Jangan bosan berwisata ke Gunungkidul. Sejauh yang saya tahu, Gunungkidul memiliki banyak pantai yang sangat alami. Keberagaman pemandangan, keindahan, bahkan keunikan pantai-pantai Gunungkidul pula yang membuat saya kerap menjadwalkan dan menyempatkan liburan ke salah satu pantainya. Sebut saja Pantai Watu Lumbung. Satu lagi pantai unik yang masih “perawan”.
Bukan sebuah kebetulan saya berwisata ke Pantai Watu Lumbung. Lagi-lagi, media sosial yang mengajak saya ke sini. Pantai Watu Lumbung terletak di Desa Jepitu, Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Jepitu yang mana? Ambil saja jalur menuju Pantai Wediombo, setelah TPR-nya, tanyalah petugas. Berhati-hatilah saat menuju pantai ini karena jalan penghubung masih belum beraspal, terlebih lagi saat musim hujan, banyak parit di sini, jalanan akan becek dan licin.
Melewati jalan sepi yang penuh lubang dan minim hilir mudik kendaraan adalah petualangan yang menantang. Sampailah saya di salah satu kantong parkir yang tak dijaga. Pemandangan rumput tinggi menguning bagi saya lebih pas dibanding ketika musim hujan. Nampak di bawah sana ombak pantai masih bersantai menunggu terik matahari.
Saya turun menapaki jalan kering yang jarang dilalui. Kemudian berfoto sebentar mumpung sepoi belum menjadi angin laut. Di bawah sana, bebatuan besar yang tertanam di air laut telah menanti. Batu besar itulah yang disebut Watu Lumbung (Batu Lumbung). Dinamakan demikian karena bentuk batunya mirip lumbung padi. Seluruh indera saya dimanjakan oleh pemandangan di sekitar. Bagian baratnya, adalah gugusan Gunung Batur. Bagian selatannya, adalah hamparan pantai yang sedang surut. Nampak seorang nelayan telah siap dengan jaring ikannya.
Setidaknya, saat itu saya wisatawan pertama yang ada di Pantai Watu Lumbung. Adalah kesempatan langka bisa berfoto tanpa pemandangan yang “bocor”. Namun, pantai yang harusnya sedang surut itu tiba-tiba mendatangkan ombak yang besar dan mulai masuk ke area Watu Lumbung. Melihat bapak nelayan tadi menyudahi acara menjala ikannya, saya pun ikut bergegas naik menuju daratan. Gagal sudah kesempatan wawancara saya dengan masyarakat lokal. Perginya menghilang begitu saja tanpa salam ataupun sapaan. Jangan dikira pasir adalah daratannya. Di Watu Lumbung, daratannya lebih banyak bebatuan dibanding pasir putihnya. Jadi, berhati-hatilah karena batu yang berlumut sangat licin untuk jadi pijakan.
Pemandangan lain yang sangat unik adalah Watu Bolong (Batu Bolong) yang ada di sebelah barat. Nampak sekilas seperti plengkung, gapura, ataukah sebuah jendela? Tetaplah itu dinamakan batu. Dari sana, pemandangan Semenanjung Manukan (bagian dari Gunung Batur) terlihat. Saya pun menunggu momen dimana ombak datang dan deburannya melewati Watu Bolong. Berkali-kali memotret, namun ombak lebih cepat dibanding konsentrasi saya. Akhirnya, malah sebuah video pendek yang saya hasilkan.
Terlalu banyak waktu dan spot untuk berfoto di kawasan Pantai Watu Lumbung ini. Belum lagi gugusan Gunung Batur yang masuk dalam kategori Gunung Api Purba yang kehadirannya menggambarkan kegagahan alam yang membuat orang takjub terpana.
Pantai yang masih “perawan”, di sana pula peluang ekonomi diciptakan. Beberapa masyarakat lokal siap dengan warung-warung barunya yang masih tampak sepi dari belanja wisatawan. Tak pernah puas memang saya ketika berwisata ke tempat baru. Saya pun orang yang rela menghabiskan waktu hanya untuk menikmati suasana pagi hingga berpindah malam di satu tempat saja. Adalah sebuah kesempatan langka bisa berwisata ke sini. Sangat tak biasa pantai ini.
Siang mulai menantang, datanglah beberapa rombongan wisatawan, dan saya pun berpindah ke pantai lain. Roda motor kembali berputar melaju berat menanjaki jalan tanah, berpindah ke Pantai Timang.
Teman-teman sepeda minggu lalu ada yang ke sini. Semoga ajku juga bisa nyusul ke sini naik sepeda 😀
Ngeri. Nyepeda ke sini mas?