Talaud bukan hanya soal pulau perbatasan dan terluar. Jika ingin mengenalnya, sudilah harus mengunjungi pusat-pusat peradabannya. Melintasi pulau-pulau kecil dengan angin yang membuat tinggi ombak tak mudah untuk dilewati. Langkah kaki saya berhenti di sebuah pantai dengan tebing curam yang sangat sepi. Tak ada wisatawan maupun nelayan dengan geliat aktivitas menangkap ikan sehari-hari.
Napak tilas Gua Totom Batu
Gua Totom Batu, tapak tilas pertama yang saya singgahi. Gua ini terletak di Desa Tarohan, Pulau Karakelang. Tak mudah untuk mencapai gua ini. Saya harus merambat berpegang pada batuan tebing tajam yang licin bekas diguyur hujan semalam. Jembatan penghubungnya hanya kayu bundar dengan diameter 30 sentimeter.
Abner Tindi, putra daerah Talaud, mewanti-wanti untuk terus memerhatikan tiap langkah kaki. Tergelincir sedikit saja, saya bisa jatuh ke jurang pantai. Saya terus merambat, berpegang pada batang pohon yang getas.
Di gua ini, terbentang pemandangan yang membuat bulu kuduk saya berdiri. Puluhan tulang belulang manusia, mulai dari kepala, hingga rangka badan terserak di pelataran gua. Kuburan siapa ini? Jun Atang, seorang penggawa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Talaud mulai berkisah.
Konon, tulang belulang di Gua Totombatu merupakan jejak pitarah manusia pada abad ke-17 ketika Raja Tatuhe memimpin. Perawakannya tinggi besar dan berbadan raksasa. Ia memimpin ribuan, bahkan lebih, prajurit melawan kerajaan di Mindanao Selatan, Filipina. Bersama prajuritnya, ia gugur di medan perang. Jasadnya tak dikubur. Ritual pemakaman mengantar Tatuhe dan pasukannya istirahat damai di Totombatu.
Versi lain menyebutkan, kumpulan tulang belulang di sini merupakan jasad masyarakat migran dari Mindanao, Filipina yang memulai kehidupan baru sebagai nelayan di Talaud. Empat yang akrab dikenal telinga masyarakat adalah Alambera, Puasa, Papaulla, dan Tatuhe. Mereka beranak pinak dan kemudian mendirikan kampung kecil di Totombatu. Setiap ada kematian, kepala jasad diletakkan di sebuah piring keramik, kemudian diletakkan di dalam gua. Salah satu dari kumpulan tengkorak tersebut diyakini milik Tatuhe.
Dengan diameter kepala 50 cm, Tatuhe adalah manusia raksasa pada abad itu. Ruas tulang betis dan pahanya memiliki ukuran 15 cm lebih panjang dari ukuran normal tulang betis dan paha manusia. Mirisnya, jumlah sisa tengkorak semakin berkurang. Salah satunya dibawa warga Belanda sebagai penelitian untuk melengkapi arsip-arsip historis Indonesia.
Saat hendak mengabadikan panorama tebing pantai Totombatu, langit yang cerah seketika berubah menjadi muram. Kedatangan kami nampaknya tak direstui, atau alam memang sudah saatnya mengirim hujan. Cuaca semakin memburuk kala kami berpamitan pada penunggu Totombatu. Angin besar datang. Hujan turun secara tiba-tiba.
Ishak Tamaroba berteriak. Ia punya firasat buruk pada alam, juga pada dunia luar yang tak kasat mata. Ditunjuk sebagai kepala adat masyarakat Talaud, Pak Ishak tentulah bukan sembarang orang. Kami kemudian berlari menuju mobil. Tak lama, hujan kembali reda.
Baca juga : Pulau Sara, Pesona Kepulauan Talaud di Bibir Pasifik
Menziarahi Makam Raja Porodisa
Perjalanan kami berlanjut. Laju mobil membawa kami pada titik tapak tilas selanjutnya, Makam Raja Porodisa yang terletak di Desa Bannada, Kecamatan Gemeh. Mobil Hilux kami melahap jalanan panjang lebih dari tiga jam. Porodisa, nama raja yang juga menjadi brand pariwisata Kepulauan Talaud. Kata ini juga kerap keluar dari mulut pelaut Portugis manakala melihat kecantikan Talaud, “O.. Paradise”.
Tatkala pagi, Desa Bannada ramai dengan riang anak-anak pantai. Namun waktu itu, saya tiba di waktu maghrib dan listrik sedang padam. Dengan membawa sisa-sisa tenaga, saya melangkah malas-malasan. Kondisi badan saya mulai melemah, tak ada semangat, juga antusias mendengar cerita yang disampaikan Jun Atang.
Di dalam komplek tersebut, saya menjumpai banyak masyarakat lokal. Namun, hanya ada satu rumah yang bisa menjelaskan banyak riwayat. Dibawalah saya menuju kediaman Julianus yang tak jauh dari lokasi makam para Raja Porodisa.
Sudah lebih dari dua jam Abner Tindi berbincang menggunakan bahasa lokal. Benda-benda pusaka tak sembarang kemudian dikeluarkan atas perintah Julianus. Batu, meriam, hingga perabotan rumah tangga sisa kejayaan Raja Porodisa disimpan sangat rahasia di rumah ini. Salah satu yang unik adalah batu sakti yang dibawa Aki (orang tua) seberang rumah.
Batu sakti tersebut konon menjadi alat komunikasi pada masa Raja Porodisa. Pikiran saya ditabrakkan pada pilihan percaya–tidak percaya ketika disampaikan bahwa batu tersebut dapat menghubungkan penggunanya berkomunikasi dengan orang yang sudah mati. Tentu dengan bahasa Talaud kuno. Dan hanya si Aki yang boleh berkomunikasi. Sayangnya, perjumpaan saya dan Aki harus ditunda karena waktu telah masuk tengah malam.
Baca juga : Bertualang di Pulau Kabaruan, Kepulauan Talaud
Baca halaman berikutnya
Benar sekali mas… peradaban Talaud harus diangkat. Selain baharinya yg kuat, tak lepas dari kearifan lokal. Bibir pasifik ini memang menggoda. Trimakasih sudah berkenan mampir
Melihat seperti tengkorang itu kayak di toraja ya mas. Suasana ny masih asri banget nih dan kearifan lokal nya selalu djaga sama mereka.. *aku selalu mupeng klo baca tulisan mas hanif
Aiss. Makasih mas e.
Aku malah belum ke Toraja e.. tapi kalau d talaud terbengkalai situs2 ky gini
Kayak toraja gitu yaaa, jasad nya di letakan dalam gua
Aku malah belum pernah ke Toraja e om. Ajakin dong..
Ajak aku ke talaud yaaaa, kayak nya lebih mahal talaud di bandingkan toraja hehehe
aku belum pernah ke Toraja btw, hehe.
Ayok sama aku aja ke Talaudnya
Menarik sekali. Pasti ada cerita-cerita historis di balik alamnya yang indah. Dan itu yang menarik 🙂
Wah, saya belum pernah mengoperasikan drone, piye rasane ya? 😀
iya mas. bener banget. ini yg menarik dari talaud.
rasane pie ya. goyang2. Takut apalagi kalau ga keliatan dronennya. terus bunyi2 gitu. karena bukan punya sendiri sih. jadi khawatir
wah gila, tengkoraknya banyak banget, itu asli atau rekayasa ya? kok bisa segitu banyaknya?
asli lah mas
Semenjak mendengar ceritamu waktu kita kopdaran, aku jadi penasaran banget mas sama talaud.
sepertinya Talaud ini jarang ya di dengar orang.
Dulu waktu masi belajar IPS cerita sejarah portugis di talaud ga pernah dibahas juga .
ternyata banyak sejarahnya ya.
semoga bisa ke sini ya kalian Mba.
Hhaa. aku aja baru denger namanya setelah denger lagu indomie. tapi lokasi persisnya belum paham saat itu
Agak serem ya lihat tengkorak manusia itu.
aku biasa aja mas. kecuali pas di Gua Larenggam. haha
wisata horor ini kak namnya..seyem seyem tengkorak berserakan di goa dimana-mana
liat orang sana sepertinya jg serem serem ya kak..
kalau org sana ga serem kok mas. hehe. ramah
saya baru mau bilang, jauh2 mas ke sana buat wisata horor… Tp mereka bagian sejarah dan kita perlu tahu juga sih apalagi kl sdh kadung ke sana
hehe, ini tidak horor. Tapi sarat perjuangan nusantara
Menarik banget jejak sejarahnya.
Dan masih terjaga dengan baik.
iya Mas e. semoga terawat terus
kebayang kalo malem pasti tempanya agak spoky ya… hehe
kwkw. spoky? kaya gimana itu.
Yang pasti serem
ya ampun salut dengamu udah menginjakkan kaki ke tempat yang jarang di datangin orang
aku malah lebih salut denganmu Mba. hehe. Semoga mba bisa ke sini ya melihat langsung
Waaaa blog nya keceeee, informasinya lengkap, juga fotonya mendukung..hebat banget bisa konsisten nulis traveling, aku aja sussaahhh hahahaha
Makasih Mba Alia. Yuk, saya jg masih belajar buat konsisten
benar. Indonesia luas Mba. dan Timur punya kearifan lokal yang unik dan beragam.
Iya Mba. Saya Klaten
Senang skali bisa liat wajah nenek Elizabeth Bambulu
Suatu kebanggakan menjadi cucu nenek Elizabeth
Terima kasih sudah mampir. Salam untuk Nenek Elizabeth
Luar biasa mas,, terima kasih sudah menuliskan kisah Kota Salibabu