Menjadi manten anyar itu identik dengan bulan madu. Namun dalam kamus kami, rasanya tak ada frasa itu. Dua bulan pertama, kami malah cukup sulit bertemu. Tak melulu mesti ke pulau pun negeri seberang untuk melepas rindu. Cirebon jadi destinasi liburan kesatu. Cukup menempuh dua jam hingga tiba di kota yang dituju.
Kami menyebut Cirebon sebagai paket komplit. Wisata sejarah, budaya, alam, kuliner, semua ada di sana. Jarak antar objek pun berdekatan, paling jauh tiga puluh menit lamanya. Di sana kami menyewa sepeda motor selama 48 jam. Berbekal informasi dari internet dan GPS, perjalanan kami selalu lancar tanpa harus tersasar.
Tulisan ini jadi salah satu kenang-kenangan kami berkeliling Kota Cirebon. Mudah-mudahan bisa dengan baik membagi pengalaman kami. Pula, Dolan Bareng Bojo dimulai dari sini. Oh, ya. Seluruh foto kami berdua yang tayang di blog ini, diambil menggunakan tripod, lho!
Hari Pertama
Santap Pagi Nasi Jamblang Ibu Nur
Hujan begitu deras mengguyur Kota Cirebon. Hingga pukul delapan pagi, mendung tetap pekat, tak ada tanda langit akan cerah. Setengah sepuluh pagi, masih gerimis rintik-rintik, kami berangkat menuju Nasi Jamblang Ibu Nur. Ternyata, di sana antrean telah mengular. Meskipun cuaca muram, warung ini tak kehilangan pelanggan.
Sepiring nasi jamblang berisi nasi putih yang dialasi daun jati. Di warung Ibu Nur, pilihan lauk pauknya belasan! Kupilih yang paling khas, yaitu balakutak hideung, cumi-cumi yang dimasak sekaligus dengan tintanya hingga berwarna hideung (hitam). Sementara Mas Bojo, ia tergiur sate udang bumbu asam manis. Sebagai pelengkap, ada tumis tempe, telur dadar, dan bakwan jagung. Psst, waktu itu kami minta nasinya masing-masing dua porsi, lho!


Jatuh Cinta pada Merah Bata Keraton Kasepuhan
Masih ditemani gerimis, bahkan sempat kehujanan dan berteduh di halte bus, kami melanjutkan perjalanan ke Keraton Kasepuhan. Motor diparkir di depan loket karcis. Tak perlu jauh berjalan, kami langsung menginjakkan kaki di area Siti Inggil. Dibentengi bata merah dan memiliki gapura yang bergaya arsitektur Majapahit. Hujan membuat warna batanya semakin pekat dan cantik.
Kami berjalan di halaman keraton yang agak becek dan masih dipenuhi daun kuning yang gugur. Kalkun berjalan berbaris, ayam dan merpati juga dipelihara di sana, mereka mengerumuni wisatawan yang punya jagung untuk dibagi. Di Dalem Arum, kami kagum akan arsitektur rumah keluarga kerajaan yang unik. Tak terasa, kami telah melewati setengah hari di Cirebon yang pada hari itu enggan dipeluk matahari.





Menepi dan Menyepi di Keraton Kanoman
Jalan menuju Keraton Kanoman melewati gang-gang sempit di balik pasar. Ban motor serta sepatu kami terkadang lengket oleh tanah merah yang basah. Tak ada loket karcis, hanya tukang parkir yang berjaga di lahan sepi. Bukan bata merah, Keraton Kanoman dibentengi dinding putih berhias porselen yang antik dan unik. Bentengnya begitu tinggi, halamannya ditumbuhi semak belukar.
Di dalam, kami bertemu seorang ibu paruh baya. Ia memandu kami berkeliling keraton. Tanpanya, kami mungkin tak akan pernah tahu bahwa asal-usul peradaban Cirebon ada di sini. Ditujukannya kami ke Bangsal Witana, awite ana atau yang pertama ada. Bangunan tanpa dinding itu ditutupi batuan karang yang membentuk awan mendung, simbol khas batik Cirebon. Ada pula Sumur Witana, orang bilang amat keramat, banyak yang minta berkah di sana.



Segarnya Makan Siang Empal Gentong H. Apud
Yang kami tahu, kuliner khas Cirebon selalu ramai pengunjung. Warung H. Apud ini luas dan punya banyak pegawai. Tak perlu lama menunggu pesanan datang, dua mangkok empal gentong siap jadi santapan. Mas Bojo menyeruput kuah santan empal gentong, sekilas penampilannya mirip soto betawi. Diberi nama empal gentong karena proses yang memanfaatkan panas dari kayu bakar, serta dimasak dalam gentong. Agar bisa saling cicip, aku memesan empal asem, berkuah bening dan masam rasanya. Empal gentong dan empal asem jadi menu makan siang yang segar, jangan lupa nasi putihnya, ya!


Berharap Jumpa Sunset di Pantai Kejawanan
Menjelang sore, langit mulai terik, mendung perlahan sirna. Cirebon juga punya pantai, lokasinya dekat sekali dengan pusat kota. Tiket masuknya cuma lima ratus rupiah per orang! Layaknya pantai utara, tepiannya landai dan airnya kecoklatan. Kami lebih suka nongkrong di pelabuhan. Banyak sekali kapal nelayan yang merapat. Sepertinya anak muda Cirebon juga suka menikmati udara sore di pelabuhan.
Mas Bojo menggiring drone-nya terbang, melewati kapal nelayan yang besar-besar. Semburat langit senja tipis saja memoles suasana. Tapi waktu itu memang bukan harinya. Harapan serta-merta tenggelam bersama matahari yang enggan tampak.


Khidmat Magrib Masjid Merah Panjunan
Masjid di Cirebon itu unik-unik, Masjid Merah di Panjunan salah satunya. Sebuah kolaborasi desain Jawa dan Tiongkok yang sama kental. Tengoklah gapuranya yang bergaya Majapahit, namun dinding masjid dihiasi keramik antik. Masjid yang mungil, dipenuhi pelancong yang singgah untuk menunaikan salat magrib. Tak perlu pengeras suara, lantunan ayat suci imam sudah terdengar jelas. Kami beruntung pernah mampir dan turut khidmat dalam salat magrib di sini.

Rela Antre demi Cicip Mie Koclok Panjunan
Cuma lima puluh meter dari Masjid Merah, ada warung Mie Koclok Panjunan yang melegenda. Selepas magrib telah ramai pembeli, padahal warungnya terbilang kecil. Kami duduk di pojok depan dekat gerobak. Dan kami harus rela antre setengah jam demi kebagian kuliner khas Cirebon ini. Yang spesial dari Mie Koclok ialah kuahnya yang putih dan kental, terbuat dari santan. Rasanya yang gurih sangat cocok disantap saat masih panas. Antre lama pun terbayar sudah.

Hari Kedua
Antre (Lagi) Sarapan Docang Ibu Kapsah
Hari kedua di Cirebon cerah ceria, yeay! Pukul delapan pagi, kami segera meluncur menuju tenda Ibu Kapsah. Ya, warungnya cukup sebuah tenda di pinggir Jalan Siliwangi, tapi pengunjungnya bikin kami lagi-lagi rela antre.
Meskipun ramai, pelayanannya tetap cepat dan sigap, kecuali kalau tak kebagian tempat, harus sabar tunggu giliran. Docang ini super unik, belum pernah kami menemui kuliner macam ini. Ketupat, daun singkong rebus, kecambah, dan kelapa parut disiram kuah merah yang agak pedas dan gurih. Kuahnya docang ini favoritku, dibuat dari oncom, makanannya orang Jawa Barat. Berteman kerupuk aci yang renyah, tetapi lembut waktu nyemplung ke kuah merah yang panas. Oh ya, kerupuknya gratis!

Telusur Lorong-lorong Taman Gua Sunyaragi
Belum habis kekayaaan budaya Cirebon yang harus disambangi. Ada Taman Gua Sunyaragi yang bangunannya mirip candi, tapi sebenarnya merupakan taman air tempat Sultan dan keluarganya istirahat dan bermeditasi. Pada bangunan-bangunan yang tinggi, konon dihiasi air terjun buatan yang kini tentu sudah lama kering. Bak labirin, banyak lorong yang saling terhubung dengan bangunan lain. Di bagian paling belakang, kami bertemu bangunan megah yang halamannya membelah kolam besar.
Komplek Taman Gua Sunyaragi ini luas sekali, hampir setengah hari kami telusuri tiap sudutnya yang menarik. Pastinya sembari foto-foto ala suami istri. Beruntungnya kami, matahari bersinar dengan berani. Tapi lama-lama, gerah dan haus pun menghampiri. Kami butuh yang segar dan manis. Harus cari ke mana, ya?




Es Duren Pasar Kanoman, Nggak Bakal Lupa sama Rasanya!
Kembali ke arah kota, Pasar Kanoman yang kami tuju. Mas Bojo bilang, kemarin saat lewat pasar ia lihat penjual es krim durian yang ramai pembeli. Aku sempat tak percaya, aku juga lihat, tapi di area keraton. Ternyata benar, di kanan jalan gerobak es krim durian mencuri perhatian. Adalah Pak Karya, pemilik kios durian di Pasar Kanoman. Tapi bukan durian yang jadi primadona, melainkan es krimnya. Tak ada kios permanen, gerobak es dung dung jadi mata pencahariannya.
Kami memesan es krim durian dalam mangkok. Durian yang baru saja dibelah, ditumpuk es krim putih yang lembut, disiram sirup tjampolay merah khas Cirebon. Rasanya? Manis, gurih, dingin, enak banget!
Kata Pak Karya, durian yang dijual musiman. Waktu itu, durian yang dipakai dari Magelang. Sampai sekarang, kami masih ingat betul nikmatnya Es Duren Pasar Kanoman. Nggak bakal lupa sama rasanya!



Sore Syahdu Bersamamu di Setu Patok
Menutup hari kedua di Cirebon, kami berkendara menuju Setu Patok. Cukup jauh dari pusat kota, hampir sampai perbatasan. Kami andalkan GPS sebagai penunjuk jalan. Semakin dekat ke danaunya, kami melewati jalanan kampung yang sempit, bahkan masuk ke perkebunan warga. Setelah bertanya kepada petani yang kebetulan berpapasan, jalannya memang sudah benar, kukira kami nyasar.
Motor diparkir di pinggir jalan tak beraspal. Sore itu di Setu Patok, kami akhirnya bertemu langit jingga yang dirindukan. Sesekali bertegur sapa dengan petani serta gembala kerbau yang pulang dari ladang. Di seberang jalan, sawah luas terbentang. Ingin kami berlama-lama, tapi terlalu sepi dan pasti gelap jika tak segera bergegas.


Dua hari di Cirebon sungguh asyik! Memang, masih banyak yang belum sempat dikunjungi. Mungkin lain kali, tetap bersama dengan yang terkasih. Sekarang kalian percaya kalau Cirebon itu paket komplit, kan?
Akhirnya baca tulisannya Reza Nurdiana terbit di Insanwisata. Tulisan dan fotonya membuat pembaca penasaran, ada apa lagi di Cirebon?
Aku waktu ke sana tidak sempat ke mana-mana karena diburu waktu. Hanya sempat nyicip empal gentongnya saja.
Cirebon punya banyak destinasi yang menarique yak? Kaya punya aura eh gimana sih menjelaskannya :p
Itu lho pas di Taman Gua Sunyaragi. Epic.
Nggak cukup dua hari buat eksplor Cirebon, Mba..
Buanyak bangettt yang menarique, apalagi kulinernya enak-enak hoho.
Baca ini aku jadi makin penasaran pengen main ke Cirebon. Belum pernah ke sana euy. Sekaligus pengen keliling lihat proses membatik.
Kita juga belum tuntas kelilingnya, Mba..
Batik belum sama sekali, kapan-kapan kalau ke sana lagi hehe..
kalo ke Cirebon jangan lupa ke Indramayu,, banyak spot menarik juga disana 😀
insyaAllah mas. semoga bisa ke sana lagi
Mantap betul bisa jalan2 ke Cirebon ! Suasananya masih asri
Terima kasih Min 🙂