Yang kerap dilewati, tak selalu disambangi. Begitu pula Malangan, yang tak jauh dari pusat kota Yogyakarta, juga dari tempat tinggal saya.
Wiji memperkenalkan diri. Sebagai pemandu wisata yang cukup senior, Wiji melibatkan diri dalam urusan penjemputan. Wiji bertutur tak pernah jeda. Ia berusaha mengenal kami lebih akrab sebelum mengajak kami menyelami desanya. ‘Mas Klaten’, begitu sapanya saat lupa nama saya.
“Selamat datang di Desa Wisata Malangan”, Wiji mempersilakan kami masuk.
Rekan-rekannya langsung berdiri dan menyalami kami. Pakaiannya serba peranakan bernuansa biru gelap, berpasangan dengan celana hitam dan ikat kepala batik.
****
Datang ke tempat ini, seperti pulang ke rumah sendiri. Mereka tak hanya menganggap saya sebagai tamu yang harus dilayani. Lebih akrab lagi, seperti sanak saudara yang telah lama dirindu. Jabat tangannya hangat. Mereka mempersilakan saya mencicipi santapan ringan sebagai jamuan selamat datang.
“Kalau merujuk SK, Malangan sudah lama menjadi desa wisata. Tapi baru-baru ini kami paham bagaimana konsep mengemas desa wisata”, ujar Wiji sembari membagikan selembar brosur.
Tak lama Wiji mengajak kami berbincang. Usai menikmati suguhan jamuan selamat datang, Wiji langsung membagikan kain ikat udeng kepada kami. “Silakan digunakan seperti ini”, Wiji mencontohkan cara mengenakan ikat udeng kepada kami.
Meski tamunya berjumlah Sembilan, Wiji menyiapkan pemandu yang lebih untuk mengawal kami. Puluhan pemandu dengan pakaian lurik seragam mendampingi kami bersepeda keliling desa. Sayangnya, saya tak kebagian sepeda. Mujurnya, Halim mau berbagi tumpangan dengan saya.
Saya dan Halim berteriak. Pundak saya ditepuk-tepuk karena Halim ketakutan. Meski tubuh kami berdua ringan, sepeda yang saya bawa lebih sering oleng. Untuk membuat sepeda melaju cepat, saya mengayuh sekuat tenaga agar tak tertinggal dari rombongan. Lagi-lagi Halim berteriak sambil menepuk pundak saya. Nafas yang tersengal mulai terdengar dari hidung saya.
Malangan tak seperti desa wisata kebanyakan. Meski punya latar pemandangan yang apik berupa lahan pertanian, Malangan lebih mengangkat dirinya sebagai markas para seniman. Malangan, adalah tempat bermain yang dikrubungi rimbun pepohonan.
Kami menerobos gang-gang kecil. Para warga melempar senyum dari balik pagar rumah mereka. Bersafari ke desa ini membuat saya teringat akan kenangan bermain di desa simbah saya di Kabupaten Klaten. Mereka yang menyaksikan kami berkeliling desa selalu memberikan senyuman terbaiknya. Tak jarang juga, mereka mempersilakan kami untuk mampir ke rumahnya.
Seniman pertama yang kami jumpai adalah seorang pembatik. Kami menghampiri seorang ibu yang tengah menggoreskan cairan malam pada selembar kain batik yang hampir selesai digarap. Meski sendirian, ia menikmati kesehariannya sebagai pembatik asal Malangan.
Tangan-tangannya terampil memoleskan malam di ruang-ruang kain yang masih kosong. Rumah produksi batik ini memang sepi. Biasanya, pemilik rumah batik lebih banyak menerima pesanan dari luar dibanding pembelian di tempat.
Empu Sungkowo Harumbrodjo, pembuat keris di Yogyakarta
Perjalanan kami berlanjut. Seniman kedua yang kami jumpai adalah seorang pembuat keris. Di sini, Wiji memperkenalkan kami kepada Empu Sungkowo Harumbrodjo sebagai seniman penempa pamor di Malangan. Profesi ini telah dilakoni dari generasi ke generasi. Sayangnya kami datang di waktu yang tidak pas. Segala perlengkapan pembuatan keris sedang dipamerkan dalam sebuah acara yang diselenggarakan di Bantul.
Kami diberikan kesempatan bersua dengan Empu Sungkowo yang ternyata adalah keturunan ke-17 dari Empu Tumenggung Supodriyo, seorang pembuat keris pada abad ke-13 pada masa Kerajaan Majapahit. Halim banyak bertanya atas rasa penasarannya tentang nilai sakral yang ada pada keris. Alid pun demikian. Mereka begitu antusias dengan barang antik yang sudah diisi kekuatan magis.
Anak dari almarhum Empu Jeno Harumbrodjo mengaku bahwa ketenaran kerisnya sudah dimulai sejak almarhum ayahnya yang sudah menekui seni menempa pamor pada 1953. Hingga 2006, jumlah keris yang sudah dibuat berjumlah 235 buah. Beberapa pemesan keris bahkan tak hanya orang lokal. Keris Empu Sungkowo telah dipesan tamu dari banyak negara. Kadang, Empu Sungkowo menerima pesanan keris untuk meningkatkan kesaktian, ada pula keris pegangan agar tak lekas lengser dari kursi jabatan.
Wajah Empu Sungkowo memang terlihat beraura dibanding wajah Wiji dan kawan-kawan. Ia pun mengijinkan kami masuk ke ruangannya. Saya menyimak seisi ruangan dengan membaca beberapa catatan kecil pada foto lawas yang menempel di dinding. Ayah dari Empu Sungkowo ternyata merupakan ahli tempa pamor kebanggaan Keraton Ngayogyakarta. Diwarisi sifat ilmu ayahnya, Empu Sungkowo turut menjadi seniman yang terkenal.
“Mas dan Mbak, untuk mendapatkan gelar Empu ini tidaklah mudah”, kalimat Wiji membuat saya makin penasaran.
Keris bukanlah senjata perang. Keris di era sekarang, lebih dikhususkan sebagai jimat pemberi mukjizat penggunanya. Tak seperti pandai besi yang bisa membuat pisau hanya dalam semalam. Selain didapat dari gelar yang turun temurun, istilah Empu hanya diberikan pada pandai besi yang memiliki kesaktian dan memenuhi syarat sifat-sifat pembuat keris.
Pembuatan keris setidaknya mengikuti sifat si pembuatnya. Sang Empu tak boleh membuat keris dalam keadaan marah maupun murka karena sifat ini akan mengutuk pemegang keris nantinya. Terbunuhnya Ken Arok, Tunggul Ametung, Anusapati, pun disebabkan karena kutukan dan marahnya si pembuat keris, Mpu Gandring.
Meski perlengkapan pembuatan keris sedang dipindahkan, Empu Sungkowo memberi penjelasan panjang yang cukup menjawab rasa penasaran kami. Di dapur pembuatan keris, Empu Sungkowo menunjukkan beberapa bilah besi sebagai bahan utama pembuatan keris.
“Besi tua seperti rel peninggalan Belanda, nikel, dan batu meteor adalah bahan yang bagus untuk membuat keris”, ungkap Empu Sungkowo.
Wajar saja, harga keris jenis ini tak lagi murah seperti keris yang digunakan dalam pertunjukan seni tari kontemporer. Harganya dibandrol puluhan, bahkan ratusan juta rupiah. Peminatnya pun banyak yang dari luar Indonesia. Bahkan pernah suatu kali, pemesan meminta keris dengan kombinasi bahan emas murni. Sungguh, Empu Sungkowo berhasil membuatnya.
Baca juga : Berjumpa Para Penempa Keris di Padepokan Brojobuwono
Dari panjangnya cerita Empu Sungkowo, saya hanya mengangguk-ngangguk sedikit paham. Sebenarnya saya lebih tertarik jika bisa langsung menyaksikan proses pembuatannya. Fantasi tentang percikan api yang dihasilkan dari pukulan palu ke besi akan menjadi koleksi gambar yang apik nantinya.
“Lain kali mungkin bisa datang ke sini dan menyaksikan langsung pembuatannya. Kalau bisa tidur di Malangan”, dengan berbaik hati Wiji menawarkan pada kami.
Di Malangan, Wiji memperkenalkan saya dengan banyak seniman bertalenta. Dalam jamuan singkat beberapa jam, Malangan sukses membuat saya terkesan. Wiji tampak tak rela melepas kami. Ia berusaha merayu beberapa rekan, termasuk saya, karena yang paling dekat dengan Malangan.
Rupanya, dari sekian banyak potensi, Wiji masih menyisakan kejutan lain di siang yang terik. Kayuhan sepeda kami tak lagi kuat. Halim yang masih berbagi tempat duduk bersama saya memilih turun dari sepeda, kemudian berjalan. Pun demikian dengan saya. Di gang-gang sempit Malangan, saya lebih memilih turun dari sepeda dan menuntunnya. Kring… Kring… Kring…
“Pinarak, Mas. Mampir, Mas”, ajak seorang ibu paruh baya.
Kerajinan bambu Tunggak Semi yang mendunia
Di sini, Wiji memperkenalkan kami dengan salah seorang perajin bambu rumahan. Markas seniman yang satu ini memang tak banyak koleksi. Di sela istirahatnya, pemilik rumah menyambut kami tanpa menjelaskan banyak hasil karyanya. Kami justru senang diberi kesempatan berfoto riang.
Tak hanya satu, perajin bambu Sleman terbesar justru ada di Malangan. Wiji membawa kami menuju Tunggak Semi. Puluhan karyawan yang lebih banyak ibu-ibu sedang menekuni pekerjaannya sebagai seniman perajin bambu. Ada yang mengecat, merajut, semua terbagi dalam tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Ahmad Saidi, penerima penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto ini adalah orang yang memprakarsai berdirinya Tunggak Semi. Sejak meletusnya G30S/PKI pada 1965, pabrik tempat Saidi bekerja terpaksa harus tutup dan memutus kontrak kerja seluruh karyawan. Pengalaman panjang menjadi buruh pabrik PT LIPIN lantas tak membuat Saidi menjadi seorang pengangguran. Melalui inisiatif yang tinggi, Saidi mengumpulkan masyarakat Moyudan dan sekitarnya untuk bersama-sama menyambung hidup melalui kerajinan bambu.
Tahun demi tahun berlalu. Gejolak industri dan permainan harga pasar tetap diladeni Saidi. Pada 1974, Saidi mendapatkan kabar baik tentang produknya yang laku di pasar mancanegara. Tak tanggung-tanggung, kerajinan bambunya justru dipesan banyak oleh New Zealand.
Saidi kini harus bangga karena usahanya dilakoni dan terus diperjuangkan anak cucunya. Lewat anaknya yang bernama Suryadi (50 tahun), kerajinan bambu yang dirintisnya kini berhasil menembus pasar internasional yang lebih luas lagi.
Melalui inovasi produk, sembilan puluh persen kerajinan bambunya sudah diekspor ke beberapa benua seperti Eropa, Australia, Amerika, dan Asia. Omzetnya tak mengecewakan. Dalam satu bulan, Tunggak Semi dapat menerima seratus sampai dua ratus juta rupiah dari hasil penjualan.
Wiji tak hanya sukses memperkenalkan seniman Malangan pada kami. Bagi saya pribadi, ia telah sukses menjamu kami hingga terpatri kenangan di sanubari. Memang kali ini Wiji hanya menunjukkan seniman bertalenta karena telah memiliki hasil karya yang dikenal mancanegara.
Tapi bagi saya, Wiji dan pemandu lainnya adalah seniman yang pandai merangkai cerita. Bermurah hati dengan menyajikan jamuan terbaik untuk tamunya adalah wujud rasa suka cita dan cara sederhana menghargai kehadiran kami.
Yang ia keluhkan soal konsep ‘bagaimana mengemas desa wisata’ perlahan sudah ia kuasai secara rapi. Seniman yang kreatif dan lanskap pedesaan yang asri telah dimaknai positif sebagai sumber daya yang luar biasa. Bukankah ini yang menarik dari Desa Wisata Malangan?
Di tengah cepatnya laju informasi dewasa ini, Malangan menitip banyak pesan kepada kami. Terlepas dari beberapa pekerjaan rumah agar Desa Wisata Malangan semakin ramai kunjungan, Malangan telah membuktikan betapa desanya pantas sebagai tempat belajar dan mendulang pengalaman.
“Ceritakan kampung kami kepada khalayak”, Wiji menyalami kami.
Peluh mulai membasahi wajah, siang semakin terik. Tapi Wiji masih menyisakan beberapa kejutan lagi. Ah. Terlalu banyak suguhan yang berkesan dari Malangan. Pulang, adalah kata kerja yang paling berat diungkap dalam tulisan. Saya tak sungkan harusnya untuk diam lebih lama dan menuruti ajakan Wiji untuk menginap berhari-hari.
Tapi waktu tak bisa diajak berkompromi. Dan kami harus pulang. Meladeni keinginan hati yang ingin menjelajah kesana-sini. Mungkin dengan pulang, saya bisa mengalami kerinduan. Rindu pada tanah hijau, markas para seniman bertalenta dari Desa Wisata Malangan.
Baca juga : Blusukan Kuliner Yogyakarta
Informasi dan pemesanan
Selain Desa Wisata Malangan di Kabupaten Sleman, kamu juga dapat mampir ke Desa Wisata Bejiharjo yang terletak di Gunungkidul. Desa wisata ini cukup terkenal dengan objek wisata Gua Pindul yang sempat viral karena beragam kasusnya. Selain Gua Pindul, Desa Wisata Bejiharjo juga menawarkan paket wisata petualangan seperti susur Gua Tanding, Gua Gelatik, Gua Emas, Gua Sriti, dan wisata budaya seperti pembuatan blangkon dan wayang sada (lidi).
Desa Wisata Malangan, Sumberagung, Moyudan, Kabupaten Sleman
Narahubung : Wiji (087839728330), Andri (082137223912)
Aku kok kepikiran jalan pas di dekat sawah dan ada pohon kelapanya. Asyik buat diabadikan.
Kalian sempat masuk ke pabrik anyaman bambunya, sementara aku malah main di depan hahahahha.
Yang bawah itu foto buat mau acara nikahan? *Eh
yang paling bawah foto paling romantis sepanjang jalan kenangan di Malangan. haha
wadaw foto terakhirnya begitu amat :)))
gosip banget ikih :)))
koe lebih mending dipanggil Mas Klaten apa Mas Travel Umroh, Nif? wkwkwkw
aku lebih baik dipanggil mas gogon (ini khusus ebret). hahaha
gosip terhangat dunia perblogan adalah foto terakhir.
Heiii foto terakhir tanpa izin kui
Royaltii. Wkkw. Mohon maaf fansnya maa rifqy di manapun berada yaaa. Aku cuma iseng.
Iya bener banget mas sitam, malangan yang bagian pohon kelapanya berjejer2 kui apikk
Aku pingin ke sana lagi poto sama sepeda.
Cie..yg ini kurang po fotonya? Kok pengen ke sana lagi.
mantep pak ada edukasi kerisnya … hehehe mungkin ada juga keris empu gandrink
Hmm
semoga apa yang ada di desa Malangan, selalu lestari karena itulah sesungguhnya potensi besar dari sebuha desa wisata
aamiin. Terimakasih mas
Malangan ini berkesan sekali, tanpa menafikan desa wisata yang lainnya. Kadang kita yang masih muda malu, dengan semangat yang dipancarkan Pak Wiji dan kawan-kawan. Siapa sangka, di sana ada empu keris yang disegani? Siapa sangka, di sana ada kerajinan bambu yang mendunia? Mantap… 🙂
Ini baru sebagian lho yg ditulis. Belum lagi tentang booster ikannya. Kaya potensi banget lah!
Malangan juga makin hits ya. Setelah kita, ada banyak agenda lagi yg mengangkat nama Malangan
Konsep wisata yang menarik nih, kalo di Bandung sih ada desa Jelekong yang dikenal dengan wayang golek dan seni lukisnya. Tapi pengelolaannya belum sebaik di Malangan ini. 😀
Wah. mantap sekali tuh ada wayang golek dan seni lukis. bisa jadi jamuan atraksi ke wisatawannya.
Malangan ini juga baru belajar kok 😀
Bertamu ke Rumah Seniman dipandu dengan Bapak Senior ya Mas. Ah kece banget tuh Bapak” pemandu nya.. Apa lg bertandang ke pembuatan keris..
yes mas
Wahh.. serunya bertandang ke desa wisata Malangan..
jadi bucket list buat nex time kalo main lagi ke jogja nih..
Belakang rumahku itu hutan bambu juga, tapi belum ada yang mau mengolahnya seperti di desa Malangan, padahal pertumbuhan bambu yang cepat dan perawatan yang sederhana bisa meminimalisisr biaya produksi pembibitan bambu.
wah. sayang sekali y mas. di Bali aja, desa wisata penglipuran juga menggarap kerajinan dari bahan lokal bambu. Di Sendari juga seperti itu. Mungkin memang g ada pengrajin lokalnya di sana Mas
Bambu….saya jadi teringat iklan di radio… Pring cagak radio, tambah njenking tambah jero…ne macul….wkakwka
buahaha. aku malah ora ngerti
Oh iyo, cilikanmu kan gak nang Jateng yo Mas, maklum lah nek gak tahu…hahahaa
cilikanku nang Bali mas. haha. SMP lagi pindah boyongan
wah, seru banget keliatannya… jadi pengen berkunjung nih..
sini aja
bagus. jadikan trending topik ya
Bookmark dulu yaak. Asikk buaat quality time sama teman lamaa ini tfs mass. .
sip mas
Waahh begitu ramahnya ya mas dengan penyambutan kedatangan mas ketempat tersebut, saya jadi penasaran, jadi pingin nyoba juga pergi kesana nih sama temen-temen. Makasih mas
Yuk Mas, Ke Malangan