Luluh lantak satu dekade terakhir yang terjadi di Yogyakarta memang pahit tatkala terkenang. Pada kurun waktu itu, gunung dan laut marah pada daratan. Manusia, rumah, hewan ternak, jadi korban. Untuk sejenak, sekolah diliburkan, pekerjaan dihentikan, bahkan sama sekali hilang. Pilu. Cepat atau lambat, kehidupan seperti biasanya harus terus berjalan. Meskipun begitu, orang di lereng gunung maupun dekat lautan masih menyisakan semangat di balik tangis kehilangan. Namun ketika semangat membara tanpa uluran tangan dari yang terketuk hatinya, akankah mimpi mereka terkabulkan?
Beruntung, Dompet Dhuafa datang memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Dompet Dhuafa ialah lembaga nirlaba milik masyarakat Indonesia yang berkhidmat mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, serta dana lainnya yang halal dan legal, dari perorangan, kelompok, perusahaan/lembaga). Lama setelah mengalirkan bantuan baik melalui materi dan binaan, beberapa waktu lalu lembaga ini menghelat perjalanan bertajuk “Care Visit Explore Jogja: Cultural and Empowerment Heritage”. Kunjungan ke tiga desa yang kaya akan produk lokal waktu itu meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Dari sana, ada hikmah yang tersirat. Bahwa bencana hanya menerjang harta benda. Dan semangat kukuh akan luput dari hantaman.
Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta
Pagi, 27 Mei 2006, gempa tektonik mengguncang Yogyakarta dan beberapa daerah di Jawa Tengah dengan Kabupaten Bantul sebagai titik pusatnya. Ribuan rumah rata dengan tanah. Ribuan nyawa binasa. Tak terkecuali Desa Wukirsari yang turut merasakan bumi diguncang hebat. Di desa ini, tangan para Ibu terampil membatik. Sedari kecil, perempuan di sini telah akrab dengan batik. Keahlian turun temurun ini mereka pelajari secara otodidak. Pula, darah mereka masih keturunan abdi dalem Kraton yang memang mewajibkan para istri sanggup membatik untuk keperluan busana di istana. Namun, pekerjaan sampingan itu harus sementara sirna lantaran dirusak gempa.
Dompet Dhuafa percaya perempuan di Desa Wukirsari punya tekad untuk mengembangkan produk lokal. Maka, bantuan para donatur terulur melalui program pemberdayaan pengrajin batik di desa ini. Komplek pendopo beserta segala fasilitas termasuk galeri batik pun dibangun atas nama Kelompok Batik Tulis Berkah Lestari Giriloyo. Tak hanya menulis batik bercorak Udan Liris yang jadi produk asli desa, lima puluh perempuan di kelompok kerajinan ini pun menulis batik dengan corak lain, seperti Sidomukti. Selain corak kainnya yang merupakan batik tulis, pewarnaan kainnya pun menggunakan bahan indigo atau alami. Pantas jika harganya sedikit melambung.
Pada acara #CareVisit, para peserta yang terdiri dari donatur dan undangan turut diajak untuk belajar menulis batik pada sehelai kain berukuran sapu tangan. Canting-canting klowong (longgar) disediakan bagi kami para pembatik pemula. Bagiku pribadi, ini merupakan pengalaman pertama memegang canting untuk menulis corak batik. Meskipun kaku, lengan dan jemari ini memegang canting dan kuas melukis pola yang sudah ada sebelumnya. Mulailah canting diapit ibu jari dan telunjuk, diisi malam yang senantiasa panas, lalu menghias kain putih penuh kehati-hatian. Meskipun terkadang harus mengaduh karena jari terkena tetesan panas malam—yang juga meninggalkan bercak pada kain—pengalaman pertama menulis batik terasa amat menyenangkan.
Selesai bergelut dengan canting dan kuas, kain yang telah penuh corak kuserahkan pada para ibu yang bertugas mencelup dan mencucinya ke dalam berbagai cairan panas dan dingin. Proses tersebut menghasilkan warna merah pada kain dengan corak batik berwarna putih. Agar bisa nyaman dibawa sebagai kenang-kenangan, kain batik dijemur beberapa saat. Teriknya siang itu membuat proses pengeringan kain batik tak harus memakan waktu lama. Sembari menunggu kain batik kering, kusempatkan mampir ke galeri untuk sekadar melihat-lihat koleksi yang dijual. Cantik dan klasik. Tak sia-sia Dompet Dhuafa mengembangkan program pemberdayaan perempuan di desa pengrajin batik ini.
Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
Desa ini berada di lereng Merapi, gunung berapi paling ditakuti seantero Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pada 2010, erupsi vulkanik yang terjadi banyak menyisakan kisah pilu bagi para penghuni desa di lereng gunung. Kecamatan Cangkringan jadi salah satu lokasi yang paling parah terkena dampaknya. Juga jadi tempat Sang Juru Kunci lama, Mbah Maridjan, merenggut nyawa karena amukan wedhus gembel (awan panas). Desa Umbulharjo pun luluh lantak. Pada perjalanan #CareVisit, matahari telah pulang ke peraduan tatkala rombongan peserta sampai di sana. Setelah bersua sejenak bersama masyarakat sembari makan malam, kami bermalam di rumah warga.
Aku dan Mbak Aqied kebagian menginap di kediaman keluarga Pak Purwanto. Udara dingin khas daerah pegunungan menusuk hingga ke tulang. Tegukan teh manis racikan tuan rumah menghangatkan tubuh walau hanya sebentar. Secangkir teh hangat pun menghantarkan kami untuk terlelap, ditemani suara kawanan kambing yang mengembik memecah malam sunyi.
Tepat selepas waktu Subuh Pak Purwanto mengetuk pintu kamar. Ogah-ogahan aku bangun dan membasuh wajah dengan air sedingin es. Namun tak ada tempat untuk para pemalas di desa ini. Setelah menunaikan salat dua rakaat, kami bergegas menyusul Pak Purwanto dan istrinya ke kandang. Masih dengan terkantuk-kantuk, kami menekan tombol-tombol tustel. Pagi masih malu-malu, tapi sepasang suami istri ini justru sudah segar bugar dan sigap menghampiri kandang. Berdua, mereka memerah susu sapi peliharaan mereka. Ditempatkan pada ember besi yang sanggup menampung hingga lima belas liter susu sapi perah.
Meskipun terlambat bangun, aku masih diberi kesempatan untuk mempraktikkan memerah susu sapi di kandang milik keluarga Pak Purwanto. Ragu dan takut, aku mulai menekan dan menarik puting sapi perah seperti yang diajarkan Pak Purwanto. Tak banyak yang kuhasilkan karena terlalu waspada kalau-kalau sapinya marah dan menendangku. Lagipula, susu sapi memang tak boleh diperah habis. Harus ada yang tersisa untuk diminum oleh pedet (anak sapi). Aku salut pada Pak Purwanto dan istrinya, juga para peternak sapi perah di sini. Pagi buta di desa udaranya dingin tak karuan, tapi tak jadi penghalang bagi mereka untuk menyambung kehidupan.
Susu segar di dalam ember kemudian dituang ke dalam kaleng dan ditutup rapat. Lantaran acara #CareVisit memang bertujuan untuk turut merasakan kehidupan di desa-desa binaan, akupun harus merasakan perjuangan para peternak. Kaleng susu yang berat kugotong berdua dengan Mbak Aqied menuju Rumah Susu. Rumah Susu merupakan tempat penyetoran susu untuk didata jumlahnya, kemudian ditukarkan dengan nominal uang. Rumah Susu ini juga merupakan salah satu bentuk bantuan dari para donatur melalui program pemberdayaan masyarakat milik Dompet Dhuafa. Setelah disetor, akan ada truk yang mengambil kaleng-kaleng susu untuk dibawa dan diolah. Lalu para suami melanjutkan pekerjaan di ladang, sementara para istri menyiapkan sarapan dan keperluan sekolah anak-anak.
Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah
Berdampingan dengan Yogyakarta, Kabupaten Klaten di Jawa Tengah pun turut kebagian dibina melalui program pemberdayaan masyarakat oleh Dompet Dhuafa. Jika dua desa di Yogyakarta sempat diterjang bencana alam, lain halnya dengan Desa Kwarasan, Kecamatan Juwiring. Desa ini dihuni oleh penduduk lokal yang berprofesi sebagai pengrajin payung hias lukis. Bencana yang mereka hadapi ialah semakin berkurangnya generasi muda yang punya kemauan melestarikan produk lokal. Namun, dibina Dompet Dhuafa, kerajinan payung hias lukis di sini tetap berjaya hingga kini.
Sebanyak 25 pengrajin termasuk ke dalam Kelompok Industri Kreatif Payung Lukis Ngudi Rahayu yang berdiri sejak 1965. Ada yang bertugas memotong kayu dan menghaluskannya. Ada yang bertugas menganyam kayu menjadi kerangka payung. Ada juga yang bertugas melukis payung dengan hiasan yang cantik. Payung yang diproduksi di sini bukan untuk digunakan kala hujan atau panas, melainkan hiasan dinding atau perayaan-perayaan. Menurut Pak Ngadi, ketua kelompok pengrajin, payung hias produksi kelompok ini sudah memenuhi pesanan internasional hingga ke Swiss dan Kanada. Saat ini, mereka sedang menyelesaikan pesanan dari Kementerian Pariwisata untuk Festival Payung di Solo pada September 2016 mendatang.
Konon, yang menjadi inspirasi berkembangnya kerajinan payung hias lukis ialah relief payung pada candi. Orang-orang zaman dahulu pun kerap menggunakan payung yang terbuat dari kain dan kertas tersebut untuk berlindung dari cuaca, juga hiasan di rumah dan acara pesta. Karena motifnya yang cantik, di Kabupaten Garut, Jawa Barat produk payung hias dinamakan payung geulis (cantik). Di beberapa daerah lain bahkan disebut sebagai payung kethek (monyet) karena sering pula dijadikan aksesoris dalam pertunjukan topeng monyet.
Jika sebelumnya mencoba membatik dan memerah susu sapi, di Juwiring pun para peserta #CareVisit diperbolehkan berkreasi melukis di atas payung. Aku yang tak pandai bermain kuas urung turut serta. Sebagai gantinya, dengan seksama kuperhatikan seorang lelaki paruh baya melukis payung dengan lihainya. Jemarinya begitu gemulai berdansa dengan kuas yang dicelup ke cat minyak. Warna-warna yang dipilih membentuk pola lukisan yang apik, cerah. Sementara wajahnya yang mulai keriput terus menampilkan guratan senyum yang menentramkan jiwa. Satu lagi hikmah yang dapat dipetik. Bahwa orang sukses dan bahagia pun pasti pernah dihadang aral, namun mereka mampu menepisnya dengan tekad dan semangat kuat.
Kereeeeen. Aku muka bantal banget ya di situ
bangun tidur maupun mau tidur muka bantal terus
reza juga muka bantal banget wkwkwkw
Masih muka bantalan mba aqied ya!
Payung-payungnya kece!!! lucuk. dibawa pulang boleh?
udah bwa pulang hasil lukisan sendiri. salahnya kemarin g datang tempat mba aqied. ga bisa lihat payung unyunya kan
Hihi seru, jadi tau yaa gmana rasanya membuat batik, memeras susu dan membuat payung.. btw utk membuat payungnya bisa request ga design yg kita mau?
iya. seru banget. bisa kok mas
ini desa keren juga ya, kreatif dan inovatif
Iya mba. Yuk kesini mba 🙂
Ceritanya komplit..
Kalo ke sentra-sentra itu pas hari biasa apakah bisa dapet pengrajin yg bisa diabadikan dengan bagus?
😀
sepertinya bisa mas, mereka biasanya mengerjakan pesanan. tapi dapat fotonya tergantung pesanan apa yg sedang mereka kerjakan