Ponsel saya berbunyi. Dalam pesan singkatnya, seorang teman memberi kabar bahwa lusa saya harus terbang ke Sumbawa. Tawaran itu tak bisa saya tolak. Dua hari menjadi waktu yang sangat cukup untuk pamit dari tempat kerja.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Mulai dari pakaian hangat hingga perlengkapan dokumentasi selama satu pekan. Pesawat melaju terbang, melewati gugusan pulau dan tanah yang sebagian gersang. Membaca profil Gunung Tambora membuat saya makin antusias menjelajah kawasannya. Ingin segera saya mengajak kaki dalam sebuah pendakian demi memanjakan indera mengagumi alam.
1815 adalah tahun bersejarah bagi Indonesia. Dunia telah menjadi saksi betapa dahsyatnya bencana yang melanda negeri ini. Dalam banyak catatan penelitian, Tambora menjadi gunung yang letusannya terdengar hingga Sumatera. Lebih dari 2.000 Km Tambora kirimkan dampak amukan letusan. Tidak kurang dari 71.000 jiwa telah menjadi korban. Sampai sekarang, riwayat letusannya masih dikenang masyarakat dunia. Satu tahun pascaletusan Tambora, dunia mengatakan sebagai tahun tanpa musim panas akibat perubahan drastis dari cuaca Amerika Utara dan Eropa karena debu yang dimuntahkan Tambora. Gagal panen dan matinya banyak ternak adalah dampak yang mengikuti pascaletusan.
Pompeii dari Timur, adalah istilah yang digunakan Sigurdsson pada hasil temuan yang menunjukkan adanya peninggalan budaya Kerajaan Tambora yang hilang akibat letusan Tambora. Sayangnya, arsip-arsip riwayat masa kejayaan kerajaan ini tak bisa ditemukan. Cerita inilah yang kemudian mengajak saya untuk segera menghabiskan jalanan panjang Bima – Dompu, dengan tujuan utama Gunung Tambora.
****
Tibalah saya di Desa Pancasila, Kecamatan Tambora. Dalam perjalanan menyusuri jalanan, suguhan savana halaman selatan Gunung Tambora menjadi pemandangan khas Kabupaten Dompu. Barisan kuda, kerbau, sapi, dan kambing adalah pemandangan yang tak pernah terlewatkan dalam puluhan kilometer jalan beraspal.
Di antara rumah-rumah sederhana Desa Pancasila, semerbak kopi jenis robusta mencuri perhatian saya. Duduk wanita paruh baya, kiranya berumur 64 tahun sedang memilah-milah biji kopi. Saya menghampirinya, mengajaknya bercerita. Ibu Samida namanya. Ketika saya ajak bicara, ia justru memanggil cucunya. Ia tak bisa berbicara bahasa Indonesia. Rupa Bhineka Tunggal Ika mengetuk hati saya. Biarpun Ibu Samida tak bisa menjawab banyak pertanyaan saya, cucu-cucunya justru menawarkan saya banyak pilihan. Diantarlah saya bertemu Pak Saiful, penjaga pintu masuk pendakian Gunung Tambora.
Dalam tenda kecil berpetak 2×3 meter. Pak Saiful duduk menghisap habis cerutunya. Bulan September – Maret adalah masa istirahatnya sebagai penjaga pintu masuk Gunung Tambora. Di luar bulan itu, Pak Saiful akan terlihat sibuk siaga di tenda kecil dan mengurus homestay-nya. Perbincangan saya dengan Pak Saiful seputar Tambora justru membuat saya makin penasaran. Ia ceritakan maha dahsyatnya bencana Tambora hingga mengundang banyak perhatian peneliti dunia. Beberapa dokumen berupa buku cetak berwarna ia tunjukkan pada saya. Begitu pula kopi dan madu asli khas Tambora. Saya lantas membelinya tanpa menawar harga.
Kesempatan tak akan datang lebih banyak. Berkat arahan Pak Saiful, saya beranikan menjelajah kawasan kaki Gunung Tambora sendirian. Saya memanggil para pengojek yang keluyuran di Desa Pancasila. Cukup dengan Rp100.000,00, saya dipandu mengunjungi beberapa titik destinasi seputar kawasan Tambora. Antusias saya justru diikuti teman yang lain. Mereka turut mengekor. Jadilah kami bertiga menembus hutan kaki Gunung Tambora.
Destinasi kami pertama adalah Pura Udaya Pawarta. Udaya yang berarti Timur Laut, Pawarta berarti gunung. Letaknya hanya 5 Km dari gapura masuk Desa Pancasila. Medan yang belum beraspal dengan kondisi jalan yang penuh lubang cukup menyulitkan kami menuju Pura Udaya Pawarta. Dari hasil perbincangan saya dengan penjaga pura luhur Udaya Pawarta, Bapak Mangku, pura ini dibangun pada 1984. Pembangunan pura ini difungsikan sebagai tempat ibadah masyarakat Hindu yang bekerja di pabrik kopi Belanda. Kini, generasi masyarakat Hindu yang bermukim di kaki Gunung Tambora tercatat sebanyak 29 Kepala Keluarga.
Berkeliling Udaya Pawarta membuat saya makin ingin menggali banyak cerita. Betapa harmonisnya budaya dan alam kawasan kaki Gunung Tambora. Masyarakat penghuni Kampung Bali melalui dana swadaya mempercepat pembangunan Udaya Pawarta menjadi destinasi wisata. Polesannya kian apik dengan mempertinggi dan memperluas bangunan puranya.
Ditemani Fauzan, pengojek cilik asal Tambora, saya melanjutkan perjalanan menuju Kampung Bali, tempat masyarakat Hindu pendatang mendiami kawasan kaki Gunung Tambora. Jika musim libur datang, Fauzan dengan gembira menggunakan waktunya menjadi pemandu. Ia telah sembilan kali menaklukkan puncak Tambora. Biarpun usianya sangat muda (3 SMP), ia sangat ramah dan gesit memandu wisatawan.
Kampung Bali adalah sebutan untuk komplek perumahan masyarakat Hindu Bali di kaki Gunung Tambora. Komplek perumahannya berpadukan antara budaya dan alam. Pura menjadi simbol keagamaan, sementara kopi menjadi komoditas pertanian utama masyarakat Kampung Bali. Hampir di tiap-tiap halaman rumah masyarakat digelar alas dengan tumpukan biji kopi yang dijemur. Waktu siang menjadi alasan kenapa saya tak bertemu masyarakat lokal. Menurut Fauzan, masyarakat lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merawat kebun dan mencari madu.
Beruntunglah saya. Dalam perjalanan menuju pabrik kopi, saya mendapati mereka yang sibuk memetik kopi di kebunnya. Kopi jenis robusta ini memililki nilai jual Rp30.000,00 – Rp35.000,00 per kemasan. Dalam catatan sejarah, kopi Tambora sempat jaya pada 1930 di tangan warga Swedia, Swede G Bjorklund. Kebun seluas 80.000 hektar dikontraknya dalam perjanjian kerjasama antara Belanda dan Kesultanan Bima. Banyak orang-orang yang dipekerjakan di perusahaan kopi ini, termasuk masyarakat Bali yang kini generasinya masih bisa dijumpai di Kampung Bali. Kemudian pada 1939, tepat saat terjadinya Perang Dunia II, ekspor kopi menurun dan harganya jatuh. Swede pun kembali ke negaranya.
Tak hanya kopi. Hutan Tambora juga menjadi ladang pekerjaan bagi masyarakat lokal untuk menikmati sumber daya alamnya. Bukan dari tebang hutan untuk kemudian dijual kayunya. Rupiah bisa dihasilkan dari panen rumah-rumah lebah yang tersebar di hutan kaki Gunung Tambora. Pemanfaatan sarang lebah akhirnya mengilhami banyak masyarakat kaki Gunung Tambora untuk turut menjaga dan melestarikan alam. Dibiarkannya pohon-pohon tetap lestari menjadi rumah jutaan makhluk yang ada di dalamnya. Bapak Wahab salah satunya. Pengumpul madu lebah ini setiap harinya dapat mengantongi satu sampai dua botol madu asli.
Fauzan masih tetap bersemangat mengajak saya berkendara. Sesekali ia menawarkan saya menggunakan motor supra modifannya. Diajaklah saya menuju pabrik kopi peninggalan Belanda. Nampak rumah bekas yang sudah hilang atap-atapnya menjadi sisa-sisa kejayaan Swede G Bjorklund dan PT Bayu Aji Bima Sena selaku penerus pemegang hak guna usaha kebun kopi. Semua warisan fisik itu berangsur hilang dan tak terawat. Di tahun 2000-an, perusahaan kopi menghentikan operasi. Bangunannya kemudian dipagar dan digembok dengan kondisi mesin olah kopi yang berkarat.
Fauzan nampak kesal. Ia yang tahu kami datang jauh-jauh dari Jawa, kemudian dengan sengaja membongkar pagar tembok yang hanya berlapis seng berkarat. Masuklah kami dipandu Fauzan. Ia turut kagum pada luas bangunan besar yang pernah dibangun kompeni Belanda. Selama bercerita, Fauzan menyebut Belanda sebagai tentara kompeni.
Titik terakhir yang kami kunjungi adalah pesanggarahan atau Situs Tambora. Menurut Fauzan, di dalamnya terdapat ruang pamer hasil galian para arkeolog yang menemukan bukti fisik letusan Gunung Tambora seperti pakaian, piring, dan sebagainya. Namun sayang, pesanggrahan ditutup rapat. Tempat ini akan dibuka pada bulan April tahun depan saat gempitanya Festival Pesona Tambora.
Turunan jalanan menuju Desa Pancasila belum membuat habis penasaran saya. Waktu yang singkat dengan beban pekerjaan khusus harus menunda waktu pendakian Gunung Tambora. Rasa kecewa pada kemampuan dan waktu luang saya diobati oleh Ayah Fauzan. Disambutlah saya yang turun dari motor ojek. Segelas kopi Tambora menjadi suguhan. Betapa nikmatnya menyeruput kopi hitam ini di siang hari.
Tambora, adalah gunung yang masih ingin segera saya datangi lagi. Gunung memang selalu tampak cantik dilihat dari kejauhan. Begitupun Fauzan yang tak pernah bosan pada pekerjaannya sebagai pemandu wisata Gunung Tambora. Untuk sampai puncaknya, diperlukan banyak persiapan matang. Jika mengambil rute dari Desa Pancasila, pendakian akan memakan waktu selama dua hari. Mari tunggu sampai datang waktunya pendakian. Melihat betapa luasnya kaldera Tambora, taburan bintang di malam hari, nyanyian merdu para penghuni hutan, dan cerita lain yang selalu siap saya dengarkan langsung dari masyarakat lokal.
Untuk informasi penginapan dan pendakian dapat menghubungi:
Pondok Petualang dan Trekking Organizer
Bapak Saiful Bahri
Dusun Pancasila, Desa Tambora, Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, NTB
Nomor: 082340693138/ 085937030848
Video jelajah lingkar kaki Gunung Tambora melalui Kabupaten Bima dan Dompu dapat dinikmati di sini
Lokasi Gunung Tambora
Akses jalannya kok sedap buat uphill ya hahahahha. Mana kopinya? hahahhaha
kopinya ada di kosan
Udah tinggal bawa bubuknya kan? hahahahha
bawa dong
engga nyoba hiking disana bro
kaga bro. waktunya mepet karena pekerjaan utamanya bukan hiking.wkwkw.
lain kali dah. semoga bisa ke sini lagi sampai puncaknya
coffee beans Tambora mau… Kirimin dong..
perjalanan yang cukup menarik. Jelajah pinggang Tambora.. Wah kudu napak tilas perjalananmu..
belum pinggang ki. soale belum menjajal jalur utara mas
Rene mas. isih awet kok sampai sampeyan pulang indo
photo-photonya jernih, salut sama Fauzan juga masih kelas 3 SMP tapi semangatnya subhanallah.
Mudah-mudahan suatu saat bisa kesini juga hihihi. Pengalaman yang menarik kak 🙂
terimakasih Mba Tia sudah berkenan mampir. Fauzan pasti bangga. hehe
Salah satu gunung yg kepengen banget saya daki. Punya kaldera terluas di indonesia, punya sejarah yg sangat panjang. Buku tentang gunung juga sudah lumayan banyak
wah. mantap mas. semoga kesampaian ya mendaki Tambora.
boleh dong share buku2nya. hehe
Ada beberapa judul mas cuman saya belum sempet beli haha. kepengen beli yg karyanya don hasman cuman di gramedia ga pernah nemu
woalah. jos mas. kolektor buku2 gunung yaa.
btw, aku komen di blogmu kok susah ya. g pernah bisa 🙁
enggak kok mas. lebih suka baca novel wkwk.
blogku pakai disqus mas. musti bikin akun disqus dulu kalo mau komen hehe
oalah. pantas mas, padahal sudah login via fb dan twitter. tapi kok ndak bisa2..
aku bikin akun disqus dulu deh
Uhukk hanif sekarang doyan menyeruput kopi hitam di siang bolong :p
Asyik banget bahasa yang kamu tulis, ga terasa bacanya sampai selesai 🙂
Dolanmu jauh-jauh e nif, makane ngece aku kon dolan adoh :p
weh. berarti biasanya g pernah baca sampai selesai ya?
Haha. aku sukanya kopi hitam. pokoke kalau racikan masyarakat lokal. aku doyan
iki kurang adoh je mba. ayo ajak aku sunsetan plis
Biasanya juga sampai selesaii lah, cuma kan rasanya ga krasa aja tau2 rampung.
Bahasamu semakin lama semakin kelas, ajarin dong ahaha
Aku belum pernah sunsetan ke candii
aku berguru dari blogmu e Mba Dwi. Nulis lagi dong, biar aku baca lagi buat balajar.
wah. nyobao candi. ojo pundong terus
Menarik.
Akses jalannya memang begitu ya …
yaps. menantang
menakjubkan itu gunung dilihatd ari atas
Iya. keren banget tampak dari jendela pesawat
Wah, Gunung Tambora ini menggoda banget buat didaki hihihi. Tapi yang menarik memang sejarah dan dampak letusan dahsyatnya pada 1815 silam. Selalu tak bosan-bosan membaca sejarah letusan Tambora, dan dampak sosial-ekonomi-lingkungan, khususnya di Dompu-Bima.
rencanakan mas! iyaps. menarik sejarah letusannya. sampai dibuat festival tambora menyapa dunia.
Semoga mas Rifqy bisa ke Tambora
Halo Insan Wisata
Deskripsi penjelasannya menarik. Saya suka.
Pengen rasanya kesana kak.
Ada biji kopi robusto, peningggalan hindu, dan anak smp yang masih semangat menjadi pemandu wisata luar biasa.
Semoga bisa menikmati alam pesisir tambora aku ini.
Thank.
Halo juga mas Fikri. salam kenal
Terimakasih atas apresiasinya. Semoga tetap konsiten dalam menulis
Aammin. Ditunggu tulisan Mas Fikri tentang Tambora ya!
seru sekali perjalanannya menyusuri kaki Gunung Tambora, bisa berkeliling di sana dan berinteraksi dengan masyarakat lokal, pengalaman yang mengasyikkan 😀
iya mas. sangat seru. semoga mas Andika bisa ke sini ya
kopinya mana mas :3
mau? yuk ngopi bareng
Wow Sausan Keren ya tahu apa yang dimaui oleh wisatawan yang datang ke sana. Padahal baru duduk di bangku sekolah SMP.
Dan membaca petualangan Mas Hanif ke kebun kebun kopi bekas Belanda ini membuat Saya membayangkan kehidupan yang pernah dulu terjadi di sini. Para pekerjanya pastinya kehidupan mereka tidak semerbak kopi yang mereka produksi ya Mas. Ah tapi begitulah guratan sejarah.
Iya. Fauzan sudah 9kali mendaki Tambora lho. jadi guide pula.
Wah. saya belum mendalami kehidupan sosial masyarakat di sana Mba.
haha, dari jaman batu bang?
Iya. kopi tambora nikmat ee.
artikelnya menarik, kapan ya bisa kesana? emm, daerah sendiri dulu aja 😀
haha. semoga cepat bisa ke sini yaa!
sebenernya tambora ini masih aktif ga ya? serem juga kalo iya.. mengingat letusannya yang terakhir..
aku pgn ih ngerasain rasa madunya :)..
meletus terakhir 1967 mba.
hehee. semoga besok bisa ke sini ya 😀
sepertinya medan mau ke kaki gunung tambora ini sulit juga ya Mas???
ga juga kok mba. Pendakian bisa pakai jeep
ini tambora yg katanya kalo meletus bisa menghancurkan “segalanya” itu kah om?
wah sudah lama tidak ke gunung, mungkin nanti deh haha sekalian mendekatkan diri kepada alam wkwkwk. . .
kalau menghancurkan segalanya bisa kiamat Mas. hehe.
tapi letusannya emang dahsyat
tambora ini cantik banget yaa
iyess. luar biasa pokoknyaa
ayo ndaki Tambora sekalian, Nif
Aku wes mendaki tekan pos 1
wuihh kuerenn om.. ayo mampir gon ku nek sampeyan nang daerah sanur 😉
wah. lha aku di Buleleng e om. yok senggol nomorku
Penampakan gunungnya,.. duhh kerennnnn..
pengen juga bisa kesana, 😀
segera ke sini min
Keren jalan-jalannya. Apalagi pas saya lihat videonya. Jadi pengen main ke Tambora 🙂
terimakasih Mba. ayok ke Tambora Mbaa. hehe