No Result
View All Result
insanwisata
  • Tentang kami
  • Catatan perjalanan
    Sunset Candi Barong Yogyakarta

    Dolan Bareng Bojo Edisi Candi Barong

    Candi Kedulan Yogyakarta

    Cagar Budaya Indonesia: Menyelamatkan Warisan Peradaban Candi Kedulan

    DESA WISATA JARUM KLATEN

    Perjalanan Panjang Desa Wisata Jarum

    Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

    Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

    Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

    Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

    Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

    Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak
  • Tentang kami
  • Catatan perjalanan
    Sunset Candi Barong Yogyakarta

    Dolan Bareng Bojo Edisi Candi Barong

    Candi Kedulan Yogyakarta

    Cagar Budaya Indonesia: Menyelamatkan Warisan Peradaban Candi Kedulan

    DESA WISATA JARUM KLATEN

    Perjalanan Panjang Desa Wisata Jarum

    Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

    Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

    Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

    Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

    Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

    Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak
No Result
View All Result
insanwisata

Dolan Bareng Bojo Edisi Cirebon

by Reza Nurdiana
Agustus 13, 2019
9 min read
8
Bagikan di FacebookBagikan di TwitterBagikan di Whatsapp

Menjadi manten anyar itu identik dengan bulan madu. Namun dalam kamus kami, rasanya tak ada frasa itu. Dua bulan pertama, kami malah cukup sulit bertemu. Tak melulu mesti ke pulau pun negeri seberang untuk melepas rindu. Cirebon jadi destinasi liburan kesatu. Cukup menempuh dua jam hingga tiba di kota yang dituju.

Kami menyebut Cirebon sebagai paket komplit. Wisata sejarah, budaya, alam, kuliner, semua ada di sana. Jarak antar objek pun berdekatan, paling jauh tiga puluh menit lamanya. Di sana kami menyewa sepeda motor selama 48 jam. Berbekal informasi dari internet dan GPS, perjalanan kami selalu lancar tanpa harus tersasar.

Tulisan ini jadi salah satu kenang-kenangan kami berkeliling Kota Cirebon. Mudah-mudahan bisa dengan baik membagi pengalaman kami. Pula, Dolan Bareng Bojo dimulai dari sini. Oh, ya. Seluruh foto kami berdua yang tayang di blog ini, diambil menggunakan tripod, lho!

Hari Pertama

Santap Pagi Nasi Jamblang Ibu Nur

Hujan begitu deras mengguyur Kota Cirebon. Hingga pukul delapan pagi, mendung tetap pekat, tak ada tanda langit akan cerah. Setengah sepuluh pagi, masih gerimis rintik-rintik, kami berangkat menuju Nasi Jamblang Ibu Nur. Ternyata, di sana antrean telah mengular. Meskipun cuaca muram, warung ini tak kehilangan pelanggan.

Sepiring nasi jamblang berisi nasi putih yang dialasi daun jati. Di warung Ibu Nur, pilihan lauk pauknya belasan! Kupilih yang paling khas, yaitu balakutak hideung, cumi-cumi yang dimasak sekaligus dengan tintanya hingga berwarna hideung (hitam). Sementara Mas Bojo, ia tergiur sate udang bumbu asam manis. Sebagai pelengkap, ada tumis tempe, telur dadar, dan bakwan jagung. Psst, waktu itu kami minta nasinya masing-masing dua porsi, lho!

Nasi Jamblang Ibu Nur
Santap Pagi Nasi Jamblang Ibu Nur

Jatuh Cinta pada Merah Bata Keraton Kasepuhan

Masih ditemani gerimis, bahkan sempat kehujanan dan berteduh di halte bus, kami melanjutkan perjalanan ke Keraton Kasepuhan. Motor diparkir di depan loket karcis. Tak perlu jauh berjalan, kami langsung menginjakkan kaki di area Siti Inggil. Dibentengi bata merah dan memiliki gapura yang bergaya arsitektur Majapahit. Hujan membuat warna batanya semakin pekat dan cantik.

Kami berjalan di halaman keraton yang agak becek dan masih dipenuhi daun kuning yang gugur. Kalkun berjalan berbaris, ayam dan merpati juga dipelihara di sana, mereka mengerumuni wisatawan yang punya jagung untuk dibagi. Di Dalem Arum, kami kagum akan arsitektur rumah keluarga kerajaan yang unik. Tak terasa, kami telah melewati setengah hari di Cirebon yang pada hari itu enggan dipeluk matahari.

Merah Bata Keraton Kasepuhan
Kraton Kasepuhan Cirebon
Kraton Kasepuhan Cirebon.jpg
Kraton Kasepuhan Cirebon.jpg
Kraton Kasepuhan Cirebon

Menepi dan Menyepi di Keraton Kanoman

Jalan menuju Keraton Kanoman melewati gang-gang sempit di balik pasar. Ban motor serta sepatu kami terkadang lengket oleh tanah merah yang basah. Tak ada loket karcis, hanya tukang parkir yang berjaga di lahan sepi. Bukan bata merah, Keraton Kanoman dibentengi dinding putih berhias porselen yang antik dan unik. Bentengnya begitu tinggi, halamannya ditumbuhi semak belukar.

Di dalam, kami bertemu seorang ibu paruh baya. Ia memandu kami berkeliling keraton. Tanpanya, kami mungkin tak akan pernah tahu bahwa asal-usul peradaban Cirebon ada di sini. Ditujukannya kami ke Bangsal Witana, awite ana atau yang pertama ada. Bangunan tanpa dinding itu ditutupi batuan karang yang membentuk awan mendung, simbol khas batik Cirebon. Ada pula Sumur Witana, orang bilang amat keramat, banyak yang minta berkah di sana.

Keraton Kanoman
Keraton-Kanoman-Cirebon-1
Keraton Kanoman

Segarnya Makan Siang Empal Gentong H. Apud

Yang kami tahu, kuliner khas Cirebon selalu ramai pengunjung. Warung H. Apud ini luas dan punya banyak pegawai. Tak perlu lama menunggu pesanan datang, dua mangkok empal gentong siap jadi santapan. Mas Bojo menyeruput kuah santan empal gentong, sekilas penampilannya mirip soto betawi. Diberi nama empal gentong karena proses yang memanfaatkan panas dari kayu bakar, serta dimasak dalam gentong. Agar bisa saling cicip, aku memesan empal asem, berkuah bening dan masam rasanya. Empal gentong dan empal asem jadi menu makan siang yang segar, jangan lupa nasi putihnya, ya!

Empal Gentong H. Apud
Empal Gentong
Empal Gentong H. Apud
Empal Asem

Berharap Jumpa Sunset di Pantai Kejawanan

Menjelang sore, langit mulai terik, mendung perlahan sirna. Cirebon juga punya pantai, lokasinya dekat sekali dengan pusat kota. Tiket masuknya cuma lima ratus rupiah per orang! Layaknya pantai utara, tepiannya landai dan airnya kecoklatan. Kami lebih suka nongkrong di pelabuhan. Banyak sekali kapal nelayan yang merapat. Sepertinya anak muda Cirebon juga suka menikmati udara sore di pelabuhan.

Mas Bojo menggiring drone-nya terbang, melewati kapal nelayan yang besar-besar. Semburat langit senja tipis saja memoles suasana. Tapi waktu itu memang bukan harinya. Harapan serta-merta tenggelam bersama matahari yang enggan tampak.

Pantai Kejawanan CIrebon
Pantai Kejawanan

Khidmat Magrib Masjid Merah Panjunan

Masjid di Cirebon itu unik-unik, Masjid Merah di Panjunan salah satunya. Sebuah kolaborasi desain Jawa dan Tiongkok yang sama kental. Tengoklah gapuranya yang bergaya Majapahit, namun dinding masjid dihiasi keramik antik. Masjid yang mungil, dipenuhi pelancong yang singgah untuk menunaikan salat magrib. Tak perlu pengeras suara, lantunan ayat suci imam sudah terdengar jelas. Kami beruntung pernah mampir dan turut khidmat dalam salat magrib di sini.

Masjid Merah Panjunan

Rela Antre demi Cicip Mie Koclok Panjunan

Cuma lima puluh meter dari Masjid Merah, ada warung Mie Koclok Panjunan yang melegenda. Selepas magrib telah ramai pembeli, padahal warungnya terbilang kecil. Kami duduk di pojok depan dekat gerobak. Dan kami harus rela antre setengah jam demi kebagian kuliner khas Cirebon ini. Yang spesial dari Mie Koclok ialah kuahnya yang putih dan kental, terbuat dari santan. Rasanya yang gurih sangat cocok disantap saat masih panas. Antre lama pun terbayar sudah.

Mie Koclok Panjunan

Hari Kedua

Antre (Lagi) Sarapan Docang Ibu Kapsah

Hari kedua di Cirebon cerah ceria, yeay! Pukul delapan pagi, kami segera meluncur menuju tenda Ibu Kapsah. Ya, warungnya cukup sebuah tenda di pinggir Jalan Siliwangi, tapi pengunjungnya bikin kami lagi-lagi rela antre.

Meskipun ramai, pelayanannya tetap cepat dan sigap, kecuali kalau tak kebagian tempat, harus sabar tunggu giliran. Docang ini super unik, belum pernah kami menemui kuliner macam ini. Ketupat, daun singkong rebus, kecambah, dan kelapa parut disiram kuah merah yang agak pedas dan gurih. Kuahnya docang ini favoritku, dibuat dari oncom, makanannya orang Jawa Barat. Berteman kerupuk aci yang renyah, tetapi lembut waktu nyemplung ke kuah merah yang panas. Oh ya, kerupuknya gratis!

Docang Ibu Kapsah

Telusur Lorong-lorong Taman Gua Sunyaragi

Belum habis kekayaaan budaya Cirebon yang harus disambangi. Ada Taman Gua Sunyaragi yang bangunannya mirip candi, tapi sebenarnya merupakan taman air tempat Sultan dan keluarganya istirahat dan bermeditasi. Pada bangunan-bangunan yang tinggi, konon dihiasi air terjun buatan yang kini tentu sudah lama kering. Bak labirin, banyak lorong yang saling terhubung dengan bangunan lain. Di bagian paling belakang, kami bertemu bangunan megah yang halamannya membelah kolam besar.

Komplek Taman Gua Sunyaragi ini luas sekali, hampir setengah hari kami telusuri tiap sudutnya yang menarik. Pastinya sembari foto-foto ala suami istri. Beruntungnya kami, matahari bersinar dengan berani. Tapi lama-lama, gerah dan haus pun menghampiri. Kami butuh yang segar dan manis. Harus cari ke mana, ya?

Gua Sunyaragi
Gua Sunyaragi
Gua Sunyaragi
Gua Sunyaragi

Es Duren Pasar Kanoman, Nggak Bakal Lupa sama Rasanya!

Kembali ke arah kota, Pasar Kanoman yang kami tuju. Mas Bojo bilang, kemarin saat lewat pasar ia lihat penjual es krim durian yang ramai pembeli. Aku sempat tak percaya, aku juga lihat, tapi di area keraton. Ternyata benar, di kanan jalan gerobak es krim durian mencuri perhatian. Adalah Pak Karya, pemilik kios durian di Pasar Kanoman. Tapi bukan durian yang jadi primadona, melainkan es krimnya. Tak ada kios permanen, gerobak es dung dung jadi mata pencahariannya.

Kami memesan es krim durian dalam mangkok. Durian yang baru saja dibelah, ditumpuk es krim putih yang lembut, disiram sirup tjampolay merah khas Cirebon. Rasanya? Manis, gurih, dingin, enak banget!

Kata Pak Karya, durian yang dijual musiman. Waktu itu, durian yang dipakai dari Magelang. Sampai sekarang, kami masih ingat betul nikmatnya Es Duren Pasar Kanoman. Nggak bakal lupa sama rasanya!

Es Duren Pasar Kanoman
Es Duren Pasar Kanoman
Es Duren Pasar Kanoman

Sore Syahdu Bersamamu di Setu Patok

Menutup hari kedua di Cirebon, kami berkendara menuju Setu Patok. Cukup jauh dari pusat kota, hampir sampai perbatasan. Kami andalkan GPS sebagai penunjuk jalan. Semakin dekat ke danaunya, kami melewati jalanan kampung yang sempit, bahkan masuk ke perkebunan warga. Setelah bertanya kepada petani yang kebetulan berpapasan, jalannya memang sudah benar, kukira kami nyasar.

Motor diparkir di pinggir jalan tak beraspal. Sore itu di Setu Patok, kami akhirnya bertemu langit jingga yang dirindukan. Sesekali bertegur sapa dengan petani serta gembala kerbau yang pulang dari ladang. Di seberang jalan, sawah luas terbentang. Ingin kami berlama-lama, tapi terlalu sepi dan pasti gelap jika tak segera bergegas.

Sore Syahdu Bersamamu di Setu Patok

Dua hari di Cirebon sungguh asyik! Memang, masih banyak yang belum sempat dikunjungi. Mungkin lain kali, tetap bersama dengan yang terkasih. Sekarang kalian percaya kalau Cirebon itu paket komplit, kan?

Previous Post

Terpikat Pesona Negeri Laskar Pelangi

Next Post

Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

Reza Nurdiana

Reza Nurdiana

Suka bertualang untuk menikmati pemandangan alam, peninggalan sejarah, budaya, dan mencicip kuliner. Sangat senang jika bisa berbagi cerita dan informasi kepada orang lain.

Next Post
Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

Mengakrabi Romantisme Borobudur nan Penuh Teka-teki

Comments 8

  1. Avatar Dwi susanti says:
    4 bulan ago

    Akhirnya baca tulisannya Reza Nurdiana terbit di Insanwisata. Tulisan dan fotonya membuat pembaca penasaran, ada apa lagi di Cirebon?
    Aku waktu ke sana tidak sempat ke mana-mana karena diburu waktu. Hanya sempat nyicip empal gentongnya saja.

    Cirebon punya banyak destinasi yang menarique yak? Kaya punya aura eh gimana sih menjelaskannya :p
    Itu lho pas di Taman Gua Sunyaragi. Epic.

    Balas
    • Reza Nurdiana Reza Nurdiana says:
      4 bulan ago

      Nggak cukup dua hari buat eksplor Cirebon, Mba..
      Buanyak bangettt yang menarique, apalagi kulinernya enak-enak hoho.

      Balas
  2. Avatar Elisabeth Murni says:
    4 bulan ago

    Baca ini aku jadi makin penasaran pengen main ke Cirebon. Belum pernah ke sana euy. Sekaligus pengen keliling lihat proses membatik.

    Balas
    • Reza Nurdiana Reza Nurdiana says:
      4 bulan ago

      Kita juga belum tuntas kelilingnya, Mba..
      Batik belum sama sekali, kapan-kapan kalau ke sana lagi hehe..

      Balas
  3. Avatar masirwin says:
    3 bulan ago

    kalo ke Cirebon jangan lupa ke Indramayu,, banyak spot menarik juga disana 😀

    Balas
    • Reza Nurdiana Reza Nurdiana says:
      3 bulan ago

      insyaAllah mas. semoga bisa ke sana lagi

      Balas
  4. Avatar Lombok Wander says:
    3 bulan ago

    Mantap betul bisa jalan2 ke Cirebon ! Suasananya masih asri

    Balas
    • Reza Nurdiana Reza Nurdiana says:
      3 bulan ago

      Terima kasih Min 🙂

      Balas

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  • Lama sekali IG ini tidak update  ya  Setengah tahun ini  saya sedang fokus untuk pendampingan masyarakat di destinasi wisata  Pagi ini  ijinkan saya berbagi cerita tentang perjalanan saya selama di Belitung   Tanjung Binga   Sentra Ikan Asin Terbesar di Indonesia  Kampung nelayan Tanjung Binga dihuni oleh masyarakat Bugis  salah satu suku asli di Sulawesi Selatan  Hampir 80 persen dari jumlah penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan  Produk ikan asin dari desa ini bahkan sudah diekspor ke beberapa negara   Pada Oktober kemarin  saya berkesempatan menyambangi desa ini  Menurut data yang saya himpun  kampung nelayan yang terletak di Desa Tanjung Binga ini dikenal sebagai sentra penghasil ikan asin terbesar di Indonesia   Sektor perikanan yang menjadi tumpuan hidup masyarakat Desa Tanjung Binga terbukti mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat lokal  Menyekolahkan anak  membangun rumah  bahkan berinvestasi emas adalah hasil yang diperoleh dari menjual tangkapan ikan
  • Sebagai salah satu situs geopark nasional dan tengah bersiap menuju UNESCO Global Geopark  Belitung lengkap menyuguhkan kekayaan alam  masyarakat  dan budayanya      Pada slide pertama dan kedua  adalah Pantai Tanjung Tinggi  Bongkahan batu berukuran raksasa yang dikelilingi lautan luas ini menjadi ikon perburuan para turis yang berkunjung ke Belitung  Usia batu-batu di pantai ini hampir sama dengan umur fosil dinosaurus pertama di dunia  Nyasasaurus parringtoni yang dinyatakan berusia 240 juta tahun   Pada slide ketiga  adalah Pantai Tanjung Pendam  Turis lokal menjadikan Tanjung Pendam sebagai pusat kebugaran dan menikmati matahari terbenam  Jika lapar datang  deretan rumah makan siap menyajikan masakan laut yang lezat   Slide keempat  adalah santap siang saya di Desa Wisata Kreatif Terong  yaitu Makan Bedulang  Disajikan di hadapan saya gangan ikan  cumi goreng tepung  jantung pisang  dan ikan bakar sebagai menu santap siang   Ayo ke Belitung lagi di September nanti    storytelling  sonyalpha  djiphantom  explorebelitung
  • Pembangunan candi melewati banyak suka maupun duka  Di era Raja Samaratungga  berselang 75 tahun dari kepemimpinan Rakai Panangkaran  tepatnya pada tahun 825 M  pembangunan Candi Borobudur rampung  Bentang alam berupa dataran tinggi berbukit yang dikelilingi gunung tinggi Pegunungan Menoreh  Merbabu  Sumbing  Sindoro  dan Merapi menjadi latar pemandangannya  Tata ruang yang sudah disesuaikan dengan makna dari Syailendra  yakni    Penguasa Gunung         Ada catatan perjalanan baru di blog insanwisata  Kami berkisah tentang keseruan berkeliling Candi Borobudur juga penyangganya  Link ada di bio  ya    jatenggayeng  storytelling  sonyalpha
  • Hari lahir Indonesia  momen setahun sekali yang diwarnai kemeriahan  Tak jarang  penonton terpingkal-pingkal dibuatnya  termasuk saya dan  rezazerr  Lomba makan kerupuk  pukul air  panjat pinang  salome  semuanya bikin geregetan  Beginilah cara kampung halaman saya  Dusun Tojayan dan Biyengan  Desa Karangduren salam merajut cinta tanah air  Kalau di kampungmu  lomba apa yang paling seru    klaten  streetphotographyindonesia  jatenggayeng  sonyalpha  hcsc street
  • Numplak wajik  prosesi yang digelar tiga kali dalam setahun  salah satunya menjelang Idul Adha  Musik para penabuh gejog lesung mengiringi numplak wajik  upacara penanda bahwa gunungan mulai dirangkai  Esok  gunungan akan diarak pada perhelatan Garebeg Besar  kemudian isinya dibagi-bagikan pada warga yang datang  Inilah simbol kasih sayang raja pada rakyatnya    Yogyakarta  nyetritbareng8
No Result
View All Result
  • Tentang kami
  • Catatan perjalanan
  • Foto & Cerita
  • Portofolio
  • Kontak

© 2019 a storyteller