Dalam penanggalan kalender Jawa, masyarakat Jawa lebih mengenal Muharram dengan nama Bulan Suro. Di beberapa tempat masyarakat percaya akan ritual/upacara adat untuk menyambut Bulan Suro. Nampak sama dengan yang pernah saya dengar dari sesepuh, Bulan Suro adalah bulan keramat. Selain itu, Bulan Suro juga sering dimaknai sebagai bentuk refleksi diri agar tetap eling (ingat) dan waspada.
Bicara tentang Bulan Suro, saya yang baru saja mendapat pekerjaan bidang pariwisata yang berlokasi di Kabupaten Tulungagung dan Kota Yogyakarta berkesempatan untuk menyaksikan secara langsung ritual-ritual Suro di kedua tempat tersebut.
Di Kabupaten Tulungagung, ritual 1 Suro saya temui di Pantai Popoh. Pantai ini terletak di Desa Besuki, Kecamatan Besuki. Menurut saya, pantai ini cukup memiliki nilai mistis di kalangan wisatawan karena di sekitarnya terdapat Paleraman Nyai Roro Kidul (sejenis tempat puja). Ritual 1 Suro di sini lebih dikenal dengan nama Larung Sembonyo. Awalnya, ritual ini hanya diikuti oleh masyarakat Pantai Popoh yang mayoritas bekerja sebagai nelayan. Meskipun begitu, saya banyak melihat beberapa masyarakat luar yang datang mengikuti.
Tepat sebelum masuk waktu maghrib, ritual sudah dimulai. Bau kemenyan di Pantai Popoh mulai tercium dan membuat bulu kuduk merinding. Di suasana temaram dan lalu lalang wisatawan, orang-orang berpakaian hitam mulai berjalan dari pesanggrahan. Kelompok ritual Larung Sembonyo di Pantai Popoh itu mengenakan pakaian dan songkok hitam. Terlihat juga pemimpin kelompok ritual sedang membawa dupa dan mengarak kelompoknya menuju bibir pantai. Dua orang di antara rombongan juga terlihat membawa sesaji berupa hasil bumi yang siap dilarung.
Di luar prosesi ritual, ada pemandangan indah ketika siang berganti malam. Sunset, matahari yang perlahan turun memancarkan cahaya jingganya sampai permukaan laut Pantai Popoh. Perahu-perahu nelayan yang ditambatkan dengan latar perbukitan pun memanjakan mata dan kamera.
Kembali ke prosesi ritual. Dupa dinyalakan, doa pun dipanjatkan. Hanya beberapa menit saja, prosesi ritual Larung Sembonyo usai dilaksanakan. Diakhiri dengan melarung sesaji hasil bumi dan membasuh wajah menggunakan air laut Pantai Popoh secara bergantian. Satu persatu dari pengikut pun bergantian meninggalkan pantai untuk melanjutkan ritual.
Menurut masyarakat yang mempercayai ritual 1 Suro, prosesi Larung Sembonyo adalah bagian dari rasa syukur masyarakat nelayan Pantai Popoh terhadap hasil bumi yang telah mereka nikmati selama ini. Pelaksanaannya pun dilakukan ketika memasuki Tahun Baru Islam (Muharram) atau yang biasa disebut Bulan Suro.
****
Masih di bulan yang sama, Suro. Saya berpindah ke Kota Yogyakarta. Lagi-lagi saya berkesempatan menyaksikan proses ritual mistis dalam menyambut bulan Suro. Jamasan Pusaka namanya.
Jamasan Pusaka merupakan upacara tahunan yang diselenggarakan di komplek Keraton Yogyakarta dalam rangka membersihkan dan merawat pusaka milik kerajaan. Bertempat di Museum Kereta Keraton Yogyakarta, saya mendapati wisatawan yang datang dari berbagai daerah dengan barang bawaan yang cukup banyak. Sejak malam, ternyata mereka sudah menggelar alas tikar di pelataran museum sembari menunggu pusaka kerajaan dibersihkan.
Sebenarnya ada beberapa rangkaian Jamasan Pusaka dengan empat tempat yang berbeda, namun kesempatan saya kali ini adalah Jamasan Pusaka di Museum Kereta. Berderet wartawan berlensa panjang pun sudah memadati kawasan Museum Kereta. Tepat pukul 10.00 WIB, ritual dimulai. Karena suasana cukup ramai, tak banyak asal muasal dan harfiah yang dapat saya gali di sini.
Waktu yang dipilih dalam ritual Jamasan Pusaka tak main-main. Kereta Pusaka ini dibersihkan hanya pada Bulan Suro (Muharram) dan selalu pada Hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon. Sementara menurut bisik beberapa wartawan, kereta yang dibersihkan adalah kereta kuda milik Sultan Hamengku Buwono VIII. Diperkuat dengan sebuah kode HB VIII di kereta ini, saya pun makin mantap jika kereta kuda ini milik Sultan Hamengku Buwono VIII. Semua wisatawan yang mengambil gambar mendekat. Saya juga tak mau ketinggalan untuk mencermati setiap seni yang terukir di kereta pusaka ini. Sebuah simbol kewibawaan seseorang yang bertahta di kerajaan. Dilihat dari sejarahnya, kereta ini memiliki kedudukan yang kuat dan tidak diperuntukkan orang di luar garis keturunan. Jika dilihat dari nilainya, kereta pusaka ini lebih berharga dibanding mobil negara.
Beberapa Abdi Dalem terlihat sangat hati-hati membersihkan tiap sudut kereta. Mereka yang tetap mengenakan pakaian adat Jawa seperti surjan dan blangkon terhitung lebih dari sepuluh orang. Wangi air bunga yang digunakan untuk menyiram/mencuci kereta menambah kemagisan prosesi Jamasan Pusaka. Setelah selesai dibersihkan, wisatawan berebut kain yang digunakan oleh Abdi Dalem untuk membersihkan kereta. Mereka percaya itu adalah berkah. Setelah kering, Kereta Pusaka HB VIII pun ditarik masuk kembali ke ruangan oleh puluhan Abdi Dalem.
Mulailah ritual doa lanjutan. Kemenyan dibakar. Lagi-lagi saya melihat ukiran di badan kereta pusaka yang sangat bernilai. Setiap Abdi Dalem yang masuk ruangan bahkan secara santun melakukan sungkem terlebih dulu. Disusul pula dengan suasana magis hasil bakar kemenyan yang dipimpin Pengageng Kraton.
Dalam lingkungan masyarakat Jawa, bulan Suro sangat kental dengan berbagai bentuk ritual. Labuhan dan Jamasan Pusaka adalah dua contoh yang saya dapati secara tak sengaja di lokasi yang berbeda. Jika Larung Sembonyo adalah bentuk rasa syukur tahunan, maka pandai-pandailah bersyukur di setiap kesempatan. Jika Jamasan Pusaka adalah bentuk dari refleksi tahunan, maka pandai-pandailah bermuhasabah nan senantiasa memperbaiki diri.
Suka ama foto sunset yg menguning
Btw kalo cara menyambut hati gimana kak ???
Menyambut hati ya istikharah dulu om cum.. hehe
#SokNgerti