin cerah. Sindoro tetap gagah menjadi latar pemandangannya. Satu persatu dari rombongan berfoto secara bergiliran. Juga sepasang kekasih yang berfoto sangat mesra. Saya melintas di depannya dan turut memotret kebahagiaan mereka. Sementara Mba Idah, satu-satunya peserta yang membawa anak balita kerap menarik perhatian saya.


Sudah dari kemarin Idah Kecil diajak berkeliling menjelajah dinginnya Banjarnegara. Ia tampak senang karena diwarisi sifat pejalan Ibunya. Bola matanya yang bulat menatap sekeliling dengan rasa ingin tahu yang dalam. Ia diajarkan untuk sadar kamera. Kemanapun Ibunya pergi, Idah Kecil turut menemani. Idah Kecil kelak menjadi petualang yang bijak.
Bukit Scotter bagi saya adalah tempat alternatif untuk pengambilan gambar sunrise yang tak menyusahkan. Meskipun tersuguh aneka tempat wisata yang cukup beragam, Bukit Scotter sangat layak untuk pemula. Pertama, bukit ini memang belum lama dibuka dan belum cukup terkenal. Bagi yang malas bersenggol-senggolan dengan wisatawan, datanglah menuju Bukit Scotter.
Kedua, untuk mencapai puncak Bukit Scotter tak seberat medan menuju puncak Sikunir, yang juga dikenal sebagai spot terbaik menikmati golden sunrise. Ketiga, cukup dengan merogoh kocek Rp5.000,00, sudah dapat pemandangan lanskap Dieng yang cukup indah. Bagi saya, alam di Dieng memiliki unsur keindahan yang berbeda-beda. Tergantung dari sudut mana kita melihat dan menangkap momennya.
Baca juga : Harmoni Pagi Desa Wisata Banjaroya

Di tempat para Dewa, saya berdiri mengagumi keelokan pesona alam, budaya, dan masyarakatnya. Dieng kala itu, yang hanya disesaki tanaman sayuran sebagai penyambung hidup masyarakat petani. Dieng yang sekarang, adalah destinasi wisata yang hasilnya turut dinikmati masyarakat lokal.
Sepanjang jalan menuju Bukit Scotter, banyak produk barang maupun jasa yang dijual. Mulai dari homestay, purwaceng, carica, kentang, dan produk unggulan lainnya. Dari Dieng, dengan keberhasilannya membangun pariwisata bersama masyarakat, saya banyak menjadikannya sarana belajar.
Baca juga : Dinginnya Dieng dan Hangatnya D’Qiano

Langit pagi itu sedang cerah-cerahnya. Alam nampak senang kedatangan tamu-tamu jauh dari banyak kota. Ia masih mempersilahkan kami untuk mengeksplor destinasi lainnya. Namun waktu yang tak panjang. Tak lama setelah bermesra pada alam di Bukit Scotter, satu persatu dari kami kembali pulang. Setiap langkah kaki kepulangan saya teriring rasa salut pada masyarakat yang berhasil mengelola dan menyulap sumber dayanya.
Alam yang kaya, sedemikian rupa dipoles dengan tetap mempertahankan unsur kealamiannya. Saya masih berharap, esok dapat menyambanginya lagi untuk mendapati baskara terbit di tempat yang sama. Maka jika ada kesempatan lagi datang ke Dieng, saya akan bangun lebih pagi sebelum sinar matahari menyundul tampak, kemudian bermunajah di atas tanah Bukit Scotter.



Kamu di sini minum Purwaceng nggak? Kkakakakakak
jelas. minum lah
iya mas. banyak tempat wisata baru juga lho. ayo ke sini lagi
Jadi sachetan purwacengnya masih sisa berapa? Hahaha
masih sisa 2 nih. wkwk
Ke Dieng terakhir kali pas ada acara outbond di Perkebunan Teh Tambi terus mampir ke Dieng.. masih kebayang ademnya kalau lihat foto2 itu
wah. aku baru sekali ke Tambi. pengen k sana lagi e.
Selalu mupeng kalau ada orang cerita atau nulis tentang Dieng. Aku mau kesana belom jadi juga padahal rumah relatif dekat dari Dieng atau Wonosobo.
wah. ayo Mba disegerakan ke sananya. hehe
BUkit yang indah dan menarikk,, suka dengan perbukitan hijau seperti ini, dannnn jadi kangen dengan golden sunriseee…
yuk min ke sini. hehe. ditunggu kedatangannya dan ceritanya
Bisa banget Mas, tapi tanah lapangnya g seluas di Sikunir.
alternatif sikunir nih, gak terlalu jauh, serta tentunya gak terlalu ramai 😀
benar banget.. monggo bisa disambangi sesekali
Beruntung sekali bila pas langit pagi sedang cerah-cerahnya yaa 🙂
iya mas. tannpa kabut, golden sunrise didapat
pemandangannya sangat indah dan keren banget, ane jadi pengen menikmatinya
yup. mari ke sini
boleh. jemput aku d jogja dulu ya. hehe
Kalau berlibur ke dieng ini, ga jauh beda seperti liburan ke Batu kalau di Jatim. Cuma skrg di batu udah terlalu ramai sekali, banyak tempat wisata & wahana2 jadi kurang asrinya. Kalau dieng ini masi enak huhu asrii sekalii.
Aku baru sekali doang nih k Batu. ajakin lagi dong Mba. hhaha.
aku kangen Jatim Park je. sensasi naik wahana2nya gt deh
Waaah, ada Jasmine di sini. 😀 “Semoga doa dan harapan Kak Hanif terwujud ya, Nak.” Towel pipi Jasmine.
Btw, suka bangett ngelihat foto2 para petani itu., 😀
oh namanya Jasmine. baru tau aku. haha. lha bingung mau nulis siapa. ya udah Idah kecil ajaa. wkkw..
aamiin
Kalo gw kok miris melihat dieng, semua lahan di babat habis dan di tanami tanaman produksi seperti kentang. Aku mengkhawatirkan longsor lho karena ngak ada akar yang mencengkram tapi dieng mmg mempesona
iya Om. disamping itu. hidup mereka banyak bergantung jg dari sini. hehe