Untuk mengagumi Raja Ampat, tak cukup melalui alamnya saja. Di tengah indahnya lautan dan bongkahan batu karang yang menjulang tinggi, akan kita temui budaya maupun kebiasaan masyarakat lokal yang memukau dan mendadak menjadi daya tarik. Seperti saat itu, dimana Kampung Harapan Jaya menjadi tujuan kami. Sebuah kampung kecil yang menjadi wilayah transit wisatawan yang berwisata ke Misool. Beberapa kali berkunjung ke kampung ini hanya pantai berpasir putih yang disuguhkan pada kami. Namun berbeda pada saat itu, dimana kerumunan masyarakat yang terhibur dengan banting badan para lelaki kekar yang dikalahkan sebatang bambu.

Bambu Gila namanya. Tepat di lapangan Harapan Jaya, riuh masyarakat antar kampung yang bersorak-sorak menyaksikan tujuh pria berpakaian tentara yang kualahan melawan amukan Bambu Gila. Pada dasarnya, permainan Bambu Gila berasal dari Maluku. Dinamakan Bambu Gila karena bambu ini menjadi gila dan bergoyang mengikuti arah sesajen (kemenyan) yang dibawa oleh pawang bambu (dukun bambu). Bambu sepanjang 2,5 meter ini mampu menjadi pemandangan menarik ketika lawannya terjatuh ke tanah. Biasanya, pertunjukan Bambu Gila ini dapat dengan mudah dinikmati di sekitar Kota Ternate, Maluku.
Awalnya, bambu yang digunakan dalam pertunjukan ini adalah bambu biasa. Untuk memulainya, pawang membakar kemenyan di dalam tempurung kelapa sambil membacakan mantra dalam ‘bahasa tanah’ yang merupakan bahasa tradisional dari Maluku. Banyak masyarakat yang mengatakan, sang pawang telah memanggil dan memasukkan roh pada bambu tersebut. Konon, roh tersebutlah yang membuat bambu menjadi gila yang semakin lama semakin sulit untuk dikendalikan.

Tambah… Tambah… Begitu teriak kami kepada pawang bambu. Guncangan Bambu Gila semakin menjadi-jadi. Bahkan ada beberapa teman yang digantikan karena lengannya telah memerah. Bibir kami ikut berkomat kamit mengucap doa melawan mantra pawang bambu. Penonton pun bertepuk tangan mengapresiasi keberanian kami melawan Bambu Gila.
Ada lagi pertunjukan Debus. Pada dasarnya, Debus merupakan kesenian bela diri asal Banten yang menunjukkan kemampuan manusia yang luar biasa (kebal). Dahulu, masyarakat Banten memperdalam kesenian Debus guna memompa semangat juang untuk melawan Belanda.
Debus yang satu ini tampil di Kampung Yellu. Sebuah kampung muslim terpadat di Misool Selatan, Raja Ampat. Pertunjukan Debus di kampung ini biasa dimainkan pasca terpilihnya imam baru. Tak sama dengan daerah Jawa mungkin, seorang imam di sini adalah seorang tokoh agama juga tokoh adat yang sangat disegani dan dihormati. Untuk memilih imam baru, dibutuhkan musyawarah khusus para tokoh adat kampung dan juga masyarakat setempat.
Prosesi pemilihannya pun berlangsung tegang. Seakan menjadi tontonan yang tak biasa bagi kami. Setelah terpilih imam baru beserta wakilnya, masyarakat mengaraknya berkeliling kampung dengan diiringi alunan musik tifa, lantunan sholawat, dan pertunjukan Debus. Lagi-lagi seperti tontonan yang tak biasa. Masih dengan pakaian muslim serba putih. Noda darah membekas di pakaian mereka yang melakukan aksi Debus. Dengan dua buah tombak kecil berukuran 30 cm, mereka menusukkannya sekuat tenaga ke bagian dada dan perut. Anak kecil pun tak mau kalah. Semua saling rebut untuk bisa menunjukkan kekebalannya. Tak ada ritual apapun sebelumnya. Asal mau, semua boleh mencoba. Anak kecil maupun dewasa, asal sudah ada noda darah, boleh digantikan dengan lainnya.
Selama satu jam lebih sudah Debus dipertontonkan. Imam yang telah terpilih terus diarak keliling kampung sampai pelataran Masjid Nurul Huda. Wajah imam yang berseri juga tampak kualahan menyambut tangan-tangan masyarakat yang mengucap selamat dan saling cium. Di bawah payung dan bendera merah putih, imam dan wakilnya mendapat tugas berat dari ratusan umat yang memilihnya. Berjihad sebagai pelayan umat dan menjadi penebar manfaat.
Untuk mengagumi Raja Ampat, tak cukup melalui alamnya saja. Di tengah indahnya lautan dan bongkahan batu karang yang menjulang tinggi, akan kita temui budaya maupun kebiasaan masyarakat lokal yang memukau dan mendadak menjadi daya tarik. Seperti saat itu, dimana Kampung Harapan Jaya menjadi tujuan kami. Sebuah kampung kecil yang menjadi wilayah transit wisatawan yang berwisata ke Misool. Beberapa kali berkunjung ke kampung ini hanya pantai berpasir putih yang disuguhkan pada kami. Namun berbeda pada saat itu, dimana kerumunan masyarakat yang terhibur dengan banting badan para lelaki kekar yang dikalahkan sebatang bambu.
Bambu Gila namanya. Tepat di lapangan Harapan Jaya, riuh masyarakat antar kampung yang bersorak-sorak menyaksikan tujuh pria berpakaian tentara yang kualahan melawan amukan Bambu Gila. Pada dasarnya, permainan Bambu Gila berasal dari Maluku. Dinamakan Bambu Gila karena bambu ini menjadi gila dan bergoyang mengikuti arah sesajen (kemenyan) yang dibawa oleh pawang bambu (dukun bambu). Bambu sepanjang 2,5 meter ini mampu menjadi pemandangan menarik ketika lawannya terjatuh ke tanah. Biasanya, pertunjukan Bambu Gila ini dapat dengan mudah dinikmati di sekitar Kota Ternate, Maluku.
Awalnya, bambu yang digunakan dalam pertunjukan ini adalah bambu biasa. Untuk memulainya, pawang membakar kemenyan di dalam tempurung kelapa sambil membacakan mantra dalam ‘bahasa tanah’ yang merupakan bahasa tradisional dari Maluku. Banyak masyarakat yang mengatakan, sang pawang telah memanggil dan memasukkan roh pada bambu tersebut. Konon, roh tersebutlah yang membuat bambu menjadi gila yang semakin lama semakin sulit untuk dikendalikan.
Tambah… Tambah… Begitu teriak kami kepada pawang bambu. Guncangan Bambu Gila semakin menjadi-jadi. Bahkan ada beberapa teman yang digantikan karena lengannya telah memerah. Bibir kami ikut berkomat kamit mengucap doa melawan mantra pawang bambu. Penonton pun bertepuk tangan mengapresiasi keberanian kami melawan Bambu Gila.
Ada lagi pertunjukan Debus. Pada dasarnya, Debus merupakan kesenian bela diri asal Banten yang menunjukkan kemampuan manusia yang luar biasa (kebal). Dahulu, masyarakat Banten memperdalam kesenian Debus guna memompa semangat juang untuk melawan Belanda.
Debus yang satu ini tampil di Kampung Yellu. Sebuah kampung muslim terpadat di Misool Selatan, Raja Ampat. Pertunjukan Debus di kampung ini biasa dimainkan pasca terpilihnya imam baru. Tak sama dengan daerah Jawa mungkin, seorang imam di sini adalah seorang tokoh agama juga tokoh adat yang sangat disegani dan dihormati. Untuk memilih imam baru, dibutuhkan musyawarah khusus para tokoh adat kampung dan juga masyarakat setempat.
Prosesi pemilihannya pun berlangsung tegang. Seakan menjadi tontonan yang tak biasa bagi kami. Setelah terpilih imam baru beserta wakilnya, masyarakat mengaraknya berkeliling kampung dengan diiringi alunan musik tifa, lantunan sholawat, dan pertunjukan Debus. Lagi-lagi seperti tontonan yang tak biasa. Masih dengan pakaian muslim serba putih. Noda darah membekas di pakaian mereka yang melakukan aksi Debus. Dengan dua buah tombak kecil berukuran 30 cm, mereka menusukkannya sekuat tenaga ke bagian dada dan perut. Anak kecil pun tak mau kalah. Semua saling rebut untuk bisa menunjukkan kekebalannya. Tak ada ritual apapun sebelumnya. Asal mau, semua boleh mencoba. Anak kecil maupun dewasa, asal sudah ada noda darah, boleh digantikan dengan lainnya.
Selama satu jam lebih sudah Debus dipertontonkan. Imam yang telah terpilih terus diarak keliling kampung sampai pelataran Masjid Nurul Huda. Wajah imam yang berseri juga tampak kualahan menyambut tangan-tangan masyarakat yang mengucap selamat dan saling cium. Di bawah payung dan bendera merah putih, imam dan wakilnya mendapat tugas berat dari ratusan umat yang memilihnya. Berjihad sebagai pelayan umat dan menjadi penebar manfaat.
Itulah Misool dengan segala budayanya. Ragam budaya yang datang dari berbagai suku dan daerah tetap bisa diterima bahkan dipertontonkan di khalayak. Debus dan Bambu Gila memang bukanlah budaya asli Misool. Entah siapa yang membawanya, kami baru melihat dan menikmati keduanya di sana.