Gelapnya subuh cepat diudar matahari pagi. Belum genap jarum jam menunjuk pukul enam, saya dan Iqbal Kautsar -Travel Blogger Yogyakarta- bergegas menuju Pajangan, Kabupaten Bantul. Iqbal membawa motor sangat lincah. Mujurnya, hari itu bertepatan dengan libur panjang sekolah yang membuat jalanan tak dirayapi banyak kendaraan.

Dibungkus lanskap pedesaan, jauh dari polusi suara kendaraan, berdiri memanjang jembatan pemintas jarak dan waktu banyak orang. Jembatan ini juga dikenal sebagai pemisah jarak antara Kabupaten Bantul dan Kulonprogo. Meski sebagai jalur pintas, tak banyak yang mengetahui, juga tak banyak yang bisa melewatinya. Kami pun perlu bertanya pada masyarakat sekitar tentang keberadaan jembatan ini.
Momen meniti jembatan Sesek Manukan bisa dibilang menegangkan. Bagi yang tak terbiasa, pasti akan merasa takut menitinya. Jembatan yang jika diamati amat ringkih, namun telah membantu masyarakat dari segala pemilik profesi, seperti sekolah, bekerja, berladang, berniaga, maupun hanya sekedar menjajal melewatinya. Maka tak heran, setiap hari jembatan ini akan diurus agar setiap orang dapat melewatinya tanpa rasa takut.
****

Jembatan Sesek Manukan, Bantul
Sinar pagi yang kian meninggi pun terasa nyaman dinikmati. Terlihat sinarnya menelusup dedaun pepohonan yang terserak di sana. Aroma basahnya tanah berkelindan mengakrabi pagi tanpa polusi. Diselimuti sedikit kabut dengan berbagai aktivitas para warga yang meretas jarak adalah pemandangan yang menurut saya tak biasa.
Krek… Krek… Krek… Bunyi bambu yang dilindas roda motor terdengar begitu khas. Getarannya bahkan terdengar sampai ujung jembatan. Saya dan Iqbal pun tak berani banyak bicara saat menitinya. Berbelok sedikit saja, pastilah motor akan terjun ke sungai.
Tentang siapa di balik jembatan Sesek ini, bertemulah kami dengan Kasidi dan rekannya. Pagi itu, saya dapati mereka sedang membarui jembatan yang memang belum rampung sempurna. Namun sejatinya, jembatan ini sudah layak untuk dilewati secara hati-hati. Hal ini terlihat dari ramainya pengendara yang berani melintas cukup cekatan.

Umumnya, Kasidi dan rekannya bekerja sebagai penambang pasir di Kali Progo. Namun melimpahnya pasir tak bisa diharap sepanjang hari. Memasuki musim kemarau, mereka bahu membahu menata jembatan bambu yang menghubungkan Lendah (Kulonprogo) – Pajangan (Bantul).
Sekiranya dihitung jumlahnya, ada lebih dari 400 bambu yang digunakan supaya jembatan ini bisa dilewati nyaman. Bahan lokal yang biasa didapat dari hutan bambu dusun sekitar ini dapat diselesaikan paling tidak dua pekan saja. Itupun jika dikerjakan secara beramai-ramai.


Berbeda cerita jika musim beralih ke penghujan. Musim penghujan dengan curah tinggi akan membuat Kali Progo memiliki debet air tinggi. Di sanalah para warga bergotong royong mengusung dan menyelamatkan jembatan Sesek bambu. Karena jika tidak, jembatan Sesek akan tenggelam terbawa arus. Bolehlah membuka catatan dari rekan saya, Dwi Susanti. Bagaimana Badai Cempaka yang datang pada Desember 2017 telah mengacau beberapa jembatan penghubung di Kali Opak. Hal yang bisa bernasib sama dengan jembatan Sesek ini.

Jembatan Sesek Mangiran, Bantul
Bergeser ke arah selatan sedikit saja, kami mendapati satu jembatan Sesek penghubung lagi. Dikenal dengan nama Sesek Mangiran, jembatan ini lebih sering dilewati warga lokal. Bahkan saat itu, jembatan ini sedang ramai dibidik para fotografer komunitas. Sama halnya dengan kami berdua, mereka menganggap Sesek Mangiran memiliki daya pikat potret tradisional masyarakat Yogyakarta yang di dalamnya terdapat ruh kearifan lokal.
Saban harinya, jembatan ini sibuk dilewati para pemotong jarak antar dua kabupaten. Dari sisi yang berlawanan, terlihat para kendaraan berplat Yogyakarta mengantre. Mereka haruslah jitu melihat ke seberang. Bisa dimaklumi, jembatan ini memiliki lebar yang hanya sanggup menampung roda dua saja.

Jembatan Sesek juga dianggap sebagai jalanan yang begitu menguji adrenalin. Suatu kali saya melihat, seorang wanita tak berani menyeberangi jembatan ini. Tak sulit untuk meminta bantuan. Ia memanggil seorang bapak di seberang. Bergegas ia datang membantu wanita yang membawa bronjong (keranjang) belanjaan.
Adalah jembatan Sesek Manukan dan Mangiran, pemotong jarak yang ampuh bagi sebagian mereka yang berkejaran dengan waktu. Dibanding mereka harus memutar jalan menempuh lebih jauh lagi, biarlah merogoh kocek yang tak banyak. Menyisihkan uang Rp1.000 hingga Rp2.000 bukanlah harga yang mahal. Uang yang terkumpul kembali diputar. Untuk mengupahi para pekerja beserta makan hariannya, juga untuk merawat jembatan yang kapan saja bisa ikut terbawa arus Kali (Sungai) Progo.


Sepuluh tahun lagi, masihkah pemandangan Sesek bambu dapat saya nikmati?
Pertanyaan yang kadang terlalu egois ini sempat terlintas dalam pikiran. Bahkan saya tak perlu tahu bagaimana pandangan mereka yang sudah sangat bergantung pada jembatan ini. Ya, bisa saja mereka berhajat segera ada perhatian dari penyandang dana untuk terlibat dalam pembangunan jembatan secara permanen. Tak ada bagian saya untuk ikut campur memperkarakan hal ini. Biarlah mufakat mereka yang menentukan takdir jembatan Sesek bambu yang penuh cerita ini.
Tentu kita bersepakat, pemandangan Sesek bambu seperti ini, akan selalu dirindukan bagi mereka yang memiliki kenangan melaluinya. Maka bagi saya, menyaksikan kedua jembatan ini adalah sebuah upaya merekam potret tradisional mobilitas seseorang. Tentu saya sangat beruntung sudah mengabadikan dan merasakan sensasi menitinya.
Lokasi : Jembatan Sesek, Mangir Lor, Sendangsari, Kabupaten Bantul

Catatan : Oh, ya. Drone saya sempat jatuh di jembatan Sesek Mangiran. Saking asiknya saya dan Iqbal melihat layar smartphone, saya mengabaikan drone yang sudah menabrak ranting-ranting pohon. Drone akhirnya jatuh ke sungai dengan kondisi kamera dan gimbalnya lepas terendam air. Untungnya, drone masih bisa diselamatkan dan bisa terbang normal.
Terima kasih JogjaSky sudah menyelamatkan nasib drone saya. JogjaSky sendiri hanya menerima perbaikan dan penjualan suku cadang DJI. Sepanjang tidak mengganti suku cadang, perbaikan tidak akan dikenakan biaya. Namun bagi Anda penggunan drone di luar merek DJI, tentu tidak bisa.
Aku malah belum sempet ke jembatan sesek Manukan yang utara Nif… Dengar kabar, sebentar lagi jembatan sesek tersebut akan digantikan jembatan permanen yang menghubungkan Bantul-Kulon Progo. Beruntung dirimu sudah sempat ke sana dan mengabadikan :’))
Pas aku ketemu temenku yang waktu itu motret sesek juga, dia langsung bertanya begini: “mbak, gimana drone-nya temenmu? Jadinya gapapa kan?
Waktu itu tiba-tiba aku denger krusukkkk-krusuuukk”
:p
Tuh kan. Berarti benar bakal diganti beton permanen.
Lhoh, temanmu ada di sana? Yang mana? Iya, aku sama mas Iqbal fokus ke layar HP. Gataunya drone udah masuk ke dedaunan pohon. Dan jatuh dong. Untung cuma pegal linu aja. Sisanya dibersihin di bengkel. Alhamdulillah sekarang sudah waras dan siap dibawa terbang lagi. wkwkw. Pelajaran 😀
Nyebrangin jembatan sesek gini bisa jadi salah satu ujian SIM nih :)))
Yang lolos di sini berarti teruji kemampuan nyetir motor :))
Wah. Ini khusus ujian para ibu2 aja. Kalau kita para remaja, tetap ujian sim seperti biasa. haha
Kok aku kenal sama pesepeda yang bertiga itu ya hahahahhaha. Itu salah satu teman komunitas sepeda di Jogja. Selain sesek, sekarang di Kali Opak masih ada yang pakai rakit karena belum dibuat jembatannya. Coba ke sekitaran wonokromo.
Wah, kamu siapa aja dikenal je. Paling yang sepedaan di Papua juga dikenal. wkwkw
Tulisanmu apik, mas.
Semoga saat nanti jembatan bambu ini berubah menjadi jembatan beton, desainnya dibuat manis supaya tak kehilangan pesonanya 🙂
ada yang menyayangkan kalau jadi beton, ada yang mengaminkan. hehe.
Terimakasih mas atas apresianya
ngeliat jembatannya di lalui motor banyak ngerii jugaa.. hihii
Yes mas. tapi seru!
Nemu blog ini di tahun 2021 🙂
Jembatan sesek ini sering hanyut saat musim hujan dan dibangun lagi untuk membantu warga agar terhubung Bantul – Kulon Progo.