Perjalanan adalah sebuah sudut pandang. Tergantung darimana kita melihat dan memberikan makna dari sebuah perjalanan. Seperti yang dikatakan Agustinus Wibowo dalam buku ketiganya yang berjudul Titik Nol, “perjalanan tanpa makna bagaikan rumah tanpa roh. Hanya wujud yang tanpa jiwa.”
Ini adalah kali pertama saya menginjakkan kaki di ketinggian Purworejo, kota yang tak cukup terkenal sebagai tujuan berwisata. Menyelami Purworejo seperti menemukan harta karun dalam tumpukan jerami. Ada yang luar biasa dari Purworejo. Saya justru menemukan tawa lepas, kegembiraan yang bukan dibuat-buat ketika melihat alamnya, mengenal ramah penduduknya, dan menikmati suguhannya. Berniat hanya berwisata kuliner sambil berburu durian, tak sengaja saya mendapati banyak fakta unik dari kota kecil ini.
Catatan kecil yang semula tak ingin saya jadikan artikel ini ternyata cukup penting juga untuk disampaikan. Lima atau sepuluh tahun, segala sesuatunya tak akan pernah sama lagi. Maka sesempat mungkin, ijinkanlah saya menuliskan sepotong perjalanan fakta unik Purworejo.
Purworejo, durian diobral murah. Bagi kebanyakan pecinta durian mungkin selalu rela menguras dompet untuk memborong durian. Berbagai macam kuliner durian mulai banyak ditawarkan, seperti dodol durian, kolak duren, bahkan belakangan ini muncul sop duren. Sensasi makan durian memang sangat berbeda dengan makan mangga, apel, atau lainnya. Belum banyak survei yang mengatakan demikian. Tapi itulah yang saya rasakan ketika menikmati suguhan durian di Kaligesing, Purworejo.
Harga durian di sini sangatlah murah. Jangan kaget jika durian menjadi suguhan jika kita bertamu di Kaligesing. Jika kita memborong durian langsung dari petani di Kaligesing, Rp10.000,00 adalah harga yang paling mahal untuk durian ukuran besar. Kebetulan, itu adalah waktu yang tepat bagi saya. Di luar hari Senin sampai Jumat, durian akan terjual habis. Maka diperlukan jauh-jauh hari untuk memesan durian di sini. Saya adalah orang yang paling beruntung saat itu. Dengan membayar Rp120.000,00 saya bisa memborong 15 durian!
Purworejo, kelompok ternak Ettawa. Jenis Ettawa adalah jenis kambing yang besar dan gagah. Bahkan secara terhormat kambing-kambing ini mendapatkan tempat yang layak dari masyarakat setempat. Sangat kontras dengan tempat kambing lain di luar Purworejo. Kandang-kandang mereka sangatlah bagus, rapi, dan bersih untuk ditempati. Meskipun para kambing tak pernah mengenyam bangku pendidikan dan membuang kotoran seenaknya di kandang. Tapi nampaknya hal itu tak sedikitpun memberikan kesan kumuh pada tempat tinggal mereka. Masyarakat dengan cerdas menyulap kandang ini nampak seperti rumah makan. Sekumpulan Ettawa nampak menghuni kandang-kandang ini.
Purworejo, sawahnya subur. Nampaknya bagi orang desa sudah terbiasa melihat sepetak sawah. Meskipun saya adalah orang desa, namun ada kesan tersendiri ketika melihat sawah-sawah di Purworejo. Petak-petak sawah ini menggambarkan bahwa masyarakat Purworejo adalah masyarakat yang cinta lingkungan, ulet dan pekerja keras. Hijaunya mengantarkan saya untuk bernostalgia pada terasering di Bali. Entah sampai kapan padi itu tetap hijau. Nampaknya saya tak lagi ikhlas melihat padi-padi itu menguning dan merunduk. Biarkanlah mereka tetap hijau. Hijaunya memberikan kenangan yang mempesona.
Begitulah. Purworejo mungkin tak mempesona bagi kebanyakan pejalan. Namun lagi-lagi, perjalanan adalah sebuah sudut pandang. Dan Purworejo adalah tempat yang menawan jika dilihat dari satu sisi sederhana seorang pejalan.
Wah beneran segitu murah duriannya? Surganya penikmat durian dong ya…
Bocah Petualang : Benar sekali 🙂 murah dan enaknya sangat menggoda. bisa dibilang surganya penikmat durian