Kemacetan di Lombok waktu itu nampaknya tak biasa. Sedikit sekali transportasi dan lalu lalang kendaraan pribadi. Bukan karena perbaikan jalan, razia kendaraan, ataupun kecelakaan lalu lintas. Ramai kerumunan orang berbaris membuat jalanan sesak.
“Berhenti, Pak!” Teriak setengah penumpang bus kepada pemandu yang sedang serunya menceritakan kawin lari. Ragu supir bus melihat jalan yang sesak tak kunjung melihat ruang parkir. Seakan ia terpaksa, cepat kendaraan besi itu berhenti di antara kerumunan orang dan jalanan dua arah. Klakson kendaraan yang diburu waktu mulai terdengar sahut-sahutan. Sebagian dari kami berhamburan keluar berlarian ke arah kerumunan alunan musik tepi jalan.
Sepanjang 200 meter pemuda-pemudi teratur dalam barisan arak-arakan. Perangkat sound system digeret menggunakan gerobak. Sambil menari semacam goyang suka-suka, pemuda-pemudi nampak bahagia mengarak sepasang insan yang telah mengucap ijab qabul yang disahkan di Departemen Agama. Sumringah beberapa bocah berpakaian adat melihat kami yang lari kesana kemari sambil memotret pasangan muda-mudi yang dikawal kawanannya.
Musik yang mengalun syahdu mengantar kami untuk turut berbahagia. Inilah yang disebut adat ‘Nyongkolan”, prosesi adat perkawinan masyarakat Suku Sasak di Lombok. Mereka yang baru saja menikah selanjutnya diarak dari jarak yang telah ditentukan (biasanya 1 km dari rumah mempelai wanita). Pernikahan memang tidak begitu saja terlaksana hanya menurut kehendak kedua calon mempelai, tetapi juga perlu adanya pengakuan dari masyarakat di sekitarnya. Penting diselenggarakan Nyongkolan ini untuk menunjukkan pasangan muda-mudi yang baru memulai bahtera rumah tangga, agar kelak tak ada fitnah ataupun diganggu mantan lama di kemudian hari. Di sisi lain, prosesi ini juga bertujuan mengenalkan keduanya kepada khalayak luas, baik mempelai pria ataupun wanita selanjutnya akan menjadi bagian dari masyarakat. Begitu ujar pemandu kami.
Prosesi Nyongkolan dan adat kawin culik masyarakat Sasak yang saya ceritakan kemarin ternyata terhubung satu sama lain. Sebelum prosesi pernikahan, calon mempelai pria membawa kabur calon mempelai wanita. Bukan karena tak disetujui oleh kedua orang tua para calon mempelai, justru adanya keinginan saling culik berarti keduanya telah bertemu kata sepakat untuk menjalin rumah tangga. Inilah yang berlaku di tengah masyarakat Suku Sasak yang patuh pada adat dan takut pada sanksi yang berlaku. Setelah menculik dan dinikahkan, barulah diarak dengan adat Nyongkolan.
Saya bergabung di antara kerumunan muda-mudi berpakaian adat kebaya. Pengantin wanita tersipu malu dipotret banyak kamera rombongan kami. Ia mengenakan baju adat lengkap berupa kain songket, baju kebaya berenda benang emas, dan sanggul. Sementara pengantin pria berbalut kain tenun, jas pegon, dan mengenakan dodot songket.
“Selfie lagi, Mas! Lagi!” Teriak salah satu pengarak perempuan yang melihat saya mulai memutar layar kamera mode selfie. Saling dorong di antara mereka tak bisa dihindari. Terlalu banyak yang ingin masuk frame.
Di barisan belakang, pemain musik memainkan perangkatnya. Mereka sebut itu dengan nama musik Dajalan (Dangdut Jalanan). Awalnya, Nyongkolan hanya diiringi musik tradisional berupa kendang belik. Namun berkembangnya jaman, bergantilah dengan alat musik yang lebih modern.
Dari arah yang berlawanan, salah satu teman berlari menjemput kami sambil menunjuk arloji yang melekat di tangannya. Ringan tangan saya berjabat dengan mempelai pria. Tak ada waktu untuk sempat berkenalan atau bertukar identitas. Wajah mereka tampak menebak-nebak dari manakah asalnya orang-orang dengan banyak tustel ini. Saya dan rombongan berpamit, berharap di hari esok bertemu yang lebih unik.
Sebuah keberuntungan, kah? Datanglah ke sini antara hari Jumat, Sabtu, atau Minggu jika ingin menyaksikan adat Nyongkolan karena biasanya prosesi ini memang diselenggarakan saat masyarakat tidak sedang bekerja.
Keragaman alam dan budaya merupakan salah satu Pesona Indonesia. Prosesi Nyongkolan merupakan bagian kecil dari budaya masyarakat Suku Sasak di Desa Sade. Meskipun sedikit mengalami penyesuaian, namun ia tetap luhur di tengah masyarakat yang mulai modern. Tak hanya manis di mulut saat mengucap sayang. Kelak ada saatnya mereka dipertontonkan dan diterjunkan ke masyarakat. Selain mencari nafkah, seorang suami dalam masyarakat Suku Sasak adalah seseorang yang harus pandai menjaga diri. Ia harus rela memanjangkan rambutnya saat istri sedang mengandung/hamil. Seorang istri pun demikian. Kesetiaannya harus teruji dengan terlatihnya tangan saat menenun.
Perjalanan ini merupakan dokumentasi kegiatan bersama Kementerian Pariwisata (Indonesia Travel). Untuk melihat dokumentasi perjalanan ini, dapat dilihat melalui akun instagram insanwisata dan twitter @insanwisata dengan hastag #PesonaIndonesia maupun #SaptaNusantara. Yuk baca juga budaya kawin lari masyarakat Suku Sasak di artikel: Keunikan Tradisi Suku Sasak di Desa Sade.
***
Lokasi Acara Nyongkolan
Mas Hanif, foto pengantin prianya kok sekilas mirip dirimu yaaaah ?!?!? :p
Masa sih? Berarti itu pertanda saya bakal nyusul nikah.. haha..
Aku mau juga di culik, please culik hati ku yg kesepian ini #Halah
Wakakak. Ke Lombok aja Om Cum, culik salah satu warga. Biar cepat nikah ..
Nah, iya Mas, saya juga udah tulis tentang adat desa Sade di sini: insanwisata.com/keunikan-tradisi-suku-sasak-di-desa-sade/
Ini sumpah rame banget. Jalanan sampe macet
PESONA (mbak mbak) LOMBOK!!
Aku mau ke Dieng nih hari sabtu besok. Ikut ga? Biaar g galau kamu Mas
Ini yg bikin macet kalo weekend di Lombok. Tetapi juga menjadi daya tarik bagi wisatawan !
iya. sering macet gara-gara nyongkolan ini ya? tapi bagi saya orang luar, ini menarik