Paradise Found. Kata yang saya temukan dalam dokumen perencanaan pariwisata untuk mem-branding nama Tambora. Istilah surga yang ditemukan bagi saya terdengar tak berlebihan. Waktu itu, saya datang untuk kedua kalinya, berniat menjelajah lingkar pinggang Gunung Tambora. Kunjungan sebelumnya saya habiskan waktu menjelajah lingkar selatan. Dalam tujuh hari pada kunjungan kedua, saya habiskan menjelajah lingkar utara. Bosan? Tentu tidak. Karena bertualang berkali-kali akan membuat kaya sudut pandang dan pengalaman.
Tapi keadaan berubah saat di lapangan. Tim yang dikirim hanya dua orang lebih cepat mengeluarkan keputusan. Kami memilih bermukim sebentar saja di Dusun Pancasila. Dusun Pancasila bukanlah kampung kecil dengan kelompok masyarakat petani kopi saja. Dibutuhkan waktu dua hari penuh untuk mengeksplor dusun yang tampak kecil ini. Belum lagi jika tuan rumah mempersilahkan mampir. Menjamu kopi seperti sudah menjadi tradisi bagi mereka untuk menyambut tamu di kampungnya. Semerbak bau dan rasa kopi Tambora memang tak membosankan. Dalam satu hari, saya bisa menghabiskan lebih dari lima cangkir.
Ahad menjadi hari yang istimewa bagi mereka. Ruas-ruas jalan diisi dengan gotong royong para pemuda. Dapur bagi Ibu-ibu Dusun Pancasila ada di mana saja, tak harus berada di belakang rumah atau tertutup agar aromanya tak tercium tetangga. Halaman rumah mereka disulap menjadi dapur yang ramah. Sementara bagi anak-anak Dusun Pancasila, berkumpul bersama teman sebaya adalah yang paling seru dibanding menyaksikan acara televisi di Hari Ahad. Mereka berkumpul. Di halaman rumah, di lincak depan rumah, di dapur ibu-ibu, maupun di tengah agenda gotong royong masyarakat.
Sore hari, tak jauh dari Dusun Pancasila, saya menuju Labuan Branti. Rencana menikmati matahari tenggelam tak keturutan karena langit enggan bersahabat. Dan lagi, ada keramahan masyarakat yang saya jumpai. Para kaum pria sedang merapikan jaring untuk mencari peruntungan melaut di sore hari. Anak-anak mereka turut menyaksikan dan mengantar.
“Ayah, jika aku besar nanti, aku akan ikut melaut bersama Ayah”. Terdengar sederhana, tapi begitu romantis di telinga.
Ada yang menyambut saya satu per satu. Tak banyak bicara, tapi penuh tawa. Ibunya tersenyum di balik jendela menyaksikan kami berbaur bahagia bersama mereka.
********
Langit semakin larut berganti malam di bawah taburan bintang. Esoknya, kami berpamitan. Kendaraan kami melaju ke arah utara, menuju Desa Kawinda To’i. Kabarnya, di sana banyak tempat menarik dengan lanskap yang berbeda. Ladang yang gersang adalah pemandangan utama di jalur lingkar utara. Di balik bukit-bukit, terhampar luas pesisir pantai dengan ombak yang cukup tenang. Petualangan dimulai. Badan kecil saya diguncang jalanan berlubang berkali-kali. Kala ada pemandangan apik, saya bergegas turun dan mengambil gambar.
Pemandangan jalur lingkar utara boleh dikatakan cukup beragam. Kami melewati mata air yang sangat jernih, Oi Tampuro, Desa Piyong. Dinginnya mata air Tampuro membasahi kulit saya yang kering disengat terik matahari. Mata air ini dijaga seharian sekumpulan sapi dan kerbau. Mereka adalah penguasa halaman Oi Tampuro. Tampak dua gadis duduk santai sembari bertukar cerita. Oi Tampuro sudah menampung peluh mereka berdua.
Titik pertama kami memulai penjelajahan Kawinda To’i dimulai dari sini. Pak Rusdi rehat sejenak sembari membersihkan sepatu pria kesayangannya. Genap sudah lima hari beliau mendampingi perjalanan kami menjelajah kaki Gunung Tambora. Sepanjang membawa kami, Pak Rusdi tak berhenti mengajak ngobrol. Agar kami tak bosan, diputarlah keras-keras musik kesukaannya.
Tiga jam perjalanan dari Dompu akhirnya membawa kami memasuki pedesaan yang tak padat penduduk. Rumah-rumah baru didesain layaknya kawasan perkotaan. Kawasan ini dinamakan Kota Terpadu Mandiri yang menjadi ikhtiar pemerintah untuk meningkatkan pembangunan perekonomian masyarakat Tambora. Kami melintasi jalan boulevard yang setengah jadi. Menurunkan kaca jendela, kemudian menyapa rombongan pekerja bangunan yang pulang menenteng peralatan tukang.
Selesai memotret kawasan Kota Terpadu Mandiri, Pak Rusdi membawa kami menuju Air Terjun Sori Panihi. Melimpah ruah air bersih menjadi sumber kehidupan di sini. Air terjun dengan tinggi 17 meter ini menjadi sumber air bersih PDAM setempat. Di sini, sedang berjalan proyek besar PLTMH sebagai alternatif energi terbarukan yang akan menerangi Tambora sepanjang lingkar utara.
Kami mengekor tepat di belakang Pak Rusdi. Ia memimpin perjalanan blusukan kali ini. Tak sekadar menunjukkan keindahan, Air Terjun Sori Panihi adalah satu dari banyak geosite yang akan diusulkan ke nasional. Berumur lebih dari ratusan tahun, struktur tanah di Sori Panihi ditindih batuan purba akibat letusan Tambora. Menarik!
Dalam suasana masih dibawa takjub pada keragaman alam, kami melanjutkan obrolan tentang surga yang ditemukan di atas kendaraan. Surga yang bagi saya telah punya segalanya. Potensi alam yang melimpah, jejak budaya yang kaya, hingga masyarakat yang senantiasa bersahaja. Sembari menikmati suasana penutup hari dari dalam kendaraan, saya memohon dalam hati. Tetaplah lestari, Tambora dan masyarakatnya.
Catatan perjalanan lainnya dapat dibaca dalam tulisan Jelajah Kaki Gunung Tambora. Selamat menikmati!
P.S: Jika kesulitan mencari sewa kendaraan selama di Bima, ada beberapa rekomendasi saya yang dapat dihubungi: Bapak Rusdi (085338835433) dan Bapak Burhan (082341497258). Sedangkan bagi yang ingin menggunakan jasa pemandu selama pendakian Gunung Tambora jalur Kawinda To’i, dapat melalui Bapak Anton BKSDA (082340953419).
Video jelajah lingkar kaki Gunung Tambora melalui Kabupaten Bima dan Dompu dapat dinikmati di sini
Lokasi Desa Kawinda To’i
Itu mbak-mbaknya kok nggak disuruh mandi? Biar bisa diabadikan 😀
Mbaknya buang muka.. malu ada cowo ganteng
wah seru!! jadi pengen ngebantuin si mbanya nyuci *eh*
Adis takdos
travel comedy blogger
http://www.whateverbackpacker.com
itu g nyuci padahal. cuma main air :p
Kali ini di lingkar utara ga pake motor dengan track menantang lagi nif?
Air terjunnya ademn, senyum penduduknya juga ngademin 🙂
pake avanza mba. haha. terobos pokoknya.
adem yaa. semanis senyumannya princess
Yes. karena sambutan ramah dr masyarakat sih mas
Kalo dapur terbuka gitu berarti aroma nya memanjakan yaaa, bikin nafsu mau ikutan makan hahaha #NgarepGratisan
sangat.. bahkan g perlu mengendus2 pura ga lapar gt. bakal ditawarin. disuguhi gratiss.. haha
air terjunya seger banget jadi pengen nyeburrr…
emang di tambora seger2
Keren, apalagi bisa mandi di air terjunnya 🙂
Gunung Tambora ? Baru dengar nih.. hehe
Indah sekali pemandangan Indonesia ini, sepertinya enak kalau bisa naik perahunya mas ?
Ikut merahu gak mas ? 🙂
ikut mas. ke pulau Satonda
selalu suka dengan daerah Timur, gunung tambora dulunya kan besar banget ya, ingin suatu hari ke tambora juga 😀
iya. besar banget. semoga bisa k sini ya Mba
Ah senang dan beruntungnya bisa jelajah daerah timur gan. daerah yang selalu menawarkan senyum dan pesona yang memikat.
Semoga esok bisa ke mari
aamiin mas. semoga ya.
keren ya masyarakat di dusun Pancasila
kapan ya bisa ke Sumbawa lagi??
insyaAllah kalau ada rezeki. hihi
Air terjunya keren gan 😀
btw nggak diterusin ke puncak Tambora ??
hehehe
kaga nih.. haha. g ada waktu dan diburu kerjaan
Wah, pengen naik kebonya sambil telanjang dada.
*antimainstream*
saiki lagi jaman naik kebo ya mas. sambil selfie gt